TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI
TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
DISEKTOR KEHUTAAN
Oleh : Indah Ramadhany, S.H. [1]
Abstract:
Kasus-kasus yang mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup sektor kehutanan di Indonesia sebenarnya ditelaah lebih
dalam diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Korporasi namun
hal itu sering diperspektifkan sebagai akibat yang dilakukan oleh masyarakat
lokal. Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi sudah berlangsung sejak lama. Walaupun
di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan dan lainnya, kejahatan itu terus
berlangsung diakibatkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada
dasarnya tidak berpegang pada Payung Hukum yang telah dibuat, dan penegakan
hukum di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan selama ini.
A. Pengantar
Keberadaan Korporasi sebagai non state actor di
Indonesia
telah menikmati impunity, yaitu kekebalan hukum atas berbagai kejahatan
yang mereka lakukan sehingga meskipun mereka melakukan kejahatan, dan tidak ada
usaha untuk memprosesnya secara hukum dengan maksimal. Kasus kejahatan di
bidang lingkungan hidup merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia seperti halnya Illegal
Loging, Illegal Mining dimana proses Kejahatan itu sebenarnya diawali dari upaya
administrasi kriminal, bahkan terlihat samar dengan terlindung pada aturan[2]
yang dibuat di daerah sebagai implikasi diberlakukannya otonomi daerah. Dalam
hal ini pihak kepolisian tidak segera melakukan tindakan pengusutan karena
perlu penelaahan yang lebih akurat terhadap sistem peraturan perundang-undangan
dan materi undang-undang yang mengaturnya.
Kehadiran korporasi dalam era globalisasi dan
perekonomian bebas dewasa ini dapat di ibaratkan seperti pedang bermata dua.
Disatu sisi dapat memberikan manfaat yang besar dalam pertumbuhan ekonomi, dan
sisi lainnya dapat memberikan sebuah ancaman berupa tindak kejahatan, untuk
menguntungkan kelompok atau golongan maupun orang-perorangan.
Dalam Era
globalisasi ini, Bangsa Indonesia menghadapai masalah kohesi bangsa yang
terancam dari dua arah, dari dalam dan dari luar. Dari dalam kita menghadapi
perubahan manusia Indonesia kolektif menjadi manusia individualis dan
materialistis, sebagai akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Dari luar kita
berhadapan dengan proses globalisasi dimana kita semenjak menjadi bagian dari
pasar dunia yang memberi kepada kita kebebasan untuk memperoleh informasi serta
kemudahan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dalam
keadaan seperti ini, setiap individu selalu mencari tempat yang terbaik bagi
dirinya. Usaha untuk mengatasi hal ini melalui cara-cara psikologis untuk
mempertebal rasa nasionalisme tampaknya sulit membawa hasil. Usaha yang lebih
adalah kalau kita bisa menyelenggarakan keadilan di negara kita, terutama
keadilan ekonomi.
Penyelenggaraan
keadilan hanya bisa dicapai bila kelompok masyarakat yang lemah di bawah dan di
daerah memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan haknya. Karena itu,
demokrasi politik menjadi sangat penting pula. Pemberdayaan masyarakat arus
bawah dan masyarakat di daerah harus menjadi sasaran pembangunan yang bisa
meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi
seperti diatas merupakan sebuah simbiosis yang tidak menguntungkan pada pihak
lain, dimana keuntungan hanya didapatkan oleh sebagian pihak, dalam hal ini
para pemegang korporasi di negeri ini. Dalam sebuah studi yang dilakukan Nur
Imam Subono pemerintah yang berorientasi pada pembangunan, akan menciptakan sebuah
otoriterisme dimana pemerintahan mengarah pada demokrasi liberal ala barat.[3]
Pemenuhan keadilan demi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh mau tidak mau memerlukan
pembenahan dan pembaharuan hukum responsif, agar keadilan, kemakmuran dan
kesejahteraan menyentuh tidak hanya terhadap sekelompok orang, yang bernaung
dalam bingkai korporasi.
Belakangan ini, muncul antisipasi dampak negatif
yang akan ditimbulkan oleh maraknya kehadiran korporasi dengan lebih menekankan
pada peraturan perundang-undangan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
tindak pidana (kebijakan legislasi). Sebenarnya hal ini tidak juga dapat
dikatakan sebagai hal yang baru, karena sejak ditahun 1951 telah diatur
mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana.[4]
Tindakan aparat hukum untuk melakukan penyidikan
selalu berujung pada ketidakpastian hukum, dimana sangat sulit untuk menerapkan
pembuktian tanpa ada dasar hukum yang jelas yang mampu menjerat korporasi
secara pidana, dan belakangan hanya dikenakan pada para subjek pemegang
korporasi sehingga korporasi menjadi terlindungi keberadaannya[5].
Saat ini Indonesia sedang mengalami degradasi
hutan yang sangat mengkhawatirkan, Angka yang dikeluarkan Departemen Kehutanan
berjumlah 2,8 hektar per tahun, dengan demikian hutan yang hilang setiap
tahunnya sama dengan luasan negara
Swiss.[6]
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah Tindak Pidana
Korporasi yang merusak lingkungan hidup di sektor Kehutanan ?
2. Bagaimanakah Tanggungjawab
Pidana Korporasi di sektor kehutanan ?
C. Pembahasan
1. Pengaturan Hukum di Sektor Kehutanan
Pengaturan di sektor kehutanan dimulai sejak
diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Kehutanan, kemudian diperbaharui dengan Undang Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan terakhir kali di revisi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
UU No. 41/1999 telah menetapkan penataan hutan
sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk diperolehnya manfaat
sebesar-besarnya dari keberadaan hutan.
Pasal 22 UU tersebut misalnya telah mengatur tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolannya. Tata
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Kegiatan tata hutan ini meliputi upaya
pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe , fungsi
dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok
itu dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi