Rabu, 23 Juli 2014

KOMPERATIF PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERADILAN PERDATA



I.  PUTUSAN



A.  Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Perdata
           Putusan Pengadilan dapat digolongkan kepada dua macam, yaitu: putusan sela  (tussen vonnis) dan putusan akhir (Eind vonnis). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu. Sedangkan putusan-sela atau putusan antara, yaitu putusan yang fungsinya memperlancar pemeriksaan.[1] Putusan sela dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena menyangkut atribusi serta distribusi.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara istilah putusan sela tidak dikenal. Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada angka romawi VI disebutkan bahwa setiap tindakan proses persidangan dituangkan dalam bentuk “penetapan”. Dengan demikian istilah putusan sela dalam Hukum Acara TUN adalah penetapan. Sedangkan putusan akhir, paralel dengan istilah Hukum Acara Perdata juga menggunakan istilah putusan.
Dalam perkara perdata, ternyata Hakim berwenang mengubah putusan-sela, karena terdapat kesalahan di dalamnya.[2] Keadaan tersebut, mungkin saja nantinya bisa dipertimbangkan agar dapat juga diterapkan untuk terdapatnya putusan-sela dalam sengketa tata usaha negara.
Menurut sifatnya, “amar” atau “diktum” putusan itu dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
1.     Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya berbunyi: “Menghukum dan seterusnya…”
2.     Putusan yang konstitutif, yaitu yang amarnya menimbulkan suatu keadaan hukum baru, atau meniadakan hukum baru.
3.     Putusan  declaratoir”, yaitu yang amarnya menyatakan suatu keadaan yang sah menurut hukum.[3]
 Sedangkan isi Putusan pengadilan  Tata Usaha Negara itu (Pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ) dapat berupa :
1.    menolak gugatan
2.    mengabulkan gugatan
3.    tidak menerima gugatan
4.    menyatakan gugatan gugur.
Dalam hal gugatan dikabulkan, dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN,. Kewajiban ini dapat berupa :
1.    pencabutan KTUN yang disengketakan;
2.    pencabutan KTUN yang bersangkutan disertai penerbitan KTUN yang baru; atau
3.    menerbitkan KTUN ( yang tadinya tidak diterbitkan).
Kewajiban  ini dapat disertai pembebanan ganti rugi. Bila putusan itu mengenai masalah kepegawaian maka disamping kewajiban tersebut dapat disertai kewajiban melakukan rehabilitasi.
           Dalam kaitan dengan eksekusi/pelaksanaan putusan bahwa hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde) yang dapat dilaksanakan. Putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap bila tidak ada upaya hukum lain lagi yang masih dapat diterapkan seperti naik banding, mohon kasasi dan sebagainya.
           Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara istilah eksekusi merupakan peminjaman istilah dari Peradilan Perdata, lebih dominan dengan penyebutan  “pelaksanaan”.  Istilah pelaksanaan yang dimaksud adalah sama dengan istilah eksekusi. Yang dimaksud dengan eksekusi  putusan  Pengadilan adalah pelaksanaan putusan oleh atau dengan bantuan pihak lain di luar para pihak yang bersengketa.[4] Selain itu dikenal pula dengan istilah eksekusi riil yang mengandung makna semua pelaksanaan putusan yang tidak berupa uang paksa.[5]
           Ada putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang oleh hakimnya diputus dengan putusan uitvoorbaar bij vooraad yaitu ketentuan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sesuai dengan pasal 180 HIR. Putusan uitvoorbaar bij vooraad ini tidak terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.
           Dalam Hukum Acara Perdata istilah eksekusi dipergunakan tidak seragam. Subekti menggunakan dengan istilah “pelaksanaan” putusan,[6] demikian juga menggunakan istilah sama adalah Retno Wulan Sutantio.[7] Menurut Yahya Harahap pembakuan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan HIR dan RBG, pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (tenoitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan putusan Pengadilan. Yakni melaksanakan “secara paksa” putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela.[8]
           Dengan diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah eksekusi, tidak pada tempatnya menggabungkan kedua istilah itu dalam satu rangkaian penulisan. Penulisan dan pemakaian kedua istilah itu dalam satu rangkaian adalah berlebihan. Misalnya, ada yang menulis dan mempergunakannya: pelaksanaan eksekusi. Rangkaian penggabungan yang seperti itu ditinjau dari segi bahasa dan istilah berlebihan. Cukup dipilih salah satu. Boleh dipergunakan “pelaksanaan” putusan atau cukup dipergunakan dan dituliskan perkataan “eksekusi”  putusan.
Dalam hukum perdata umum kita mengenal 3 (tiga) macam eksekusi :
1.    Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, di mana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang;
2.    Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, di mana seorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan, hukum ini  tidak dapat dilaksanakan dengan paksaan;
3.    Eksekusi riil yang dalam prakteknya banyak dilakukan, tetapi tidak diatur dalam HIR.[9]
Putusan  yang bagaimana yang hendak dieksekusi ? Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Artinya, tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi ialah putusan yang belum dapat dijalankan.
Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.  Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi ialah :
1.    Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.    Karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara.
3.    Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti :
a.    hubungan hukum tersebut mesti ditaati; dan
b.    mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum.
4.    Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan  dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap :
a.    Dapat dilakukan atau dijalanan secara “sukarela” oleh pihak tergugat,
b.    Bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan “dengan paksa” dengan jalan bantuan “kekuatan umum”.[10]
Dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara cara pelaksanaan putusan Pengadilan ada beberapa cara, tergantung dari amar putusan yang dilaksanakan :
1.    Amar putusan Pengadilan berisi pernyataan pencabutan KTUN. Salinan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat, oleh Panitera atas perintah Ketua Pengadilan yang  mengadilinya dalam tingkat pertama, selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari. Dalam waktu empat bulan setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan tergugat tidak melaksanakan putusan pengadilan itu (mencabut KTUN Pasal 97 ayat 9 sub a, maka KTUN yang disengketakan secara otomatis/dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
2.    Amar putusan Pengadilan berisi perintah pencabutan KTUN dan penerbitan keputusan yang baru atau hanya berisi pernyataan agar Badan atau Pejabat mengeluarkan keputusan.
Kalau putusan Pengadilan itu mengharuskan tergugat untuk mencabut KTUN dan untuk menerbitkan KTUN yang baru tetapi jika dalam waktu 3 bulan hal itu tidak dilakukan maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Bila ini, walaupun ada perintah itu, tergugat masih juga belum/tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya dan dengan bantuan atasannya, dengan melalui prosedur tertentu akan diusahakan penyelesaian sengketa TUN tersebut. Jika tindakan ini masih juga belum dapat menyelesaikan sengketa maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Dalam rangka melaksanakan putusan itu, karena gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat (8) yang berarti (para) tergugat harus memenuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yang dapat berupa :
1.    pencabutan KTUN, yang bersangkutan (Pasal 97 ayat (9) butir a);
2.    pencabutan KTUN yang bersangkutan, dan menerbitkan keputusan yang baru (Pasal 97 ayat (9) butir b);
3.    penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97 ayat (9) butir c);
4.    membayar gantu rugi (Pasal 97 ayat (10) jo. Pasal 120);
5.    melakukan rehabilitasi (Pasal 97 ayat (11) jo. Pasal 121).
Dari sisi lain Sjachran Basah mengelompokkan bahwa sewaktu menjalankan putusan itu dapat saja terjadi, bahwa (para) tergugat tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik dengan alasan maupun tidak atau ada pihak ketiga yang mengajukan perlawanan.[11]
1.    (Para) tergugat tidak melaksanaan putusan Pengadilan dengan alasan.
Hal ini berkaitan dengan sengketa di bidang kepegawaian (Pasal 97 ayat (11)) dan tergugat tidak dapat dengan sempurna memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebabkan perubahan keadaan. Perubahan keadaan itu terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan (atau) memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian “perubahan keadaan” itu dapat dijadikan alasan oleh tergugat untuk tidak melaksanakan putusan (Pasal 117), dengan ketentuan ia harus memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan TUN (tingkat pertama) yang mengadilinya dan (para) penggugat.
(Para) penggugat dalam tenggang waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan itu, dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan TUN (tingkat pertama) yang (memerintahkan) telah mengirimkan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan maksud agar (para) tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain.
Ketua Pengadilan TUN itu setelah menerima permohonan tadi, memerintahkan memanggil para pihak yang berperkara untuk membicarakan kehendak (para) penggugat itu agar dicapai suatu peretujuan. Apabila setelah diusahakan kata sepakat tidak tercapai, maka Ketua Pengadilan itu mengeluarkan penetapan dengan disertai pertimbangan-pertimbangan yang cukup, menentukan jumlah uang dan kompensasi lain yang diminta oleh (para) penggugat.
(Para) penggugat dan/atau (para) tergugat bilamana tidak setuju terhadap penetapan itu dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung untuk minta hal tersebut ditetapkan kembali.
Putusan Mahkamah Agung tentang hal di atas itu, wajib ditaati oleh para pihak yang berperkara.
2.    Tergugat tidak melaksanakan putusan Pengadilan tanpa alasan.
Keadaan sebaliknya terjadi dari hal di atas, yaitu (para) tergugat sama sekali tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang tak beralasan (pasal 116 ayat (3)–ayat (6)). Apabila hal ini terjadi, maka (para) penggugat mengajuan permohonan setelah 3 bulan tergugat tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Ketua Pengadilan itu, agar ia diperintahkan melaksanakan putusan.
Waktu 3 bulan di atas bukanlah merupakan limit yang memaksa sifatnya, melainkan untuk itu diperlukan kebijaksanaan dari Ketua Pengadilan untuk mempertimbangkannya dengan seksama sebelum ia memerintahkan tergugat melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.
Jika tergugat masih tetap tidak berkehendak melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan itu mengajukan perihal keadaan demikian tersebut kepada instansi atasan, yang terkena eksekusi berdasarkan jenjang jabatan. Instansi termaksud dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan itu, harus sudah memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.
Kalau instansi atasan itu tidak menjalankan kewajibannya, maka Ketua Pengadilan itu mengajukan hal tersebut kepada Presiden agar tergugat melaksanakan putusan.
3.    Gugatan Perlawanan.
Gugatan perlawanan (pasal 118) timbul apabila pihak ketiga yang belum ikut serta atau diikutsertakan selama proses pemeriksaan sengketa itu khawatir akan dirugikan kepentingannya, apabila tergugat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Untuk keperluan itu ia mengajukan gugatan perlawnan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau verzet tegen executie kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengadili perkara itu.
Gugatan itu diajukan pada saat sebelum putusan tersebut dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 56 dan dalam proses pemeriksaannya diberlakukan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 63. Dengan demikian dalam proses pemeriksaan itu terdapat Rapat Permusyawaratan dan Pemeriksaan Persiapan, bahkan dapat terjadi pemeriksaan acara cepat bilamana ada “perlawanan” terhadap penetapan hasil Rapat Permusyawaratan itu. Walaupun terdapat gugatan perlawanan, namun tidak berarti secara otomatis  eksekusi ditunda.       
Eksekusi riil kalau diterapkan berarti yang dieksekusi adalah Pejabat TUN. Terlepas dari hambatan-hambatan psikologi yang mungkin ada., asas-asas hukum administrasi dapat menjadi penghambat eksekusi riil. Asas-asas tersebut adalah :
1.    asas bahwa terdapat benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan;
2.    asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini adalah asas kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN yang seharusnya menjadi wewenang Pejabat tertentu di bawahnya. Dengan demikian andaikata Pejabat atasan memerintahkan Pejabat di bawahnya  untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN tersebut;
3.    asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat dikenai tahanan rumah karena tidak melaksanakan putusan TUN.
4.    asas bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus dianggap “solvable” (mampu membayar).[12]


B.  Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Perdata
           Di negara-negara berkembang umumnya peranan pemerintah (eksekutif) sangat menonjol dibandingkan dengan lembaga lainnya seperti yudikatif dan legislatif. Bahkan, dalam keadaan-keadaan tertentu peranan pemerintah tersebut dapat menerobos hingga keseluruh aspek kehidupan warga-negaranya.
           Hal meningkatnya perbuatan-perbuatan pemerintah tersebut tiada lain karena memang situasi dan kondisi negara berkembang yang sedang membangun, selalu menuntut terdapatnya pihak pemerintah yang sangat aktif campur tangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum.[13]
           Dampak yang pasti akan timbul dengan keadaan sebagaimana digambarkan di atas adalah Pemerintah memandang, bahwa aktifnya mereka dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya adalah sebagai wujud dari kepedulian negara terhadap warga negaranya. Dalam prakteknya negara mengurusi segala aspek kehidupan rakyat yang langsung berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak. Umumnya, tindakan-tindakan pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk dikeluarkannya izin-izin, penetapan-penetapan, peraturan-peraturan yang selanjutnya diikuti dengan bentuk perbuatan-perbuatan yang konkrit yang umumnya tertuang dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN).
Menurut Van Wijk/Konijnenbelt  KTUN dapat dibedakan sebagai berikut :[14]
1.    Keputusan pemerintah yng berkaitan dengan perbuatan material
2.    Tindakan-tindkan hukum meliputi :
a.    tindakan hukum publik ekstern yang banyak pihaknya
b.    Tindakan hukum publik ekstern yang bersifat sepihak meliputi:
1).   Bersifat umum (umum abstrak – Umum konkret)
2).   Bersifat ndividual meliputi individual abstrak dan individual konkret.
          
Dari sekian banyak kelompok macamnya keputusan tata usaha negara (KTUN) tersebut ternyata hanya keputusan tata usaha negara yang bersifat individual konkret saja sebagai pelaksanaan wewenang pemerintahan yang dapat disengketakan di Pengadilan tata Usaha Negara. Ini berarti lain-lain macam bentuk keputusan tata usaha negara seperti keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan tindakan material, maupun tindakan menurut hukum perdata dan keputusan hukum tata usaha negara yang tidak bersifat individual dan konkret merupakan wewenang pemerintahan yang apabila disengketakan akan masuk dalam kompetensi Paradilan Umum.
Tindakan pemerintahan dalam bentuk tindakan hukum/berakibat hukum (rechtshandelingen) dan tindakan matetriil/tidak berakibat hukum atau hal-hal biasa  (feitelijkehandelingen). Dari dua bentuk tindakan tersebut terhadap tindakan hukum lebih banyak terfokus pada tindakan hukum menurut hukum publik yang menimbulkan kerugian yang penyelesaian hukumnya melalui peradilan umum. Sedangkan untuk tindakan pemerintahan dan perbuatan mareriil yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan yang dilakukan adalah untuk pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan yang dilakukan oleh penguasa tinggi dan rendahan secara hirarki, Ini berarti bahwa, dalam penyelengaraan kepentingan umum organ-organ pemerintahan diserahi kewenangan untuk melakukan aktivitas-aktivitas menurut hukum publik.
Philipus M Hadjon dalam membedakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara dan peradilan umum memberikan contoh kasus sebagai berikut :
Jalan tertentu akan mengalami pelebaran, dengan pelebaran itu, berarti rumah/bangunan yang ada disitu akan tergusur. Kalau tidak disebutkan orang/badan hukum yang harus membongkar bangunan itu, maka perintah tersebut bukan bersifat individual sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986. Oleh sebab itu dengan sendirinya gugatan atas perintah pembongkaran tersebut tidak menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara melainkan peradilan umum.
           Di sisi lain, dengan makin terlibatnya pemerintah dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya berakibat pada lahirnya berbagai bentuk penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan, karena gerbong welfare state tidak diarahkan pada jalur yang benar, sehingga akhirnya masyarakat yang dirugikan.[15]
           Dalam penyelenggaraan pemerintahan diharapkan, bahwa setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dalam bahasa lain diharapkan setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tertib administrasi.
           Karena makin kompleksnya kehidupan warga negara di samping tentunya tugas-tugas pemerintahan, tidak mengherankan apabila kewenangan/kekuasaan yang diberikan pada pemerintah sedemikian  luas dan besar. Keadaan ini apabila tidak diawasi sedemikian rupa akan berakibat pada tindakan yang merugikan masyarakat banyak.
           Timbulnya penyalahgunaan kekuatan, penyimpangan wewenang, salah urus administrasi dan sebagainya lebih banyak diakibatkan karena tertib administrasi  sesuai peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan tidak dijalankan.
         

C.    Gugatan Melalui Peradilan Tata Usaha Negara
 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 53 memberikan sarana bagi  seseorang atau badan  hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan tersebut batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
           Adapun dasar atau alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menggugat berkenaan dengan tidak sahnya suatu KTUN, ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004,  yang meliputi :
1.    KTUN yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Maksud gugatan ini adalah koreksi serta pelurusan dalam segi penerapan hukumnya terhadap KTUN yang merugikan atas dasar alasan tersebut di atas agar KTUN dapat dinyatakan oleh PTUN sebagai KTUN tidak sah atau batal.
           Pembatalan KTUN tersebut tentunya melalui proses peradilan, karena terdapat asas bahwa setiap tindakan Pemerintah dianggap benar menurut hukum kecuali sebaliknya dinyatakan oleh hakim.  Asas ini telah dituangkan dalam pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986.
           Oleh karena itu putusan Pengadilan, yang mengabulkan gugatan akan memuat diktum bahwa KTUN yang digugat adalah tidak sah atau batal, sehingga bagi tergugat/Pemerintah ada kemungkinan untuk mencabut atau membuat KTUN. Namun pembatalan KTUN ini sebagaimana perintah putusan tidak dengan sendirinya diikuti oleh pihak pemerintah, seringkali pemerintah enggan melaksanakan putusan tersebut. Untuk itu maka dalam proses peradilan dicantumkan satu tahapan yang disebut pelaksanaan putusan atau eksekusi.
           Dalam Undang-undang No. 51 Tahun 2009 mengenai pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 116 yang menentukan sebagai berikut :
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)  Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7)  Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

           Ketentuan Pasal 116 di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlainan dengan pelaksanaan putusan pengadilan pada Peradilan Perdata, maka dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara apabila pihak Pemerintah enggan melaksanakannya tidak ada alat pemaksa, yang nampaknya sangat tergantung kepada kemauan/kesadaran pemerintah sendiri.
           Akibatnya apabila pihak Badan atau  Pejabat TUN selaku tergugat yang dikalahkan, maka akan menemui kesulitan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan jika pihak Badan atau Pejabat TUN tidak mau melaksanakannya.
           Dengan tidak ditaatinya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa tata usaha negara oleh tergugat dalam hal ini Pemerintah, maka tentunya rakyat yang tadinya datang ke Pengadilan untuk minta perlindungan dan keadilan dalam kasus yang dihadapinya, maka menjadi sia-sia. Hal ini pada gilirannya dapat menurunkan kewibawaan Pengadilan itu sendiri. Keadaan seperti ini tidak perlu terjadi karena saat ini bangsa kita telah bertekad untuk menciptakan supremasi hukum. Ketidakberdayaan Pengadilan untuk memaksakan putusannya agar dilaksanakan oleh pihak tergugat/pemerintah harus mendapat perhatian serius.
Oleh karena itu dalam menghadapi permasalahan hukum di atas jangan sampai terjadi apa yang disebut kekosongan (leemten) dalam perlindungan hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara bagi rakyat sehingga ada pemikiran untuk diselesaikan melalui peradilan umum.
Bertitik tolak dari ketentuan UU No. 5 tahun 1986 dan perubahannya, serta konsep-konsep pemikiran para sarjana, bahwa: peradilan tata usaha negara hanya menangani sengketa-sengketa tata usaha negara yang bersifatnya konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum
Dalam kaitan ini perlu ditelusuri dasar kewenangan peradilan  umum menyelesaikan sengketa-sengketa tata usaha negara. Pada masa setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia pradilan umum tetap menyatakan dirinya berkompeten menangani gugatan terhadap pemerintah. Dari putusan-putusan yang pernah ada ternyata ada beberapa dasar yang dijadikan dasar hukum oleh peradilan umum untuk menyatakan kompetensinya.
Dalam kaitan ini, Philipus M Hadjon dalam buku-bukunya perlindungan  hukum bagi rakyat Indonesia mengatakan :[16]
Ada tiga hal yang dapat ditujukan sebagai dasar kewenangan peradilan umum menangani gugatan terhadap pemerintah yakni  :
Pertama    :     masih menunjukkan  Pasal 2 RO sebagai dasar hukum.
Kedua        :     menyatakan sebagai dasar ialah karena belum adanya peradilan tata usaha negara (PTUN).
Ketiga        :     menyatakan sebagai dasar ialah yurisprudensi.

Ketiga dasar hukum yang dijadikan dasar kompetensi  absolut peradilan umum tersebut, kiranya perlu dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata  usaha negara dan ketentuan  dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum. Dasar kompetensi peradilan umum ialah pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 1986 dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kompetensi peradilan tata usaha negara ternyata hanya mengenai keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Dengan pembatasan tersebut, penjelasan undang-undang ini menyebutkan bahwa sengketa-sengketa administrasi negara atau gugatan terhadap pemerintah yang tidak termasuk kompetensi peradilan tata usaha negara dan tidak termasuk peradilan tata usaha militer termasuk kompetensi peradilan umum.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum tidak satupun pasal yang menyebutkan secara eksplisit tentang kewenangan peradilan umum menyelesaikan sengketa-sengketa tata usaha negara. Bahkan pasal 50 undang-undang ini menyebutkan secara jelas bahwa : “Peradilan demikian tentunya menurut logika hanya sengketa-sengketa perdata saja yang termasuk dalam wewenang peradilan umum untuk diperiksa dan diadili”. Namun dengan menggunakan interprestasi gramatikal kiranya dapat ditafsirkan hal itu.
Dalam hubungan ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 bahwa: “Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Selanjutnya penjelasannya menyatakan  sebagai berikut: Pengadilan di lingkungan peradilan umum sekaligus merupakan pengadilan untuk perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara pelanggaran lalu lintas jalan dan perkara lainya yang ditetapkan dengan undang-undang.
Menyimak rumusan Pasal 2 bahwa peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya maka apabila ditafsirkan secara luas hal itu menunjukan bahwa peradilan umum selain harus menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang belum ditangani PTUN, juga brwenang menyelesaikan perkara/sengketa yang timbul akibat perbuatan materiil dan perbuatan menurut hukum perdata yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara. (sesuai penjelasan pasal 2 …… perkara lainya).
Philipus M. Hadjon dalam bukunya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia menunjukan Undang-undang No. 14 tahun 1970 sebagai dasar kewenangan peradilan umum. Selanjutnya diuraikan sebagai berikut  :
Dalam Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan empat tipe peradilan dan disamping itu masih dimungkinkan pembagian dalam filsafat logika, empat tipe peradilan tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua kelompok yakni : peradilan khusus yang meliputi peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, serta peradilan umum.
Kriteria khusus yang mengandung makna rakyat tertentu. Dengan demikian a contrario adalah peradilan umum. Dengan premise di atas dapat ditarik konklusi untuk menetapkan lingkup kompetensi peradilan. Konklusi tersebut ditarik dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Undang-undang No. 4 tahun 2004 Yakni :
Pertama    :     prinsip yang terkandung dalam Pasal 14 yakni tentang kekuasan serta acara badan-badan peradilan yang diatur dengah Undang-undang.
Kedua        :     peradilan khusus hanya menangani perkara-perkara yang ditetapkan dengan undang-undang.
Dengan prinsip-prinsip tersebut, dalam menetapkan kompetensi peradilan umum dapat ditentukan dengan  dua cara yakni :
Pertama    :     bahwa lingkup kompetensi peradilan umum itu ditetapkan dengan undang-undang.
Kedua        :     Luasnya lingkup kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan teori Residu. Teori ini menyebutkan bahwa bidang-bidang yang tidak diserahkan  khusus dengan sendirinya masuk lingkup peradilan umum. Dengan cara itu, tidak akan ada sengketa hukum yang tidak termasuk kompetensi salah satu badan peradilan yang ada.
Berdasarkan uraian tentang kewenangan peradilan umum mengenai sengketa tata usaha maka dapat  diketahui bahwa kewenangan peradilan umum menyelesaikan sengketa tata usaha negara dapat ditelusuri melalui dua cara yaitu dasar pembenar peratutan perundang-undangan dan dasar pembenar secara teoritis.
Dasar pembenar menurut undang-undang mengandung arti bahwa, penentuan kompetensi peradilan umum ditelusuri melalui  peraturan perundang-undangan. Yang dalam hal ini kompetensi peradilan umum tadi dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 2 Tahun  1986 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dasar pembenar lainnya yakni dengan menggunakan tolok ukur Residu. Dengan berpatokan pada dua dasar pembenr itu, maka kendatipun dewasa ini telah beroperasi peradilan tata usdaha negara (PTUN) namun peradilan umum masih tetap diberikan kewenangan mengadili sengketa-sengketa tata usaha negara.
Oleh karena Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hanya diberikan kewenangan tertentu saja dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, maka dengan sendirinya lahan kewenangan peradilan umum masih luas, sehingga kewenangan itupun mencangkup menyelesaikan sengketa tata usaha negara
















II.  KARAKTERISTIK PUTUSAN


A.   Konsep Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
           Konsep berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana tertuang dalam  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dijelaskan seperti dalam Pasal 115 menyebutkan : Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.
           Formulasi Pasal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa putusan yang dijalankan adalah putusan yang sifatnya sudah tetap. Hal itu berarti bahwa putusan tersebut tidak dapat ditinjau atau dibatalkan. Dengan demikian sifat putusan ini memiliki kekuatan mengikat yang sesuai dengan, “Salah satu asas putusan dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yakni asas Erga Omnes yang artinya putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat".[17]
           Makna asas “erga omnes” menurut Philipus M. Hadjon adalah : putusan  berlaku bagi semua orang.[18]  Maka dengan asas ini, putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Hal demikian itu merupakan pengejawantahan essensi Peradilan Administrasi yang pada dasarnya menegakkan hukum publik (hukum administrasi). Sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan Administrasi pun mempuyai pula karakter hukum publik. Dengan demikian, antara putusan hakim perdata dengan putusan hakim administrasi terdapat perbedaan: Putusan hakim perdata pada prinsipnya hanya mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan hakim administrasi mempunyai kekuatan mengikat bagi semua orang. Indroharto dalam bukunya Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara juga menegaskan :
Kalau pada putusan pengadilan perkara perdata itu pada prinsipnya hanya mempunyai kekuatan mengikat antara para pihak, maka putusan PERATUN itu mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun.[19]
           Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dengan asas “erga omnes” dalam proses Peradilan Administrasi tidak berlaku sebagaimana yang sering terjadi pada Diktum putusan hakim perdata : Agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang tidak diikutsertakan, untuk tunduk dan mentaati putusan pengadilan - om te  gehengen en te gedogen – yang bersangkutan”. Diktum putusan seperti ini dalam Peradilan Administrasi tidak perlu terjadi. Apalagi terdapatnya gugatan yang menyebutkan adanya : Tergugat I, tergugat II, turut tergugat I, turut tergugat II dan seterusnya seperti apa yang lazim dalam proses beracara perdata.
           Nalar adanya konsekuensi (karakteristik) ini ialah, sengketa TUN (administrasi adalah sengketa hukum publik (hukum administrasi). Putusan hakim Peradilan Administrasi merupakan putusan hakim publik (mempunyai karakter hukum publik). Dengan demikian, putusan hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa semata. Dengan demikian, berlainan dengan hukum acara perdata, yang pada dasarnya siapa saja yang berkepentingan dengan suatu obyek sengketa (perkara) dapat ditarik menjadi pihak yang berperkara : tergugat . Dalam hukum acara Peradilan Administrasi hanya organ pemerintah yang mengeluarkan surat keputusan yang menjadi obyek sengketa saja yang dapat dijadikan pihak tergugat. Bagaimanakah dengan UU PTUN? Pasal 1  angka 12 Undang-undang No. 51 Tahun 2009 menentukan :
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
           Ketentuan tersebut memberikan bentuk pemahaman:
Pertama    :     yang selalu menjadi pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN. Namun, bukan semua Badan atau Pejabat TUN, hanya Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN.
Kedua        :     Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN  harus yang berwenang.
           Apakah perlu adanya petitum dan diktum seperti dalam bentuk gugatan perdata ? Kalau  gugatan dikabulkan, haruskah kepada tergugat lainnya diputuskan untuk tunduk dan mentaati putusan pengadilan yang bersangkutan  (“om te gehengen en te gedogen”)? Putusan termaksud, jelas tidak dikenal dalam proses Peradilan Administrasi. Putusan hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi umum, yakni berlaku bagi siapa saja, sehingga berbeda dengan  putusan hakim perdata yang hanya berlaku untuk pihak-pihak yang bersengketa semata. Dengan demikian, tidak perlu adanya  pernyataan dari pengadilan dalam memutuskan perkara yang menyatakan agar pihak-pihak yang terkait tunduk dan mentaati. Petitum dan diktum putusan termaksud,  jelas tidak sesuai dengan asas “erga omnes” sebagaimana halnya dengan penyebutan “turut tergugat I, turut tegugat II” dn seterusnya. Meskipun tanpa diktum tersebut dan mengikutsertakan pihak lain dalam bentuk formal sebagai tergugat I, tergugat II, turut tergugat I, turut tergugat II dalam proses yang bersangkutan, berdasarkan asas “erga omnes”, siapapun juga akhirnya harus tunduk pada putusan yang dijatuhkan (yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap). Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dan perubahannya tidak mengenal istilah “turut tergugat”, tidak seperti lazimnya dalam praktik acara perdata di Peradilan Umum, karena  sudah tegas dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 51 Tahun 2009: tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN, yang mengeluarkan KTUN (Vide Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No. 9 Tahun 2004). Atas alas asas “erga omnes”: tergugat I, tergugat II atau turut tergugat I,turut tergugat II kalau perlu dapat menjadi saksi yang sangat berkepentingan. Kekhilafan atau bahkan “ketidakpahaman” atas asas “erga omnes, dalam penyelesaiaan sengketa TUN kiranya menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan dan mempelajarinya merupakan suatu urgensi bagi hakim Peradilan Administrasi.
           Dengan demikian putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Mengikatnya itu disebabkan karena putusan Hakim PTUN mempunyai watak hukum publik. Atas dasar itu tidak ada alasan apapun bagi pihak tergugat untuk tidak menjalankan putusan dengan segala kewajiban yang dibebankan kepadanya.
           Menurut Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 putusan Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya berupa:
1.    Gugatan ditolak
2.    Gugatan dikabulkan
3.    Gugatan tidak diterima
4.    Gugatan gugur
           Dalam hal gugatan dikabulkan maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu akan menyebutkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan pihak tergugat (Pasal 97 ayat 8). Pengaturan yang sama juga disebutkan dalam ayat (9) sampai dengan ayat (11) Pasal 97. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi :
1.    Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang dinilai merugikan penggugat.
2.    Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dengan menerbitkan KTUN yang baru.
3.    Menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
4.    Selain kewajiban seperti pada nomor 1, 2 dan 3 dapat pula disertakan kewajiban pemberian rehabilitasi.
5.    Selain kewajiban berupa nomor 1, 2 dan 3 dapat pula disertai pembebanan ganti rugi.
6.    Apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebabkan karena suatu perubahan keadaan yang terjadi setelah putusan itu dijalankan / memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka tergugat wajib melaporkan pada Ketua PTUN.
7.    Apabila dalam waktu 30 hari tergugat tidak dapat menjalankan putusan secara sempurna maka pihak penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN agar tergugat dibebani sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan dan dimohon penggugat.
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan sebagai berikut  :
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)  Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7)  Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

           Ketentuan dalam Pasal tersebut diatas mengatur upaya-upaya yang ditempuh oleh penggugat untuk memohon agar tergugat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pihak Pengandilan Tata Usaha Negara. Apabila permohonan penggugat tidak diindahkan, Ketua Pengadilan secara bertahap mengajukan putusan itu kepada Instansi atasan untuk memerintahkan Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara bawahannya untuk mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi jika berbagai upaya yang telah ditempuh itu juga belum membuat tergugat sadar untuk menaati putusan Peradilan Tata Usaha Negara itu, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal tersebut kepada Presiden sebagai pemegang Kekuasaan Pemerintahan Tertinggi.
           Upaya-upaya yang ditempuh untuk memaksakan ditaatinya putusan Peradilan Tata Usaha Negara oleh tergugat secara ideal, pengaturannya sudah jelas, tegas dan memadai, namun pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kesadaran hukum para tergugat yang dalam hal ini adalah Badan / Pejabat Tatat Usaha Negara.
           Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain mengatur pula pemberian kesempatan kepada pihak tergugat untuk memberitahukan kepada Ketua Peradilan Tata Usaha Negara manakala ia tidak dapat atau tidak sempurna meenjalankan putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
           Pasal 117 menentukan sebagai berikut  :
(1)  Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkab oleh berubahnya keadaan yang telah terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan / atau memperoleh kekuatan hukum tetap, dia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
(2)  Dalam waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
(3)  Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat.
(4)  Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5)  Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.
(6)  Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua belah pihak.
           Ketentuan dalam Pasal ini memberikan pengecualian bahwa, apabila tergugat tidak melaksanakaan secara sempurna putusan Pengadilan Tata  Usaha Negara karena suatu hal diluar kemampuannya maka pihak tergugat tetap dibebani kewajibannya membayar sejumlah uang atau kompensasi lain. Secara jelas pengaturan masalah kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. No. 43 Tahun 1991 yang mengatur tentang ganti rugi dan tata cara pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.
           Dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyangkut rehabilitasi tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna dilaksanakan, maka Badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 hari sejak diterimanya putusan pengadilan, memberitahukan perihal tersebut pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus ditingkat pertama dengan tembusan kepada penggugat (Pasal 9 PP. No. 43 / 1991).
           Penggugat dalam tenggang waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar tergugat dibebani kewajiban untuk membayar kompensasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah yang sama. Besarnya Kompensasi sesuai Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 yaitu antara Rp. 100.000,00 – Rp. 2.000.000,000.
           Dengan demikian pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa, pihak tergugat tetap ddibebani tanggung jawab berupa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam keadaan apapun. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Pasal 9 – 12 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991.
           Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986 (Sudah dihapus) menentukan sebagai berikut  :
(1)  Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yaang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2)  Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
(3)  Gugatann perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksananaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
           Ketentuan Pasal ini ternyata mengandung kelemahan yang ikut melemahkan pula asas keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kekuatan mengikat (Asas Erga Omnes). Kalau hal ini terjadi maka akan menimbulkan  : “Adanya reformatio in peius yang artinya, perubahan vonis yang dapat merugikan pihak penggugat / pembading”.[20]  Dan Pada perubahan kedua UU PTUN Ketentuan ini dihapuskan.
           Dalam hukum acara Peradilan Administrasi yang dapat  menjurus kepada adanya “reformatio in peius”, yakni hakim administrasi justru memberikan putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat, dalam arti dengan putusan hakim administrasi penggugat akan dibawa kepada situasi yang lebih merugikan baginya daripada keadaan sebelum ia mengajukan gugatan. Reformatio in peius merupakan konsekuensi terjauh dari ultra petita yang oleh hakim selalu diupayakan seminimal mungkin. Bahkan di Belanda, hakim administrasi sedapat mungkin mencoba menghindari reformatio in peius karena dianggap bertentangan dengan sifat perlindungan hukum dari Peradilan Administrasi.
Selanjutnya asas keaktifan hakim memiliki implikasi pada pengujian keabsahan – “rechtmatiggheidstoetsing”. Berkenaan dengan pengujian keabsahan atas keputusan organ pemerintahan yang disengketakan, J.B.J.M.ten Berge dalam bukunya yang berjudul Bescherming Tegen de Overheid : Stand Van Zaken na invoering van de algemene Wet Bestuursrecht telah menegaskan :
Voormaamste karakteristiek van administratieve rechtspraak is dat het primair gaat om de tostsing van en bepaald besluit zoals dat genomen is door het bestuursorgaan en niet om een bindende vaststelling van de tussen partijen geldende rechten en plichten, dus niet on bindende vaststelling van de inhoud van rechtsbetrekking-(karateristek utama peradilan administrasi adalah menguji besluit tertentu sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh organ pemerintah dan bukan menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa, bukan menetapkan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan).[21]
Dalam melakukan pengujian “rechtmatigheid”, apakah hakim administrasi terikat pada alasan-alasan menggugat-dasar gugatan-“beroepsgronden” yang telah dikemukakan oleh penggugat ?- Apakah hakim administrasi karena jabatanya dapat melengkapi sendiri “beroepsgronden” yang bagi hakim sendiri merupakan dasar-dasar pengujian- “toetsingsgronden” selain yang dikemukakan penggugat ? Bertumpu pada asas keaktifan hakim : hukum administrasi dalam melakukan pengujian tidak terikat pada alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat dalam gugatannya. Memang, sebaiknya penggugat itu merinci sejelas mungkin  alasan-alasan gugatannya, agar hakim administrasi dapat mengerti benar terhadap alasan-alasan apa saja yang digunakan dalam gugatan. Mungkin sekali terjadi silang selisih pendapat. Hakim berpendapat bahwa keputusdan  organ pemerintah yang disengketakan itu telah melanggar salah satu dasar pengujian yang justru digunakan sebagai dasar gugatan yang diajukan oleh penggugat
           Surat keputusan berisi suatu izin (jadi bersifat menguntungkan), namun izin itu disertai persyaratan (yang memberatkan baginya) dan ia menggugat tentang persyaratan ini. Namun, kemudian ternyata oleh Pengadilan “beschchikking”nya sendiri (yang dirasakan penggugat menguntungkan itu) justru dinyatakan sebagai tidak sah sama sekali dan dibatalkan.
           Akankah hakim-hakim Peradilan Adminisrasi Indonseia “sampai Hati” untuk melakukan “reformatio in peius”, mengingat diadakannya Peradilan administrasi menurut UU PERATUN  justru untuk memberikn perlindungan hukum kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya suatu KTUN (penjelasan Umum Angka 1 dan angka 5 UU PERATUN). Apalagi di Belanda misalnya, hakim administrasi sendiri  sedapat mungkin mencoba menghindari “reformatio in peius” karena dianggap bertentangan dengn fungsi “rechsbescherming” dari Peradilan Administrasi.[22]
           Memang melakukan “ultra petita” diperbolehkan dan tidak dilarang, sepanjang KTUN yng disengketakan masih dalam batas wewenang hakim Peradilan Administrasi. Untuk hakim perdata tetap dilarang melakukan “ultra petita” . Putusan yang memuat “ultra petita” akan dibatalkan oleh hakim banding atau hakim kasasi. Hakim perdata tersebut akan dinyatakan salah dalam menerapkan hukum.
           Di Indonesia melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 5 K/TUN/1992 hakim Peradilam Administrasi dapat  melakukan “ultra petita”. Persoalannya  adalah, apakah putusan tersebut dapat dijadikan yurisprudensi tetap, sementara peradilan di Indonesia tidak menganut ajaran  precedent? Sepintas, hakim-hakim Peradilan Admnistrasi bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan terdahulu. Namun dalam Praktik, hakim-hakim cenderung  meniru berbagai yurisprudensi tetap. Kecuali hal itu didasarkan pada pertimbangan otoritas, juga secara praktis kemungkinan putusan yang lebih rendah akan dibatalkan Mahkamah Agung kalau tidak mengikuti yurisprudensi Mahkamah Agung.[23] Kita lihat saja perkembangan yurisprudensi Peradilan Administrasi nanti 
           Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembatalaan yang bersifat hukum administrasi terhadap suatu keputusan pada akhirnya mengarah kesuatu hasil yang lebih negatif bagi seorang penggugat dibandingkan dengan apa yang dihasilkan keputusan yang asli.
           Pada bagian lain Pasal 120 menentukan  :
(1)  Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirim kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(2)  Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirim pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
(3)  Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.
           Ketentuan tersebut menyebutkan dengan jelas tentang masalah pemberitahuan pihak Pengadilan Tata Usaha Negara perihal kewajiban-kewajiban termasuk ganti rugi yang harus dijalankan oleh pihak tergugat. Dengan mengacu pada Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah  Nomor 43 Tahun 1991, maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara harus dijalankan oleh tergugat dalam hal ini adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara.


B.   Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Tata usaha Negara.
           Ada satu hal yang berbeda dalam pelaksanaan putusan pengadilan ini antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Perdata bahwa tidak seperti dalam proses hukum acara perdata, maka dalam proses hukum acara TUN ini tidak dikenal yang disebut pelaksanaan serta merta (executie bij vooraad) dari suatu putusan akhir Pengadilan. Sebab sebagaimana dikemukakan di atas hanya putusan akhir yang telah berkekuatan tetap saja yang dapat dilaksanakan. Memang pada suatu saat pertikaiaan/sengketa hukum itu harus berakhir (Litis Finiri oportet). Apabila sudah tidak ada sarana upaya hukum biasa lagi yang terbuka, maka putusan Pengadilan (termasuk putusan dengan acara singkat menurut pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) tersebut menjadi berkekuatan tetap dan putusan itu dikatakan memperoeh kekuatan hukum formal.
           Sama seperti dalam putusan perkara  Perdata  bahwa suatu keputusan TUN maupun putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap itu tidak dapat diganggu gugat lagi. Selanjutnya isi dari keputusan Tun itu dapat memulai bekerja dan menimbulkan akibat-akibat hukum seperti yang ditentukan dalam undang-undang. Bekerjanya isi putusan TUN harus ditaati dan dilaksanakan oleh siapapun juga termasuk oleh Pemerintah sendiri. Sebab kalau pihak-pihak atau lain-lain Badan atau Jabatan TUN diberi wewenang untuk menyingkirkan suatu putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan tetap, maka hal itu praktis akan dapat membahayakan kelangsungan hidup negara kita.
           Indroharto untuk menunjukkan dapat bekerjanya isi dari putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut digunakan istilah Kekuatan hukum material. Artinya isi instriksik dari putusan itu selain akan tetap tidak berubah lagi keadaannya, juga secara juridis dapat bekerja dan menimbulkan akibat-akibat seperti yang ditentukan dalam undang-undang.[24]
           Biasanya akibat-akibat hukum dari bekerjanya isi dari suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap itu dapat dibedakan antara [25] :
a.    Arti Putusan Pengadilan sebagai suatu Fakta Hukum
b.    Kekuatan Pembuktian putusan Pengadilan sebagai Akta Otentik
Menurut pasal 1868 KUHPdt dan seterusnya, suatu akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak dan ahli warisnya serta bagi mereka yang mempeoleh hak dari mereka;
Dalam prosedur di muka Lingkungan Pengadilan yang lain, putusan Pengadilan TUN ini juga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam arti sebagai suatu fakta hukum bahwa perkara yang bersangkutan menurut putusan itu telah diputuskan demikian.
Sedang apakah mengenai fakta-fakta serta hukumnya yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan itu juga mengikat dalam proses Lingkungan Pengadilan yang lain tersebut adalah merupakan persoalan mengenai kekuatan hukum dari putusan Pengadilan TUN.
c.    Kekuatan Mengikat dari Putusan Hakim TUN
Kekuatan hukum dari putusan Pengadilan TUN bagi Hakim Perdata itu dalam  garis-garis besarnya tampak dalam situasi-situasi dimana dalam suatu proses perdata :
1.    Hakim Perdata tersebut diminta oleh pihak-pihak yang pernah bersengketa dimuka di muka Pengadilan TUN untuk memutuskan pokok sengketa mereka yang pernah diputus oleh Pengadilan TUN tersebut. Menghadipi keadaan demikian, Hakim  Perdata tentunya akan mengaggap berlakunya asas umum mengenai “ne bis in idem”, karena hubungan hukum yang disengketakan itu telah diputuskan dalam suatu putusan Hakim TUN yang berkekuatan tetap yang tentunya tidak dapat diubah  atau diganggu gugat lagi melalui suatu prosedur hukum yang terbuka bagi pihak-pihak, kecuali kalau terdapat suatu nova.
2.    Hakim Perdata tersebut diminta oleh pihak-pihak yang belum pernah bersengketa di muka Pengadilan TUN untuk memutuskan hal yang pernah diputus oleh Pengadilan TUN tersebut. Mengingat suatu Putusan Pengadilan TUN itu juga bersifat hukum publik, maka hal yang sudah diputuskan oleh Hakim TUN  dan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap juga akan dihormati oleh Hakim Perdata.
Di sini letak perbedaan kekuatan hukumnya antara kedua putusan Pengadilan. Berbeda dengan putusan  Hakim Perdata yang hanya berlaku mengikat  bagi pihak-pihak yang bersengketa, maka putusan Hakim TUN yang sudah berkekuatan itu berlaku bagi siapa pun juga.
3.    Hakim Perdata oleh pihak-pihak yang belum pernah bersengketa diminta  untuk memutuskan suatu hal yang mereka sengketakan menurut  jurisprudensi yang pernah terjadi dlam hukum acara TUN. Dalam menghadapi hal demikian, Hakim Perdata tetap akan memperhatikan jurisprudensi yang pernah ada tersebut, namun apabila terdapat dasar-dasar yang lebih maton, mengiangat kemungkinan telah terjadinya perubahan situasi, perubahan peraturan perundangan-undangan maupun possisi-posisi hukum dari pihak-pihak yang bersangkutan, ia masih leluasa untuk menyimpang dari jurusprudensi yang pernah aada tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas  bahwa  putusan pengadilan Perdata yang telah berkekuatan tetap itu pada dasarnya hanya mengikat (berlaku antara) para pihak  yang bersangkutan, maka putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan tetap  ini, pada dsarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum  publik dan karena itu berlaku juga bagi pihak-pihak di luar yang bersengketa (erga omnes). Akan tetapi  ada juga putusan-putusan Hakim Perdata yang bersifat hukum publik, seperti putusan mengenai status seseorang, perceraian ,kepailitan dan sebagainya, juga memiliki daya  berlaku di luar para pihak yang bersangkutan.
Keputusan-keputusan TUN (termasuk keputusan yang dikeluarkan  dalam proses banding administratif) yang merupakan penetapan pun juga dapat memiliki daya berlaku bagi pihak ketiga; umpama kalau pihak pemegang izin mendapat kesulitan dari pihak ketiga, maka izin yang dipegangnya dapat ia tunjukkan kepadanya.
Kekuatan yang serupa juga dimiliki oleh keputusan-keputusan TUN yang merupakan pelaksanaan  putusan Pengadilan TUN yang  dibebankan kepada Badan atau Jabatan TUN yang bersangkutan berdasarkan pasal 97 ayat 8 dan 9.
d.    Kekuatan Eksekutorial
Yang di maksud dengan eksekusi putusan pengadilan adalah  pelaksanaan putusan  Pengadilan oleh atau dengan bantuan phak .
Dalam hukum acara perdata sebagaimana telah dikemukakan membedakan-bedakan antara :
1.    eksekusi putusan untuk :
a.    membayar sejumlah uang; dan
b.    menyerahkan suatu barang, atau untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu ; dengan
2.    sarana-sarana yang tersedia untuk melaksanakan suatu putusan yang :
a.    bersifat langsung yang berupa :
1.    kuasa yang diberikan Hakim untuk membatalkan sesuatu yang sebernarnya tidak boleh dilakukan (pasal 1240) KUHPdt);
2.    kuasa dari hakim untuk melakukan sesuatu  oleh pihak ketiga atas beban pihak Tergugat (1241 KUHPdt);
3.    eksekusi oleh jurusita;
4.    penyitaan yang diikuti dengan pelelangan di muka umum;
5.    suatu putusanyang menggantikan akte atau pernyataan pihak terhukum
b.    bersifat tidak langsung, berupa :
1.    penyaderaan dan
2.    pembebanan uang paksa.
Semua pelaksanaan putusan yang tidak berupa uang paksa itu dapat disebut eksekusi rieel.
           Mengenai eksekusi putusan Pengadilan Tun ini kita akan keliru kalau berpendapat, bahwa pengertian eksekusi dalam hal itu diartikan   sebagai eksekusi secara riel seperti pada putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan dengan bantuan pihak luar dari para pihak sendiri. Sebab eksekusi secara riel terhadap pemerintah itu merupakan hal yang mustahil dapat terjadi. Tidak mungkin  terhadap pemerintah itu diterapkan tindakan upaya paksa agar secara pribadi melakukan sesuatu prestasi yang telah diptuskan  dalam suatu putusan pengadilan.
Sarana-sara seperti yang diberikan oleh hukum secara acara perdata yang mungkin terhdap pemerintah  sebenarnya hanya sarana tidak langsung yang berupa pembebanan uang paksa. Tetapi sayang hal itu tidak dikenal dalam undang-undang Peradilan TUN ini.
Umpama hal itu dapat diterapkan pun, harus tetap diingat, bahwa :
1.    Hanya benda yang digunakan untuk kepemtingan umum itu tidak dapat diletakkan dalam suatu sitaan  eksekusi ;
2.    Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri  atas beban  pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan, bahwa  berbuat atau memutuskan sesuatu berdasarkan oleh Badan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.    Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintah sebagai sarana paksaan akan berakibat pantyulan-pantilan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan ;
4.    Pemerintah itu sendiri selalu dianggap dapat dan mapu membayar (solvabel);
Dengan demikian secara singkat dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pun di waktu yang akan datang  menurut undang-undang  tidak selalu akan semudah yang diharapkan. Dalam Kenyataannya nanti kelancaran jalannya eksekusi putusan-putusan Pengadilan TUN akan sikap dan perilaku dari seluruh jajaran pemerintahan sendiri yang juga ikut bertanggung jawab akan kelangsungan kehidupan yang mantap dari negara hukum kita.
Hal itu disebabkan karena Pembuat Undang-undang kita dalam Undang-undang ini, sebagimana tampak pada pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan seterusnya baik dalam perubahan atau tidak dilakukan perubahan materi undang-undangnya, belum sampai hati untuk memberikan posisi yang lebih kuat kepada para pencari keadilan dengan pengaturan ketentuan-ketentuan dalam bidang eksekusi yang lebih efektif bagi para pencari keadilan dari yang ada sekarang.

C. Tindak Lanjut Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 putusan Pengadilan itu dapat berupa :
1.    gugatan ditolak : dalam hal demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut;
2.    gugatan tidak diterima : dalam hal demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut;.
3.    gugatan dinyatakan  gugur : juga dalam hal demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut.
4.    gugatan dikabulkan :
Dikabulkannya gugataan itu berupa pembatalan untuk  seluruhnya atau sebagian dari keputusan TUN yang digugat.
Selanjutnya menurut ketentuan pasal 97 ayat 8 dikatakan, bahwa dalam gugatan dikabulkan, maka dalam  putusan Pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN yang mengeluarkan keputusan. Dan kewajiban  tersebut dapat berupa :
1.   Pencabutan Keputusan yang digugat :
2.   Pencabutan Keputusan yang Digugat dan Menerbitkan Keputusan Baru.
Keadaan ini dapat terjadi umpama dalam kasus dimana gugatan itu oleh Pengadilan dikabulkan untuk sebagian :
-          Suatu izin telah dicabut untuk satu tahun lamanya. Pengadilan berpendapat itu tidak masuk akal lalu diputuskan bahwa pencabutan itu hanya akan berlaku untuk 6 bulan saja. Atas dasar putusan Pengadilan tersebut, Tergugat lalu mencabut keputusan semula dan menerbitkan keputusan yang baru sesuai dengan yang diputuskan oleh Pengadilan.
Contoh lain :
-          Penggugat menggugat sutu Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak sebesar 2 juta rupiah; dan Pengadilan  berpendpat Tagihan atau ketetapan Pajak itu seharusnya tidak lebih dari Rp 800.000,- saja. Atas dasar putusan Pengadilan tersebut Tergugat lalu mencabut keputusan Ketetapan Pajak semula dan menerbitkan keputusan Ketetapan Pajak yang baru di mana jumlah Ketetapan Pajak 2 juta rupiah diubah menjadi Rp 800.000,-
-          Tergugat telah menolak suatu permohonan izin usaha yang dimohon oleh A; Setelah diajukan gugatan, Pengadilan memutuskan dengan memerintahkan Tergugat agar menerbitkan  izin yang dimohon A yang kemudian dilaksanakan Tergugat.

3.   Penerbitan Keputusan dalam hal Gugatan yang didasarkan pada Pasal 3 Dikabulkan.
Hal ini dapat terjadi pada kasus dimana tergugat itu sama sekali tidak berbuat apa-apa, artinya tidak mengeluarkan keputusan TUN yang di mohon. Setelah sikap demikian itu digugat,  Pengadilan memutuskan keputusan TUN yang dimohon tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Pengadilan TUN sendiri tidak berwenang untuk mengeluarkan sesuatu keputusan TUN sendiri yang  diperlukan dalam suatu kasus. Karena itu exclusievely merupakan wewenang Pemerintah di mana di dalamnya mengandung diskreasi yang besar mengenai isi dan bentuk keputusan yang akan dikeluarkan. Jadi akhirnya putusan Pengadilan itu masih harus dilaksanakan oleh pemerintah.
Demikian juga dalam hal suatu keputusan TUN yang telah dibatalkan itu harus dihapuskan (lihat pada kemungkinan pada kasus  A tersebut di atas ), di mana dalam hal itu keputusan TUN yang  dinyatakan batal itu masih harus dicaabut dalam diktum putusan Pengadilan hanya memuat pemerintah agar keputusan TUN yang disengketakan dan dinyatakan tidak sah itu dicabut.
           Dalam pasal 116 ayat 2 ada ditentukan, bahwa :
Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
           Dengan demikian apabila pemerintah yang telah diputuskan dan dimuat dalam diktum putusan Pengadilan itu tidak ditaati atau tidak dilaksanakan oleh Tergugat, Undang-Undang sendiri telah menyatakan bahwa keputusan TUN yang disengketakan setelah 6 bulan  yang tidak dilaksanakan tidak mempunyai kekuatan hukum gugat.
           Tetapi Pasal 116 ayat 2 tersebut tidak menampung pelaksanaan dari kasus di mana Tergugat dibebani kewajiban untuk mencabut keputusanTUN yang bersangkutan dibebani kewajiban untuk  mencabut keputusdan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru. Sebab dalam kasus bersangkutan dan menerbitkan harus menerbitkan keputusan yang baru. Dengan hilangnya Keputusan yang lama  yang telah dibatalkan saja sebenarnya belum cukup. Seperti halnya bukanlah suatu keputusan Tata Usaha Negara yang sebenarnya, tetapi suatu penolakkan fiktif. Juga dalam sebuah kasus untuk pasal 116 ayat 2 tidak ada penampungannya.
           Lalu bagaimanakah kita memperoleh kepastian dilaksanakannya putusan Pengadilan apabila dalam kasus-kasus tergugat itu tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan. Apakah jaminannya, bahwa keputusan TUN yang diperintahkan untuk dikeluarkan,  akhirnya dikeluarkan juga ?
           Mengenai kesulitan tersebut pasal 116 ayat 3 sampai dengan ayat 6 yang menjawab secara singkat adalah sebagai berikut :
1.    Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan agar Tergugat diperintahkan melaksanakan putusan yang telah tetap tersebut.
2.    Jika perintah Ketua Pengadilan  tersebut  tetap tidak dihiraukan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada atasan tergugat :
3.    Dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan itu, atasan tersebut seharunnya udah memrintahkan  kepadaa Tergugat agar melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
4.    Kalau instansi atasana tersebut juga tidak mengindahkan  permintaaan Ktua Pengadilan tersebut, maka Ketuan Pengadilan  akan mengajukan persoalannya kepada Tergugat atau pejabat yang dibebani kewajiban dalam putusan yang bersangkutan.
           Memang sungguh diharapkan, agar prosedur terakhir tersebut jangan sampai berulang di waktu yang akan datang Sebab kalau selalu harus lewat perintah Presiden sudah tentu tidak dapat diharapkan hal itu dapat selesai dalam waktu yang singkat. Lebih-lebih  kalau prosedur tersebut akhirnya tidak membawa hasil apa-apa, maka tidak tahulah  kemana yang menang itu harus mengadu.
           Pembebanan kewajiban dalam putusan Pengadilan TUN itu mungkin sekali disertai  :
1.    tenggang waktu penerbitan keputusan TUN yang baru;
2.    ketentuan dalam diktum putusan, bahwa akibat-akibat yang telah terjadi dibiarkan tidak diubah keadaannya (gedektverklaring van de gevolgen);
3.    penetuan besarnya ganti rugi (ayat 10) di mana prosedur pelaksanaannya diatur  dalam pasal 120 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
           Dan apabila putusan akhir  Pengadilan itu menyangkut kepegawaian, maka di samping pembebanan kewajiban-kewajiban tersebut di atas masih dapat disertai pemberian rehabilitasi kepada pegawai yang telah dikenakan keputusan yang telah dibatalkan itu.
           Jadi yang sebenarnya memerlukan eksekusi adalah kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat atau Badan atau Jabatan TUN  yang mengeluarkan Keputusan TUN seperti yang diatur dalam paal 97 ayat 8 dan ayat-ayat 9, 10 dan 11 tersebut.
           Mengenai eksekusi kewajiban-kewajiban yang dibebankan tersebut perlu diberi beberapa catatan sebagai berikut  :
1.    Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan keputusan TUN baru tersebut dalam ayat 9 itu harus memperhatikan seluruh putusan Pengadilan yang memerintahkan dikeluarkan surat Keputusan TUN olehnya.. Untuk  itu perlu diperhatikan dasar pembatalan yang diterapkan oleh Pengadilan. Apabila ternyata ada cacad formal pada keputusan yang lama, maka cacat-cacat formal (umumnya mengenai prosedur pembentukkannya) tersebut harus diperbaiki pada  waktu menerbitkan keputusan yang baru. Dalam hal itu keputusan yang lama itu dinyatakan mengandung cacad yang bersifat  material, harus diperbaiki dengan dasar-dasar yang baru pula.
2.    Apabila dalam putusan Pengadilan yang membatalkan itu ditentukan tenggang waktu menerbitkan keputusan TUN yang baru, maka normalnya tenggang tersebut juga harus ditaati.
3.    Apabila Pembatalan itu diikuti dengan ketentuan, bahwa akibat-akibat yang telah terjadi dari keputusan TUN yang dibatalkan itu tidak perlu diadakan perubahan apa-apa, maka dalam hal suatu keputusan yang baru. Ada kemungkinan di situ diganti dengan pemberianganti  kerugian/kompoensasi.
4.    Apabila dalam keputusan ditetntukan adaanya ganti rugi maka prinsipnya ganti rugi tersebut harus dibayar menurut prosedur yang diatur dalam pasal 120. Menurut ayat 3 dari pasal 120 besarnya ganti rugi serta cara pelaksanaannya akan diatur  dalam Peraturan Penerintah.
Peraturan Pemerintah tentang penetapan besarnya ganti rugi/kompensasi dan tata cara pelaksanaan tersebut diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan bahwa  ganti rugi yang dapat diputuskan oleh Pengadilan adalah antara Rp 250.000, dan Maximum  Rp 5 juta rupiah. Sedang pembebanan kompensasi  yang berbentuk sejumlah uang dalam hal rehabilitasi di bidang kepegawaian  tidak dapat dilaksanakan dapat dijatuhkan antara Rp 100.000,- sampai maksimum Rp 2 juta.
Perlu dicatat bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut tidak berarti kemungkinan pengajuan gugatan ganti rugi ke hakim Perdata berdaar pasal 1365 KUHPdt sudah tertutup.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut dibedakan antara Badan atau Jabatan (pejabat) TUN di tingkat Pusat, di tingkat Daerah dan lainnya yang merupakan lembaga swsata yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena ia melaksanakan suatu urusan pemerintah dibebani kewaji ban memberi ganti rugi/rehabilitasi. Apabila yang dibebani ganti rugi/kompensasi itu suatu Badan atau jabatan TUN di tingkat  maka hal itu dibebankan pada APBN yang pelaksanaan tata cara pembayarannya diatur pada dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1129/KMK.01/1991.
Sedangkan apabila yang dibebani membayar ganti rugi/kompensasi itu Badan atau Jabatan TUN Daerah, maka hal itu dibebankan kepada APBD yang pelaksanaannya akan diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Namun  Keputusan Mendagri itu sampai pada saat ini belum keluar. Apabila yang dibebani membayar ganti rugi itu suatu badan swasta, maka hal itu sepenuhnya dibebankan kepada badan swasta yang bersangkutan. Pengaturan pelaksanaannya tentunya harus ditentukan kasus  demi kasus oleh Pengadilan sendiri dalam rangka eksekusi putusannya. Untuk itu diharapkan adanya yurisprudensi dari Mahkamah Agung.
Pelaksanaan  pembebanan kewajiban untuk menerbitkan keputusan baru (ayat 9 sub b dan c) baik  sebagai pengganti dari keputusan yang telah dibatalkan, maupun sebagai pengganti dari keputusan fiktif negatif (gugatan berdasarkan pasal 3) yang telah dibatalkan sudah tentu harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan yang tentu harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan yang disebutkan dalam putusaan Pengadilan yang telah melakukan pembatalaan tersebut. Di sampig itu harus diingat, bahwa pada saat  keputusan pengganti itu dikeluarkan, Badan atau Jabatan TUN yang berkewajiban mengeluarkan itu juga tidak dapat melepaskan diri dari keharusan untuk memperhatikan kemungkinan-kemungkjianan telah terjadinya perubahan-perubahan mengenai keadaan, peraturan hukum maupun posisi-posisi hukum serta pertimbangan-pertimbangan kebijaksanaan yang telah terjadi dilakukannya  semenjak keputusan yang lama dibatalkan. Sehingga karenanya mungkin sekali Tergugat dalam memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya tersebut dengan mengeluarkan kewajibana yang dibebankan kepadanya tersebut dengan mengeluarkan keputusan baru itu tidak 100 % sama  dengan keputusan yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat dengan gugatannya yang telah berhasil tersebut.
Apabila hal-hal demikian itu benar dialami Tergugat maka Tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan setempat.





III.  IMPLEMENTASI PUTUSAN

A.  Tolak Ukur Hasil Putusan
Pada pelaksanaannya Peradilan Tata Usaha Negara, perlu diketahui dalam ranah hukumnya atas adanya hal yang disebut implementasi tidak menghasilkan keinginan dari para pihak yang berpekara, sebagai berikut:
1.  tergugat benar  memenuhi kewajibannya dengan  menerbitkan keputusan pengganti, tetapi  yang menurut Penggugat  tidak sesuai dengan yang dimaksudkan dalam putusan Pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal ini Penggugat harus mengajukan gugatan baru sehingga besar kemungkinannya nanti  jalannya pemeriksaan akan serupa dengan yang pernah terjadi;
2.   tergugat memberitahukan kepada Ketua Pengadilan  maupun penggugat, karena telah terjadi perubahan-perubahan mengenai fakta-fakta maupun keadaan atau kebijaksanaan yang akan sesuai dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan putusan  Pengadilan yang bersangkutan. Agar maksud Penggugat bisa tercapai, maka satu-satunya jalan adalah ia harus mengajukan gugatan  terhadap keputusan baru tersebut.
3.   apabila hal ini terjadi dalam perkara kepegawaian, di mana  tergugat dibebani kewajiban  untuk  melakukan rehabilitasi terhadap Penggugat, tetapi karena telah terjadinya perubahan keadaan Tergugat tidak dapat melakukan rehabilitasi bagi Penggugat yang bersangkutan, maka menurut paal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, penggugat harus memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan yang  bersangkutan dan kepada penggugat. Dalam waktu tiga puluh hari setelah itu Penggugat dapat mengajukan permohonan kepadaa Ketua Pengadilan agar Tergugat itu dibebani kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau kompensasi lain kepadanya. Setelah permohonan Penggugat itu diterima oelh Ketua Pengadilan, kedua pihak akan dipanggil untuk mengadakan musyawarah dan mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang  dibebankan kepada tergugat. Apabila setelah diusahakan harus mencapai persetujuan tetapi tidak diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atao kompensasi tersebut, maka jumlah uang atau kompensasi ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dalam suatu penetapan yang disertai dengan pertimbangan yang cukup. Terhadap Ketua Pengadilan tersebut oleh pihak-pihak  dapat diajukan keberatan kepada Makamah Agung. Petusan makamaah Agung mengenai hal itu wajib ditaati oleh kedua pihak. Artinya tidak terbuka upaya hukum apa pun untuk menentang.
4.   tergugat tidak memberitahukan apa-apa dan ia juga tidak mengeluarkan keputusan baru dalam batas waktu 3 bulan setelah putusan Pengadilan itu berkekuatan tetap.
           Menghadapi keadaan demikian itu  Penggugat harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan yang  bersangkutan dengan permintaan agar kepada Tergugat diperintahkan untuk  melaksanakan putusan  Pengadilan tersebut.
           Jadi  pada prinsipnya diharapkan tergugat itu dengan sukarela dalam tenggang waktu 3 bulan tersebut melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan. (pasal 116 ayat 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009). Setelah tenggang waktu 3 bulan tersebut lewat, barulah  Tergugat tersebut dapat dikatakan telah lalai tidak melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan. Jika Tergugat masih  tetap tidak mau maelaksanakannya Ketua Pengadilan  mengajukan hal ini kepada Instansi atasannya (pasal116 ayat 4).
Dalam waktu dua bulan setelah instansi atasannya menerima pemberitahuan Ketua Pengadilan tersebut, maka ia dianggap telah memerintahkan keputusan yang merupakan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dimaksud.
Apabila instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuan Ketua Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan harus mengajukan hal itu kepada Presiden. Untuk dapat  mengetahui bahwa instansi atasan yang diminta memerintahkan oleh Ketua Pengadilan, tentunya hal itu hanya dapat disimpulkan dari lewatnya waktu yang layak setelah surat pemberitahuann Ketua Pengadilan itu dikirimkan kepadanya. Saya rasa setelah lewat waktu 3 bulan ternyata masih ada berita bahwa kewajiban itu belum dilaksanakan oleh tergugat barulah ,Ketua Pengadilan dapat menyampaikan hal itu kepada Presiden. Kemungkinan juga bisa terjadi yang tetap mau mengindahkan adalah tergugat sendiri.
Dari prosedur   pelaksanaan tersebut sekali lagi tampak, bahwa pada  akhirnya tuntas tidaknya atau efektif tidaknya pelaksanaan tugas Pengadilan ini pada dasarnya masih digantungkan kepada kesadaran, kesukarelaan, tanggung jawab, sikap dan perilaku dari seluruh  jajaran Pemerintah sendiri. 


B.  Upaya Pelaksanaan Putusan
           Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat dipaksakan, karena tidak mempunyai alat pemaksa. Sehingga banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya menjadi putusan di atas kertas tanpa dapat diwujudkan dalam kenyataan. Hal ini tentunya mengusik rasa keadilan masyarakat, karena buat apa bersusah-susah beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara jika pada akhirnya tidak bias dilaksanakan. Untuk mencari bagaimana jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini, sebaiknya kita perbandingkan dulu dengan eksekusi pada Hukum Acara Perdata.
           Eksekusi putusan perkara perdata ialah pelaksanaan putusan Pengadilan yang dalam amar putusannya bersifat menghukum (condemnatoir) dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Eksekusi putusan tersebut memerlukan bantuan dari pihak yang dikalahkan, artinya pihak yang bersangkutan harus dengan suka rela melaksanakan putusan itu. Melaksanakan putusan berarti memenuhi kewajiban untuk berprestasi seperti yang dibebankan oleh Pengadilan lewat putusannya.
           Apabila ternyata pihak yang dikalahkan lalai atau tidak mau dengan suka rela melaksanakan putusan Pengadilan itu, maka dengan alat-alat yang diperbolehkan undang-undang pihak yang dimenangkan berhak memaksa pihak lawannya guna melaksanakan putusan Pengadilan itu. Hal ini memang sudah selayaknya, karena kalau tidak dimungkinkan untuk memaksa pihak yang dikalahkan, maka peradilan tidak ada gunanya. Dalam hal ini pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya agar melakukan eksekusi.
           Jadi yang berhak mengajukan permohonan eksekusi putusan perkara perdata ialah pihak yang dimenangkan. Permohonan eksekusi itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili perkaranya, baik secara lisan maupun secara tertulis. Untuk itu Ketua Pengadilan Negeri menyuruh memanggil pihak dikalahkan agar datang menghadap untuk diberi peringatan, supaya dalam tempo selambat-lambatnya delapan hari melaksanakan putusan Pengadilan itu (aanmaning).
           Dengan demikian, maka pada hakekatnya eksekusi adalah suatu tindakan dari Pengadilan Negeri dalam melaksanakan isi putusannya atas permohonan pihak yang dimenangkan, karena tidak bersedianya pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan sendiri isi putusan tersebut dengan sukarela.
           Sebagai dasar hukum eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata telah diatur ketentuannya dalam HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan oleh RBG untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa dan Madura, atau lebih jelasnya terdapat dalam pasal-pasal 195 sampai dengan 208 HIR yang isinya sama dengan pasal-pasal 206 sampai dengan 241 RBG. Mengenai pasal 209 sampai dengan 222 HIR/pasal 242 s/d 256 RBG sebenarnya termasuk Bab tentang eksekusi ini juga, namun khusus tentang sandera (gijeling) telah dibekukan oleh SEMA No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964 dan SEMA No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975. dibekukan berarti pasal-pasal dalam HIR dan RBG yang mengatur tentang sandera tersebut tidak diberlakukan lagi dalam praktek peradilan. Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa sandera itu bertentangan dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam falsafah negara Pancasila, dengan mengingat pasal-pasal 33 ayat 4 Undang-undang No. 14/1970 (tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menentukan: “Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.[26]
Pasal 196 HIR menentukan :
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun dengan surat, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, suoaya ia memenuhi isi putusan itu didalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.[27] 
Sedangkan pasal 207 RBG berbunyi :
1.    Jika orang yang dikalahkan itu tidak mau atau lalai akan mencukupi dengan baik bunyi Keputusan itu, maka haruslah yang dimenangkan itu memasukkan permintaan baik dengan mulut, baik dengan surat, akan menjalankan keputusan itu, yaitu kepada voorzitter Lndraad yang dimaksud dalam ayat pertama pasal diatas.
2.    voorzitter atau magistraat yang dikuasakan menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memberi nasihat kepadanya, akan mencukupi keputusan itu didalam tempo yang akan ditentukan oleh voorzitter atau magistraat itu, yang selama-lamanya delapan hari.[28] 
           Eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan/permohonan pihak yang dimenangkan baik secara lisan maupun tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Permintaan itu diajukan oleh pihak yang dimenangkan oleh karena pihak lawannya lalai atau tidak mau untuk memenuhi isi putusan tersebut secara sukarela.
           Tidak semua putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu memerlukan permintaan dari pihak yang dimenangkan untuk dieksekusi. Putusan Pengadilan dalam perkara perdata yang dapat dan perlu dimintakan eksekusinya oleh eksekutan, adalah putusan yang mengandung perintah kepada pihak yang dikalahkan untuk melakukan suatu perbuatan hukum (bersifat condemnatoir). Misalnya antara lain :
1.    menyerahkan suatu barang,
2.    mengosongkan sebidang tanah,
3.    melakukan suatu perbuatan tertentu,
4.    menghentikan suatu perbuatan/keadaan,
5.    membayar sejumlah uang.[29]
           Jadi hukum eksekusi itu mengatur tentang tata cara dan persyaratan yang dipergunakan oleh alat-alat Negara untuk membantu pihak yang berkepentingan guna memaks pihak yang dikalahkan agar menjalankan putusan Pengadilan. Hal ini dilakukan apabila pihak yang dikalahkan lalai atau tidak bersedia secara suka rela untuk memenuhi isi putusan Pengadilan itu dalam waktu yang telah ditentukan. Dan sebagai dasar hukum eksekusi terdapat didalam HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan dalam RBG untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa dan Madura.
           Seperti telah diuraikan diatas bahwa eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu dimulai dari permohonan eksekutan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negerim baik secara lisan maupun tertulis. Atas dasar permohonan ini maka Ketua Pengadilan Negeri lalu membuat Surat Penetapan untuk memanggil pihak yang dikalahkan untuk diberi peringatan atau teguran (aanmamaning) agar dalam tempo selambat-lambatnya delapan hari memenuhi isi putusan Pengadilan itu secara sukarela (pasal 196 HIR/pasal 207 RBG). Apabila pihak yang dikalahkan tetap lalai atau tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela, maka barulah eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata sesungguhnya dimulai.
           Perlu dikemukakan, bahwa putusan Pengadilan dalam perkara perdata yang dapat dimintakan eksekusinya oleh eksekutan, harus memenuhi syarat-syarat:
1.    putusan (vonnis) yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), termasuk pula didalamnya putusan perdamaian;
2.    putusan (vonnis) yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi berisi segera dilaksanakan walaupun pihak yang dikalahkan verzet, banding atau kasasi (uitvoer baar bij voorrad) ;
3.    putusan (vonnis) provisioneel, yaitu putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata yang mengandung untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebelum pokok perkaranya selesai diputus.
Disamping itu, dalam melakukan eksekusi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.     putusan harus berisi pengabulan gugatan, baik sebagian ataupun seluruhnya;
2.     telah diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan, bahwa ia tidak akan atau belum memenuhi isi putusan yang diperintahkan kepadanya;
3.     telah ada permohonan dari pihak yang dmenangkan agar Pengadilan menjalankan eksekusi putusan tersebut;
4.     pengadilan telah melaksanakan aanmaning terhadap pihak yang dikalahkan dimana Ketua Pengadilan Negeri telah memperingatkannya agar memenuhi isi putusan secara sukarela;
5.     waktu yang disediakan oleh Pengadilan Negeri bagi pihak yang dikalahkan untuk memenuhi isi putusan secara sukarela telah lewat dari delapan hari setelah aanmaning atau setelah lewat batas waktu yang diberikan olrh Ketua Pengadilan Negeri.
           Dengan memperhatikan hal-hal yang disebutkan diatas, maka tindakan eksekusi putusan dapat dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa dan mengadili perkara perdata yang bersangkutan.
Setelah dalam tempo delapan hari (seperti yang dimaksudkan oleh pasal 196 HIR/207 RBG) putusan itu tidak juga dikalankan oleh pihak yang dikalahkan, atau setelah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri yang karena jabatannya (lihat pasal 195 ayat 1 HIR/206 ayat 1 RBG) membuat Surat Penetapan Eksekusi (Beschiking). Oleh panitera atau juru sita yang dibantu oleh dua orang saksi dibawa ketempat penyitaan atau lokasi dimana eksekusi harus dilakukan. Disana panitera atau jurusita memperlihatkan Surat Penetapan Eksekusi kepada pihak-pihak ataupun kepada penjabat setempat yang bersangkutan. Berdasarkan Surat Penetapan itu petugas eksekusi bertindak sebagai penjabat umum (openbare amtennar, publik officer) yang menurut peraturan hukum diwajibkan melakukan suatu jabatan umum. Oleh karenanya barang siapa yang menentangnya dengan kekerasan, ataupun mengancamnya dapat dihukum menurut pasal 211-214 KUHP.[30] 
           Seharusnya menurut ketentuan dalam pasal 195 HIR/206 RBG, pimpinan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata adalah Ketua Pengadilan Negeri atau voorzitter van den Landraad setempat. Akan tetapi mengingat perkembangn Pengadilan Negeri, baik jumlah maupun fungsinya maka kedudukan Ketua Pengadilan Negeri sebagai voorzitter van den Landraad sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Hal ini dapat dikemukakan jika ditinjau dari kedudukan Pengadilan Negeri dari sejarahnya, maka akan dapat dipahami dimana kedudukan voorzitter van den Landraad sebagai satu-satunya hakim yang ada ditiap Pengadilan Negeri. Tetapi dalam perkembangan Pengadilan Negeri itu sendiri, baik dari fungsi maupun jumlahnya maupun hakim-hakimnya disesuaikan dengan pasal 17 ayat 3 UU No. 4/2004 yang menentukan, bahwa diharuskan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara sedikit-dikitnya oleh 3 (tiga) orang Hakim (Majelis Hakim). Lebih-lebih jika diingat, bahwa disamping kedudukannya sebagai Ketua Pengadilan, yang juga sebagai seorang Hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara, saat ini kedudukan hakim tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai Penasehat Hukum Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) seperti yang ditentukan oleh pasal 25 UU No. 14/1970 karena telah digantikan ketentuan tersebut sebagaimana Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2004 dialihkan total kepada Mahkamah Agung.
           Dengan demikian dalam hal keadaan yang memaksa Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegeer wewenangnya suatu pimpinan eksekusi kepada Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara perdata tersebut, atau kepada salah seorang hakim yang dipandang mampu untuk mengemban tugasnya itu. Hal ini juga berdasarkan kepada pertimbangan, bahwa keberhasilan eksekusi akan lebih terjamin sepanjang Ketua Pengadilan itu sendiri tidak menjadi Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara perdata itu.
Di dalam ketentuan yang diatur oleh pasal 57 dan pasal 66 ayat 4 UU No. 13 Tahun 1965, pasal 33 ayat 3 UU No. 14/1970, maupun oleh pasal 197 ayat 2 dan 6 HIR/pasal 209 ayat 1 serta pasal 210 ayat 1 RBG, bahwa yang melakukan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata adalah Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi. Sedangkan pasal 197 ayat 3 HIR/209 ayat 2 RBG menentukan bahwa apabila Panitera berhalangan, maka ia dapat diganti oleh orang yang ditunjuk untuk itu.
           Dari ketentuan-ketentuan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang melakukan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata adalah Panitera dan Jurusita dengan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi dan dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Didalam praktek, dalam hal penyitaan  Ketua Pengadilan Negeri melimpahkan wewenangnya kepada Panitera, apabila Panitera berhalangan, tugas itu dapat dilakukan oleh Jurusita. Jadi tidak perlu Panitera bersama-sama jurusita, melainkan Panitera itu sendiri yang dalam hal ini juga sebagai jurusita, ataupun jurusita itu sendiri dengan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang telah ditentukan.
           Apabila barang-barang yang akan disita itu berada diluar wilayah hukum Pengadulan Negeri yang bersangkutan, maka eksekusinya dapat dilakukan dengan permintaan bantuan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri setempat dimana barang-barang tersebut berada. Dalam praktek permintaan bantuan itu tanpa dilampirkan berkas perkaranya.
Mengenai permintaan bantuan ini telah diatur ketentuannya dalam pasal 195 ayat 2 s/d 7 HIR atau pasal 206 ayatt 2 s/d 7 RBG dan pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970.
Pasal 195 ayat 5 HIR menentukan :
“Didalam dua kali dua puluh empat jam, Ketua yang diminta pertolongan itu memberitahu segala upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang kesudahannya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.[31]
Dan didalam pasal 206 ayat 5 RBG ditentukan :
“Orang yang dimintakan pertolongannya itu, harus memberitahukan dengan selekas-lekasnya kepada voorzitter Landraad, yang mula-mula memeriksa perkara itu, segala daya upaya yang telah diperintahkan dan kemudian kesudahannya”.
Sedangkan pasal 24 UU No. 14/1970 mengatur :
“Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta”.
           Jika kemudian terhadap sita eksekusi itu dibantah, dan jika yang membantah itu orang lain dengan mengakui bahwa barang yang disita itu adalah hak mliknya, maka untuk menyelesaikan masalah ini, diatur oleh pasal 195 ayat 6 HIR/pasal 206 ayat 6 RBG dan seterusnya. Jadi apabila timbul perlawanan terhadap eksekusi putusan Pengadilan, baik dari pihak yang dikalahkan, maupun oleh pihak ketiga, maka perselisihan tersebut akan diperiksa dan diadili secara lazimnya oleh Ketua Pengadilan Negeri yang didalam wilayah hukumnya eksekusi itu dilakukan. Kemudian prosedur selanjutnya diatur dalam pasal 206 ayat 7 RBG yang menentukan :
“Perselisihan yang timbul dan keputusan tentang perselisihan itu harus tiap-tiap kali selekas-lekasnya diberitahukan dengan surat oleh voorzitter Landraad itu kepada voorzitter Landraad, yang mula-mula memeriksa perkara itu”.
Selanjutnya pasal 208 RBG menentukan :
“Jika sesudah lalu tempuh yang ditentukan itu belum juga dicukupi keputusn itu, atau jika orang yang dikalahkan itu walaupun telah dipanggil dengan patut juga tidak menghadap, maka voorzitter atau magistraat yang dikuasakan itu karena jabatannya, memberi perintah dengan surat supaya dirampas sekian barang yang tiada tetap dan jika tidak ada  atau nyata tiada cukup yang demikian itu, sekian barang yang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sehingga rupanya cukup akan pengganti banyaknya uang yang tersebut dalam keputusan dan sekalian belanja pelakuan itu, dengan pengertian bahwa didalam gewest Bengkulen, Pesisir barat pulau Sumatera dan Tapanuli rampasan itu baru boleh dilakukan atas harta pusaka, jika terdapat tiada cukup harta pencaharian baik yang tiada tetap, maupun yang tetap”.
Yang dimaksud dengan barang-barang kepunyaan pihak yang dikalahkan disini, ialah barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Jika setelah disita ternyata barang-banrang yang bergerak itu tidak mencukupi, dapat ditambah dengan menyita lagi barang-barang tidak bergerak kepunyaan pihak yang dikalahkan tadi sebagai pengganti sejumlah uang seperti yang tercantum dalam isi putusan pengadilan, ditambah semua ongos yang timbul pada waktu melakukan eksekusi putusan tersebut.
Karena untuk daerah Bengkulu, Pesisir Sumatera Barat dan Tapanuli, menurut ketentuan pasal diatas, bahwa barang-barang harta pusaka hanya boleh disita jika harta pencahariaan pihak yang dikalahkan tidak cukup untuk memenuhi sebagai pengganti. Harta pusaka yang dapat disita hanya bagi :
1.    Utang kawin kemanakan (utang untuk biaya perkawinan kemanakan perempuan);
2.    utang angkat penghulu atau utang menurut adat, misalnya guna biaya-biaya mendirikan balai, untuk perkuburan famili, dengan lain perkataan utang untuk keperluan famili;
3.    Utang untuk mengubur (biaya mengubur) anggota famili.[32]  
Tentang tata cara penyitaan barang bergerak, diatur didalam pasal 197 ayat 8 HIR/211 RBG yang berbunyi :
“Rampasan barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, uang tunai dan suratyang berharga uang termasuk bilangan itu juga, boleh juga dilakukan atas barang yang tidak tetap yang bertubuh, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak boleh dijalankan atas hewan dan perkakas yang sesungguhnya berguna bagi yang terhukum untuk menjalankan pencahariaannya sendiri”.
Dan pasal 197 ayat 9 HIR/212 RBG selanjutnya menentukan :
“Griffier atau orang yang ditunjukkan sebagai gantinya harus menurut keadaan, meninggalkan barang yang tidak tetap itu atau sebahagiannya pada orang yang dirampas barangnya itu, supaya disimpannya atau menyuruh membawa barang itu atau sebahagiannya kesuatu tempat simpanan yang patut. Dalam hal yang pertama, maka hal itu harus diberitahukan kepada Polisi Bumiputera ditempat itu, dan polisi itu harus menjaga supaya jangan ada barang yang dilarikan orang. Opstal (buatan yang tiada lekat pada tanah) Bumiputera tidak boleh membawa”.
Sedangkan tata cara penyitaan barang-barang tetap (tidak terangkat), diatur pada pasal 198 ayat 1 dan 2 HIR/213 ayat 1 dan 2 RBG, yaitu dengan mengumumkan berita acara penyitaan. Adapun caranya 2 (dua ) macam, yaitu :
1.    Kalau barang yang disita itu telah didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 37, dengan menyalin ini berita acara itu kedalam daftar yang dimaksud dalam pasal 50 Staatsblad 1842 no. 10.
2.    Kalau barang yang disita itu belum atau tidak terdaftar berdasarkan Staatsblad 1834 No. 27 dengan menyain berita acara itu kedalam daftar yang untuk dimaksud itu tersedia di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.
Dalam daftar a dan b tersebut diatas harus disebutkan jam, hari, tanggal, bulan dan tahun pengumuman penyitaan itu.
Semenjak jam, hari, tanggal, bukan dan tahun tersebut diatas, maka pihak yang disita barangnya itu tidak dapat lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau menyewakan barang-barang tetap yang disita itu. Apabila pihak yang disitu barangnya itu berbuat demikian, maka berdasarkan apsal 199 ayat 1 HIR/214 RBG diancam pidana dalam pasal 281 KUHP.
Didalam HIR maupun RBG dikenal 3 (tiga) macam penyitaan yaitu :
1.    sita Konservator (consenvatoir beslag) diatur dalam pasal 277 HIR/261 RBG ;
2.    sita Revindikator (Revindicatoir beslag) diatur dalam pasal 226 HIR/260 RBG ;
3.    sita Eksekusi (Executorial beslag) diatur dalam pasal 196 HIR/207 RBG.
           Selanjutnya bilamana barang yang telah disita itu akan diwjudkan dalam suatu jumlah uang sesuai dengan isi putusan Pengadilan, barang-barang tersebut dijual dimuka umum (lelang eksekusi) yang ketentuannya diatur oleh pasal 200 HIR atau pasal 215 RBG.
Yang harus diperhatikan benar-benar dalam tugas penyitaan ialah :
1.    apakah penyitaan itu sudah sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku ;
2.    tidak ada kekeliruan, artinya apakah barang yang disita it betul hak milik orang yag kalah perkara, terutama barang yang tetap, dengan meneliti bukti miliknya, memerksa kenyataan dari perbatasan yang telah ditentukan.
           Kesalahan maupun kekeliruan dalam melakukan penyitaan yang diteruskan dengan lelang eksekusi akan menimbulkan masalah baru. Masalah baru ini akan menyulitkan petugas itu sendiri. Hal ini bisa terjadi, karena pihak yang dikalahkan tidak mau dengan sukarela membantu pihak petugas, karena penyitaan itu sendiri merupakan eksekusi putusan Pengadilan secara paksa.
           Akhirnya, apabila putusan pengadilan dalam perkara perdata itu, hamya menyangkut suatu hak yang berupa penyerahan barang kepada yang dimenangkan, maka setelah sita eksekusi itu dilakukan, barang yang disita itu lalu diserahkan kepada yang berhak. Penyerahan ini dilakukan dengan tanda terima dari petugas eksekusi kepada orang yang berhak itu. Dalam eksekusi ini jika terdapat hambatan yang dikarenakan pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan barang tersebut, maka bila diperlukan harus dengan bantuan polisi setempat.    
           Dengan memperhatikan dalam eksekusi acara Perdata sekarang kita focuskan pada upaya pelaksanaan putusan hakim PTUN selain menjadi kewenangan  pihak PTUN itu sendiri, maka Pemerintahpun terus berusaha meningkatkan kesadaran Badan/ Pejabat TUN yang terlibat dalam sengketa TUN untuk mematuhi putusan hakim. Sebelum menguraikan dan menganalisa prosedur yang dilakukan pihak PTUN berdasarkan  Undang-undang No. 5 Tahun 1986, akan diuraikan terlebih dahulu upaya yang dilakukan Pemerintah.
           Surat Edaran Menpan Nomor: B-471/I/1991 tentang pelaksanaan putusan PTUN yang ditujukan  kepada para Menteri Kabinet Pembangunan V, Jaksa Agung, Guberbur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi / Tinggi Negara, para Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen dan Para Gubernur Kepala Daerah. Surat Edaran tersebut antara lain menyebutkan  :
           Dalam kenyataan putusan Peradilan tata Usaha Negara tidak terlaksana sesuai putusan. Hal ini mengundang berbagai opini dikalangan masyarakat yang menimbulkan kesan bahwa Aparatur Negara tidak mengindahkan dan melaksanakan putusan Pengadilan, bertindak sewenang-wenang sehingga kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara dirasakan tidak bermanfaat. Keadaan demikian tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hukum dan upaya menciptakan Aparatur Negara yang bersih dan berwibawa.
           Berhubungan dengan itu kami mohon kiranya saudara dapat mengingatkan kepada para Pejabat  Tata Usaha Negara dilingkungannya masing-masing untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Peradilan Tata Usahan Negara dalam melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen nasional.
           Untuk itu hendaknya Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat membantu kelancaran proses penyelesaian perkara gugatan dan melaksanakan putusan atau penetapan Pengadilan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya apabila Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak mengindahkan putusan / penetapan Pengadilan, hendaknya atasan atau Pejabat yang bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk pelaksanaannya.
           Keluarnya surat edaran semacam itu diharapkan dapat membantu kelancaran pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga mewujudkan Aparatur Negara yang bersih dan berwibawa secara tetap menjaga dan menjunjung tinggi kewibawaan hukum. Surat edaran tersebut kiranya merupakan suatu tindak lanjut mengatasi keluhan para penggugat yang merasa dirugikan dengan tindakan tidak mematuhinya putusan oleh Pejabat yang dikalahkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa upaya Pemerintah dalam bentuk penerbitan Surat Edaran itu untuk memenuhi tuntutan kepentingan dan hak rakyat pencari keadilan, sehingga Badan/Pejabat TUN menjauhi tindakan yang dapat menimbulkan kerugian.
           Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan  kewajiban untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi, kepada tergugat diberi jangka waktu sampai tiga bulan untuk melaksanakannya. Apabila dalam jangka waktu tersebut sebagaimana telah ditentukan tergugat belum juga melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat Pengadilan akan memerintahkan kepada tergugat untuk melaksanakan putusan tersebut. Jika perintah tersebut juga belum dilaksanakan, Ketua Pengadilan akan mengajukan hal tersebut kepada Instansi atasan tergugat menurut jenjang Jabatan.
           Selambat-lambatnya dalam jangka waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan, Instansi atasan tersebut harus sudah memerintahkan kepada tergugat agar melaksanakan putusan PTUN. Apabila Instansi atasan juga tidak memperhatikan pemberitahuan tentang pelaksanaan putusan, maka pihak Pengadilan TUN secara berjenjang mengirimkan peringatan pelaksanaan putusan sampai tingkat paling tinggi yaitu Presiden, sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan tertinggi untuk memaksakan ditaatinya Peradilan TUN itu.
           Namun demikian, pada masa-masa mendatang kiranya perlu tetap dilakukan upaya antisipasi dalam menjaga kemungkinan pihak tergugat tetap bersikeras untuk tidak mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian apabila hal ini terjadi maka sudah tidak ada upaya lain yang dapat digunakan untuk memaksakan pihak tergugat. Padahal cara pemberitahuan pelaksanaan putusan Peradilan  Tata Usaha Negara (PTUN) secara berjenjang sampai tingkat paling atas yaitu Presiden, secara ideal cukup memadai tetapi aplikasinya sangat tergantung pada kesadaran hukum para tergugat yang kalah dalam sengketa TUN.
           Ikut sertanya Presiden untuk memaksakan ditaatinya putusan hakim PTUN merupakan suatu keistimewaan dalam penegakan hukum administrasi di Indonesia. Keistimewaan itu karena Presiden diberi kesempatan ikut campur dalam memaksakan pelaksanaan putusan Pengadilan. Kiranya perlu diingat pula bahwa campur tangan semacam ini sangat diperlukan mengingat pelaksanaan putusan PTUN  tidak semudah pelaksanaan  putusan perkara pidana dan perdata, oleh karena itu, pihak penggugat harus tetap diberikan kesempatan untuk menempuh upaya hukum yang lain yaitu menuntut dilaksanakannya putusan PTUN melalui Peradilan Umum.


C.  Perlakuan Terhadap Putusan
           Agar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dijalankan, Ketua Pengadilan Lembaga keadilan yang satu ini diberikan kewenangan untuk terus mengawasi pelaksanaan putusan hakim. Dengan berpatokan pada keharusan-keharusan yang dibebankan kepada pihak tergugat berdasarkan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal ini menunjukan bahwa pengaturannya sudah jelas dan tegas.
           Dengan kata lain, bahwa pengaturan  tentang keharusan Badan/Pejabat tata usaha negara yang menjadi tergugat dalam suatu PTUN sudah demikian jelas. Dengan demikian secara hukum sebetulnya menyangkut pelaksanaan putusan PTUN oleh pihak tergugat sudah tidak ada masalah mengingat semua kewajiban telah diatur secara formal.
           Patut dicatat bahwa secara yuridis formal pengaturan masalah pelaksanaan putusan oleh tergugat sudah memadai. Akan tetapi seandainya putusan tersebut  tetap tidak dijalankan meski berbagai upaya sudah dilakukan maka hal ini mengakibatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu mengambang. Sekiranya terjadi keadaan demikian, maka upaya lain yang bisa ditempuh pihak penggugat/pembanding yaitu menempuh cara menggugat kembali Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan itu  di pengadilan negeri. Cara ini merupakan sarana hukum yang terakhir bagi penggugat guna memaksakan dijalankannya putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian maka perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan kemungkinan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad).
           Terkendalanya pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dilakukan dengan cara paksa, sehingga timbul pendapat untuk melakukan dengan paksa dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Sebelum mengarahkan ke Pengadilan Negeri, sebaiknya juga diketahui kendala yang terjadi di Pengadilan Negeri. Meskipun tata cara eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata telah diatur sedemikian rupa didalam peraturan perundang-undangan, namun didalam praktek serimg ditemui  berbagai hambatan yang menyebabkan eksekusi putusan ditangguhkan, bahkan kadang-kadang sering terjadi eksekusi tidak  bisa dilakukan sama sekali.
           Terdapat berbagai faktor yang menjadi penghambat didalam eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu, antara lain :
1.   Karena kekeliruan/kesalahan yang dilakukan pihak praktisi sendiri.
Hal ini memang banyak ditemui dalam praktek, karena ita sama menyadari bahwa para Hakim itu sendiripun adalah manusia biasa, sudah barang tentu tidak akan terlepas dari pada kehilapan maupun kekeliruan. Diantara kesalahan yang dilakukan pihak praktisi itu, pada umumnya sering terdapatnya suatu cacat putusan, yang merupakan akibat dari kekeliruan dan kesalahan mereka sendiri. Sebagai contoh disini dapat dikemukakan yaitu kasus-kasus yang pernah terjadi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin, dimana suatu putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisde) tidak bisa dieksekusi, disebabkan adanya kesalahan seperti tersebut diatas.
Dalam eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata tersebut diatas, pada kenyataannya tidak dapat dilakukan karena ternyata pada keadaan yang sebenarnya bahwa, batas-batas tanah sengketa tersebut tidak sesuai dengan batas-batas tanah dalam surat gugatan.
2. Karena kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat yang sering melakukan tindakan-tindakan diluar hukum.
Faktor penghambat ini disebabkan :
  1. Kurangnya pengertian hukum yang dimilliki masyarakat ;
  2. Adanya hasutan-hasutan dari mereka-mereka yang didalam masyarakat lingkungannya dianggap orang berpengaruh dan mengerti betul tentang hukum ;
  3. Karena mereka merasa bahwa putusan Pengadilan itu kurang adil, dimana dalam hal ini mereka sangat merasa dirugikanbaik hak maupun kepentingannya ;
  4. Atau juga dapat disebabkan karena semata-mata mereka buta hukum sehingga bertindak nekat.
Kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat, hal ini dapat dilihat dari adanya kesiap siagaan dari para penghuni tanah yang akan dikosongkan dalam menghadapi para petugas eksekusi (jurusita) dengan ancaman senjata tajam dan senjata api. Akibatnya pengosongan areal tanah terperkara menjadi tidak bisa dilaksanakan.
3.   Karena adanya campur tangan dari Instansi Pemerintah ataupun Badan Peradilan yang lebih tinggi.
Hal ini menjadi faktor penghambat dalam eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata yang disebabkan oleh campur tangan Instansi-instansi atau Badan Peradilan yang lebih tinggi yang mengakibatkan eksekusi tertangguh atau tidak dapat dijalankan.

Eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata pada kenyataannya tidak bisa dijalankan oleh pihak Pengadilan Negeri. Hal ini biasanya disebabkan karena :
1.    Perintah penangguhan dari Mahkamah Agung terhadap eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
2.    Perintah penangguhan dari Pengadilan Tinggi terhadap eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
3.    Permintaan dari pihak lain via telepon kepada Ketua Pengadilan Negeri agar eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata ditangguhkan.    

Bahwa dalam menjalankan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata, tidak selamanya berjalan dengan lancar. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor penghambat baik dari pihak praktisi sendiri, atau dari pihak masyarakat, maupun disebabkan adanya campur tangan Badan Peradilan yang lebih tinggi dan Instansi Pemerintah lainnya diluar kekuasaan Kehakiman dalam urusan peradilan.
Dengan adanya faktor-faktor penghambat tersebut diatas maka terjadi penangguhan/penundaan, bahkan tidak jarang terjadi eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu tidak dapat dijalankan. Ditangguhkan/ditundanya eksekusi putusan Pengadilan dalam suatu perkara perdata yang telah inkracht, dapat dinilai sebagai suatu keadaan tidak adanya suatu kepastian Hukum di Negara kita ini. Tentang hal ini dapat dikemukakan, oleh karena dengan penangguhan eksekusi tersebut, maka perkara perdata yang bersangkutan tidak dapat terselesaikan secara tuntas. Sedangkan maksud dan tujuan dari pihak-pihak yang berperkara ialah adanya suatu penyelesaian secara tuntas menurut hukum terhadap persengketaan mereka. Selanjutnya jika hal ini dibiarkan berkepanjangan, maka sangat dikuatirkan akan mempengaruhi citra dan wibawa Pengadilan yang bersangkutan dimata masyrakat, kususnya para justisiabel yang menghajatkan pengayoman hukum atas kepentingan dan hak-hak mereka.
           Dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan atau perubahannya juga dapat dipakai sebagai dasar hukum yang ada relevansinya dengan pelaksanaan putusan oleh tergugat, meskipun hal itu sifatnya implisit. Memang patut dicatat bahwa, ternyata tidak satupun Pasal yang menentukan bahwa Peradilan Umum diberikan wewenang untuk menangani gugatan yang muncul sehubungan dengan tidak ditaatinya putusan hakim PTUN oleh pihak tergugat.
           Penyelesaian kasus seperti ini oleh Peradilan Umum tetap diantisipasi mealui Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan: sengketa Tata Usaha Negara yang lain tidak menjadi kompetensi PTUN diserahkan kepada Peradilan Umum. Dengan berpatokan pada rumusan sengketa lain kiranya dapat diinterpretasikan bahwa pengertian sengketa yang lain itu mencakup pula tindakan Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan PTUN.
           Dengan demikian secara implisit Peradilan Umum berwenang pula memaksakan tergugat menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui proses persidangan yang ditangani.
           Selain itu atas dasar Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 10 ayat (2) mengatur tentang Peradilan Umum dan kewenangannya. Dengan demikian Pasal tersebut diajadikan sebagai dasar hukum bagi Peradilan Umum menyelasaikan gugatan Perdata sehubungan dengan tidak dilaksanakannya putusan PTUN oleh pihak tergugat.
           Pada sisi lain meskipun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tak satupun Pasal yang menyebutkan secara jelas perbuatan pelanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). Akan tetapi dengan menggunakan penafsiran dan penelusuran melalui yurisprudensi kiranya perbuatan melanggar hukum menurut ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat diperluas artinya sehingga mencakup pula Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD). Dengan dasar itu, perbuatan Pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan Hakim PTUN kemungkinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
           Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan Hakim dalam hubungan ini memungkinkan untuk dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa menurut Oemar Seno Adji:
Merupakan suatu penemuan dalam ilmu hukum (rechtsvinding) dengan menggunakan metode-metode interpretasi. Penggunaan metode interpretasi ini dikarenakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak satupun Pasal menunjukkan jelas masalah Onrechtmatige Overheidsdaad. [33]
           Hal ini berarti bahwa, perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (ODD) merupakan suatu penemuan hukum dengan cara menafsirkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak satupun Pasal yang mengatur tentang perbuatan melanggar hukum oleeh penguasa. Kecuali itu Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya mengatur perbuatan melanggar hukum.
           Dengan demikian, kiranya di Indonesia perbuatan melanggar hukum oleh penguasa mencakup pula tindakan tidak mematuhi putusan Pengadilan oleh Badan/Pejabat TUN dalam suatu sengketa TUN. Oleh karena itu, dengan menggunakan penafsiran hukum maka perbuatan melanggar hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPer tadi dapat diperluas artinya sehingga mencakup pula perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa  :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada oranglain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang karena perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain diharuskan menurut hukum untuk mengganti kerugian itu. Dengan berpatokan pada interpretasi tadi, maka perbuatan Badan / Pejabat Tata Usaha Negara dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat.
Djasadin Saragih dalam hubungan dengan rumusan perbuatan melanggar hukum mengatakan  :
Syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum jika perbuatan itu memenuhi unsur-unsur  :
1.    Perbuatan itu sifatnya melanggar hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, melanggar hak orang lain, perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan kesusilaan dan kecermatan.
2.    Tanpa perbuatan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian.
3.    Perbuatan hukum itu disebabkan karena kesalahan pelakunya sendiri, artinya, orangnya tidak berhati-hati untuk menghindari perbuatan tersebut.
4.    Gugatan kerugian yang diminta berupa ganti kerugian pernyataan, dan perintah atau larangan hakim.[34]

Dengan bertitik tolak pada syarat pertama bahwa suatu perbuatan dianggap melanggar hukum apabila bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, maka perbuatan pihak tergugat tidak mematuhi dan menjalankan kewajibannya sesuai putusan hakim PTUN kiranya memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian perbuatan tersebut dapat digolongkan kedalam perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Dalam menelaah putusan Mahkamah Agung yang menyangkut kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa ditemukan dua putusan yakni; putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kasum (Putusan Nomor 66K / SIP / 1952) dan putusan berikutnya adalah putusan dalam perkara Josopadojo (Putusan Nomor 838K / SIP / 1972). Disamping itu terdapat dua langkah usaha Mahkamah Agung untuk menegaskan rumusan kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yang pertama melalui surat edaran MA. Dengan resgister : MA/Pemb/0159/77 tanggal 25 Februari 1977 dan yang kedua adalah melalui kegiatan lokakarya tentang pembangunan hukum melalui Peradilan yang diselenggarakan di Lembang – Bandung tanggal 30 Mei – 1 Juni tahun 1977.
Dalam perkara Kasum, MA berpendirian bahwa suatu perbuatan dikatakan melanggar hukum apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari Pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada anasir kepentingan umum. Rumusan tersebut dari segi sistematika/gramatika kata atau dimaksudkan hanya untuk satu kriteria yaitu kewenang-wenangan dan kedua kriteria tiada cukup anasir kepentingan umum.
Menurut Mahkamah Agung ternyata unsur kepentingan umum dalam tindakan Pemerintah bukanlah tindakan melanggar hukum. Dengan pengertian yang demikian, kesewenang-wenangan tidak sama maknanya dengan “Willekeur” (abus de pouvoir, arbitraness) dan kepentingan umum tidak termasuk dalam (Rechtmatigheidscontrole” seperti yang dikemukakan oleh Hoge Raad di Belanda melalui putusan-putusannya (Term “Willekeur pertama kali mulai ramai melalui arrest Hoge Raad Tanggal 25 Februari 1949, NJ 1949 No. 559, perumusannya yang lebih luas dalam arrest HR tanggal 9 Desember 1961, NJ 1962 Nomor 56 dan “Detournement de Pouvoir” sebagai suatu bentuk doelmatigheidscontrole pertama kali muncul dalam putusan HR Tanggal 14 Januari 1949 NJ 1949 Nomor 5571.
Dalam putusan yang kemudian (baik Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi) kriteria “Rechtmatigheid” daripada tindakan penguasa seperti yang dirumuskan dalam perkara Kasum tidak dianut. Dan selama itu juga tidak jelas kriteria apa yang digunakan Pengadilan dalam menilai / mengukur Rechtmatigheid dari pada tindakan penguasa. Baru pada Tahun 1972 dalam perkara Josopandojo (Putusan No. 838 / SIP / 1972) Mahkamah Agung merumuskan kriteria Rechtmatigheid dari tindakan penguasa adalah:  Undang-undang dan peraturan formal yang berlaku dan kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi penguasa. Disamping itu ditegaskan bahwa perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya. Mahkamah Agung kemudian menegaskan pendirian tersebut untuk diikuti oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi se Indonesia melalui surat edaran tanggal 25 Februari 1977 Nomor MA / Pemb / 0159 / 77 dan mengulanginya kembali dalam rumusan akhir lokakarya pembangunan hukum melalui Peradilan tanggal 30 Mei – 1 Juni 1977 di Lembang.
Dalam rumusan tersebut menyangkut perbuatan-perbuatan kebijaksanaan penguasa ditegaskan tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya kecuali ada unsur “Willekeur” dan detournement de pouvoir. Berdasar Putusan Mahkamah Agung itu dengan Putusan Nomor 338K / SIP / 1977 dapat dirumuskan tiga hal yang berhubungan dengan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa sebagai berikut  :
1.    Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus diukur dengan Undang-undang dan peraturan formil yang berlaku.
2.    Harus diukur dengan kepatuhan dalam masyarakat dan karenanya harus dipatuhi oleh penguasa.
3.    Penilaian tentang faktor sosial ekonomi (dari penyewa dan pemilik) adalah    wewenang Kepala Daerah sebagai penguasa yang tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar Undang-undang dan peraturan formal atau melewati batas kepatuhan dalam masyarakat yang harus diperhatikan oleh penguasa.
           Dengan bertitik tolak pada kriteria-kriteria yang disebutkan ternyata hanya dua kriteria yang kiranya dapat dipakai sebagai ukuran-ukuran perbuatan melanggar hukum oleh pengusa sebagai berikut  :
1.    Unsur perbuatan melanggar hukum yang harus diukur dengan Undang-undang dan peraturan formil. Peraturan formal yang dimaksud disini yaitu Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya berada dibawah Undang-undang.
2.    Unsur kepatuhan yang harus diperhatikan oleh penguasa.

Lebih lanjut dua kriteria ini dapat dianalis sebagai berikut  :
1.    Kriteria perbuatan melanggar Undang-undang
Kriteria pertama Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah Rechtmatigheid dari tindakaan penguasa yang seauai dengan Undang-undang. Ini berarti bahwa perbuatan penguasa (Badan/Pejabat TUN) dianggap sebagai perbuatan onrechtmatigheid manakala tindakan tersebut bertentangan atau diluar Undang-undang.
Dengan demikian perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mematuhi dan menjalankan putusan hakim PTUN kiranya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang. Hali itu bisa dimengerti karena, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya telah mengatur secara jelas tentang keharusan yang perlu diajalankan Badan/Penguasa sebagai pihak tergugat dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara. Oleh karena itu jelas bahwa, perbuatan tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Pelanggaran hukum oleh pihak tergugat dengan menjalankan kewajiban menurut PP. No. 43 Tahun 1991 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2.    Kepatuhan harus dipatuhi penguasa
Kriteria kedua adalah kepatuhan yang harus diperhatikan oleh penguasa. Dalam surat edaran Mahkamah Agung RI tertanggal 25 februari 1977 Nomor MA/Pemb/ 0159/77 antara lain diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi se Indonesia yang isinya antara lain :
Dalam mengadili perkara disana Pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum hendaknya mengadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap perseorangan individual dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa.
Hal tersebut mengandung arti bahwa, Badan/Pejabat Tata Uaha Negara dalam melaksanakan suatu kebijaksanaan harus memperhatikan syarat patut atau tidak patut. Unsur kepatutan seperti ini juga harus menjadi perimbangan dalam menjalankan putusan PTUN yang memuat kewajiban-kewajiban. Atas dasar itu, bagi Badan/Pejabat TUN yang tidak menjalankan putusan PTUN menurut unsur kepatutan itu tentu dengan sendirinya tergolong sebagai perbuatan melanggar hukum (ODD).


IV.  PENUTUP

Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 10 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah diketahui badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang paling muda usianya adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara dapat juga disebut dengan Peradilan Administrasi Negara. Menurut Syahran Basah Peradilan Administrasi adalah peradilan yang memiliki unsur-unsur:
a.    Adanya hukum, terutama lingkungan Hukum Administrasi negara yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
b.    Adanya sengketa hukum yang konkrit, yang pada dasarnya disebabkan oleh ketetapan tertulis Administrasi Negara.
c.    Minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihaknya harus Administrasi Negara.
d.    Adanya bahan peradilan yang berwenang memutus sengketa.
e.    Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum, menentukan hukum inconcreto untuk mempertahankan ditaatinya hukum materiil.1
Badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yudikatif mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutuskan menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Sedangkan mengenai sengketa Tata Usaha Negara, di dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebabkan sebagai berikut:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (objek sengketa) di dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan sebagai berikut:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hokum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tugas Pengadilan Tata Usaha Negara adalah melayani masyarakat pencari keadilan dalam bidang sengketa Tata Usaha Negara, khususnya terhadap keputusan pemerintah yang melanggar hukum dan yang merugikan anggota masyarakat.
Tugas peradilan tidak hanya memeriksa dan memutus, tetapi juga sampai pada tahap menyelesaikan suatu sengketa. Tujuan akhir dalam suatu proses penyelesaian sengketa di pengadilan adalah memperoleh putusan hakim yang tidak dapat diubah (berkekuatan hukum tetap). Menyelesaikan suatu sengketa adalah dalam rangka pelaksanaan putusan/eksekusi, sehingga penyelesaian sengketa hukum yang timbul di masyarakat memenuhi apa yang menjadi tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan serta keadilan. Seperti dikatakan Ismail Saleh merasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman bahwa ”pengadilan merupakan benteng terakhir dari upaya penegakan hukum dan keadilan sehingga siapapun wajib menegakkan dan menghormati benteng tersebut”.2 Oleh karena itu apapun alasannya hendaknya semua  pihak  dapat menghormati dan mentaati putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde), bahkan dapat dikatakan bahwa tidak mau mentaati putusan pengadilan sudah termasuk merupakan content of court (tindakan/sikap yang merendahkan terhadap  martabat peradilan).
Mentaati dan melaksanakan putusan peradilan merupakan bagian dari penegakan hukum. Berpedoman pada pendapat Soerjono Soekanto, penegakan hukum melalui pengadilan dipengaruhi oleh:
1.    Faktor hukumnya sendiri.
2.    Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk atau menegakkan hukum.
3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada  karsa manusia di dalam pergaulan hidup.3
Kelima faktor tersebut di atas saling berkait dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.4
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan sebagai bagian dari penegakan hukum, dikenal ada beberapa jenis pelaksanaan putusan dalam Hukum Acara Perdata, yaitu:
1.    Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg.
2.    Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR (Pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat diminta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
Eksekusi riil. Tidak diatur dalam HIR. Eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan.
Ada pendapat yang membatasi pengertian eksekusi riil pada merealisasi prestasi yang tidak terdiri dari pembayaran sejumlah uang.5 Di dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Pelaksanaan putusan serta merta (uit voorbaar bij vooraad) seperti yang diatur dalam Pasal 108 HIR tidak dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Suatu putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkract van gewijsde), mempunyai konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:
1.    Dengan adanya putusan yang bersangkutan berarti bahwa sengketa tersebut telah berakhir dan tidak ada lagi upaya-upaya hukum biasa yang lain yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersangkutan.
2.    Putusan tersebut mempunyai daya  mengikat bagi setiap orang (bersifat erga omnes), tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berperkara (seperti halnya dalam perkara perdata).
3.    Putusan tersebut merupakan akta otentik yang mempunyai daya kekuatan pembuktian yang sempurna.
4.    Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yang berarti bahwa isi putusan tersebut dapat dilaksanakan, bahkan perlu dengan upaya paksa jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan dengan suka rela isi putusan.6
Sehubungan dengan butir keempat tersebut, yakni masalah eksekusi, pengertian eksekusi dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai eksekusi riil seperti pada putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan dengan bantuan pihak luar dari para pihak sendiri. Sebab eksekusi secara riil terhadap pemerintah itu merupakan hal yang mustahil dapat terjadi. Sebab eksekusi secara riil terhadap pemerintah itu merupakan hal yang mustahil dapat terjadi.7 Jika eksekusi riil ini diterapkan, berarti yang dieksekusi adalah pejabat Tata Usaha Negara. Asas-asas Hukum Administrasi dapat menjadi penghambat eksekusi riil, yaitu:
1.    Asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan.
2.    Asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini adalah asas kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya menjadi wewenang pejabat tertentu di bawahnya. Dengan demikian andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat di bawahnya untuk menerbitkan sebuah keputusan Tata Usaha Negara dan ternyata tidak dilakukan, pejabat atasan tidak dapat menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
3.    Asas bahwa kebebasan pejabat pemerintah tidak bisa dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat dikenal tahanan rumah karena tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
4.    Asas bahwa Negara cq. Pemerintah selalu harus dianggap ”solvable” (mampu membayar).8
Selanjutnya di dalam eksekusi di kenal adanya beberapa prinsip eksekusi, yaitu:
a.    Melaksanakan putusan pengadilan/hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), kecuali pelaksanaan putusan lebih dulu (uitvoorbaar bij vooraad), putusan provisi, eksekusi grosse akte dan akte perdamaian.
b.    Putusan tidak dijalankan secara suka rela, kecuali pihak yang kalah melaksanakan secara suka rela maka upaya paksa ditiadakan.
c.    Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukum” untuk melaksanakan suatu kewajiban.
d.    Eksekusi atas perintah dan di bawah pengawasan ketua pengadilan.9
Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan secara administrasi dan yang wajib mengawasi pelaksanaan tersebut adalah Ketua Pengadilan.10
Tujuan eksekusi tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasi putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban merupakan eksekusi.12
Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah:
1.    Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.    Karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara.
3.    Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, hubungan hukum tersebut mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum.
4.    Cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah:
a.    dapat dilaksanakan secara suka rela oleh pihak Tergugat.
b.    bila enggan melaksanakan putusan secara suka rela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan ”dengan paksa” dengan jalan bantuan kekuatan umum.13
Ditinjau dari sifatnya, putusan pengadilan dapat dibedakan sebagai berikut:
1.    Putusan Deklaratoir
Yaitu putusan yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata.
2.    Putusan Constitutief
Yaitu putusan yang memastikan suatu keadaan, baik  yang bersifat meniadakan suatu keadaan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
3.    Putusan Condemnatoir
Yaitu putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara.14
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memerlukan eksekusi hanya terhadap putusan yang bersifat condemnatoir yaitu putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara sedangkan terhadap putusan yang bersifat deklaratoir yaitu amar putusan yang berisi pernyataan (menyatakan batal atau tidak sah keputusan Tata Usaha Negara yang digugat) tidak memerlukan tindakan apapun secara otomatis keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek gugatan yang dinyatakan batal atau tidak sah sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Tetapi adakalanya suatu putusan mengandung unsur-unsur yaitu deklaratoir dan condemnatoir. Karena putusan yang bersifat condemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratoir, karena amar tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa didahului amar deklaratoir. Sebaliknya amar yang bersifat deklaratoir dapat berdiri sendiri tanpa amar putusan condemnatoir. Amar putusan condemnatoir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan amar deklaratoir sehingga deklaratoir merupakan condition sine quanon atau merupakan syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan condemnatoir dan penempatan amar deklaratoir dalam putusan yang bersangkutan mesti ditempatkan mendahului amar condemnatoir.15
Dalam konteks Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat condemnatoir adalah berupa:
1.    Kewajiban mencabut  keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah.
2.    Kewajiban menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara baru.
3.    Kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara.
4.    Kewajiban membayar ganti rugi.
5.    Kewajiban melaksanakan rehabilitas dalam sengketa kepegawaian.
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban-kewajiban seperti tersebut di atas, apabila Tergugat tidak mau melaksanakannya, maka dapat dikenakan upaya paksa sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif dan jika masih tetap tidak mau melaksanakan, diumumkan pada media masa cetak setempat.
Tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban tersebut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat karena alasan yang sah atau tanpa alasan yang sah. Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1.    Pelaksanaan putusan pengadilan/eksekusi sukarela
Melaksanakan putusan secara sukarela yaitu pihak  yang kalah (Tergugat) telah memenuhi sendiri dengan sempurna putusan yang berisi kewajiban hukum dan beban hukum yang tercantum dalam amar putusan. Oleh karena pihak Tergugat telah melaksanakan isi putusan dengan sukarela, maka tidak diperlukan lagi tindakan upaya paksa. Dengan adanya pelaksanaan putusan secara sukarela akan melindungi kepentingan pihak Tergugat dari tindakan-tindakan hukum selanjutnya, di samping menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang tinggi.
2.    Pelaksanaan putusan pengadilan/eksekusi sukarela
Menurut Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menegaskan bahwa setelah empat bulan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak tetapi Tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dinyatakan batal atau tidak sah dalam amar putusan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon, dalam seminar peringatan sepuluh tahun berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara pada bulan Januari 2001 di Jakarta bahwa setelah empat bulan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah, menurut asas dan teori hukum yang dianut secara umum dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat, dengan demikian tidak perlu dieksekusi, kecuali eksekusi yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan.
Dari pengertian tersebut, dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, ada putusan pengadilan yang tidak perlu dilaksanakan. Pelaksanaan putusan pengadilan  yang semacam ini disebut pelaksanaan putusan/eksekusi otomatis.16
3.    Pelaksanaan putusan pengadilan/eksekusi tidak sempurna
Apabila Tergugat tidak dapat dengan sempurna, yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak dapat dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak Tergugat dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya.
Prosedur pelaksanaan putusan yang tidak sempurna diatur dalam Pasal 117 ayat (1) sampai dengan (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, seandainya Tergugat diwajibkan untuk merehabilitasi jabatan Penggugat sesuai dengan salah satu kewajiban yang dibebankan berdasarkan putusan pengadilan tetapi Tergugat tidak dapat melaksanakan dengan sempurna karena berubahnya keadaan setelah  putusan pengadilan, Tergugat wajib memberitahukan kepada Ketua Pengadilan. Setelah 30 hari sejak Penggugat menerima pemberitahuan tersebut, Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
Setelah menerima permohonan tersebut Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya tentang jumlah uang atau kompensasi lainnya. Apabila tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud. Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dapat diajukan keberatan baik oleh Penggugat maupun Tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali, dan putusan Mahkamah Agung tersebut wajib ditaati kedua belah pihak.























DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Senoe. 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta.
Achyar, Fatimah. 1990, Selintas tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bimbingan Teknis PTUN di Kalimantan Selatan.
Basah, Sjachran. 1987, Beberapa Hal tentang Hukum Acara Administrasi, Penataran Peradilan Administrasi Kerjasama Indonesia-Bandung.
Boestami, T. 1994,  Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.
Bachar, Djazuli. 1994. Eksekusi Putusan Perkara Perdata. Akademika Pressindo. Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 1989, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta.
-----------------------------. 1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
-----------------------------. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
-----------------------------. 1985,  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
-----------------------------.  (Et.al), 1993,  Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
------------------------------------. Beberapa Catatan Terntang Hukm Administrasi, Makalah disampaikan pada Acara Temu Ilmiah Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi se Jawa Timur, Surabaya, 10 Juli 1993
Indroharto. 1993, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Sinar Harapan, Jakarta
---------------. 1999. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen. (tt) Djenal Hoesen Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya bakti, Bandung.
Kaligis, O.C. 1999,  Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Buku Kedua, Alumni, Bandung.
Lotulung, Paulus Effendie. 2004. Penerapan Sanksi Adminsitrasi dan Pembayaran Uang Paksa Terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang Tidak Melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Makalah disampaikan dalam Lakokarya Nasional  Sosialisasi Implementasi Perubahan Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LPPP-HAN, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------------.1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty: Yogyakarta.
Marbun, S.F. 1997. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Muhammad, Abdul Kadir. 1978,  Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung
Rechtreglement Voor de Buiten Gewesten. Diperbanyak oleh Pengadilan Tinggi Aceh, 1970.
Subekti.  1977,  Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung.
         
Sutantio, Retno Wulan. 1979, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung
Supomo, R. 1972. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta. 
Saragih, Djasadin. 1989, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Diktat, Tanpa Penerbit, Surabaya.
Soesilo, R.  1979,  RIB/HIR dengan Penjelasannya, Penerbit Politea, Bogor.
Sumindhia, Y.M.  dan Ninik Widiyanti. 1990. Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi. Rineka Cipta. Jakarta.
Soekanto, Sorjono. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemaryono dan Anna Erliyana. 1999. Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Primamedia Pustaka, Jakarta..
Tresna, R. 1972. Komentar atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri Atau HIR, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Yustisia, Dian.  1980, Penerbit Pengadilan Tinggi Bandung, Bandung.



[1]Sudikno Mertokusumo, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 165.
[2]Lihat: putusan Mahkamah Agung pada tanggal 25-10-1969 No. 391 K/Sip/1969 dalam perkara Madsai dkk lawan Saud dkk.
[3] Subekti,  1977,  Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hal. 122.
          [4]Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Sinar Harapan, Jakarta, hal.240    
           [5]Ibid, hal. 243
           [6] Subekti, Op. Cit. hal. 128
           [7]Retno Wulan Sutantio, 1979, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, hal. 111

          [8]M. Yahya Harahap,1989, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, hal. 5
          [9] Fatimah Achyar, Selintas tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bimbingan Teknis PTUN di Kalimantan Selatan, 1990, hal. 106
          [10] M. Yahya Harahap, Loc. Cit,
[11]Sjachran Basah,1987, Beberapa Hal tentang Hukum Acara Administrasi, Penataran Peradilan Administrasi Kerjasama Indonesia-Bandung,  hal.76
           [12]Philipus M. Hadjon (Et.al), 1993,  Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 364
          [13]T. Boestami,1994,  Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung,  hal. 20.
           [14]Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya bakti, Bandung, hal.42
           [15] O.C. Kaligis,1999,  Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Buku Kedua, Alumni, Bandung,  hal. xv.
                [16] Philipus M. Hadjon, 1985,  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 114
           [17]Philipus M. Hadjon, (Et.al), Op.cit. hal. 322
           [18]Dalam: Philipus M. Hadjon, Beberapa Catatan Terntang Hukm Administrasi, Makalah disampaikan pada Acara Temu Ilmiah Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi se Jawa Timur, Surabaya, 10 Juli 1993, hal. 9.
           [19] Indroharto, Op.Cit. hal. 29
            [20] Philipus M. Hadjon (et.all),Op.cit. hal. 325.
           [21] S.F. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 90
            [22] S.F. Marbun, Op.Cit. hal. 90.
           [23] S.F.Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 211.
           [24]  Indroharto,  Loc.. Cit.
           [25] Ibid
           [26] Dian Yustisia,  1980, Penerbit Pengadilan Tinggi Bandung. Bandung ,  hal. 377.
           [27] R.Soesilo, 1979,  RIB/HIR dengan Penjelasannya, Penerbit Politea, Bogor.hal. 141-142.
        [28] Rechtreglement Voor de Buiten Gewesten. Diperbanyak oleh Pengadilan Tinggi Aceh, 1970, hal. 31-32.
 [29]R.Subekti, Op.cit. hal. 125.
        [30] Abdul Kadir Muhammad,1978,  Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung,  hal. 237.
           [31]R.Tresna, Komentar atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri Atau HIR, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. IV. 1972 hal. 221.
 [32]R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta. Cet. V.1972. hal. 138-139.
           [33] Oemar Senoe Adji, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 15.


           [34] Djasadin Saragih, 1989, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Diktat, Tanpa Penerbit, Surabaya. hal. 118

1Y.M. Sumindhia dan Ninik Widiyanti. 1990. Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi. Jakarta: Rineka Cipta, hal. 140-141.
2T. Boetami. 1994. Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, hal. 107.
3Soerjono Soekanto. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, hal. 8.
4Ibid., hal. 9.
5Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, hal. 210.
6Paulus Effendie Lotulung. 2004. Penerapan Sanksi Adminsitrasi dan Pembayaran Uang Paksa Terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang Tidak Melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Makalah disampaikan dalam Lakokarya Nasional  Sosialisasi Implementasi Perubahan Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: LPPP-HAN, hal. 1.
7Indroharto. 1999. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 244.
8 Phillipus M. Hadjon (et.al). 1997. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 374
9 M. Yahya Harahap. 1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal. 4
10 Soemaryono dan Anna Erliyana. 1999. Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Primamedia Pustaka, hal. 129.
12 Djazuli Bachar. 1994. Eksekusi Putusan Perkara Perdata. Jakarta: Akademika Pressindo, hal. 6.
13 M. Yahya Harahap. Loc.cit.
14M. Yahya Harahap. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 877.
15Ibid.
16Soemaryono dan Anna Erliyana. Op.cit, hal. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar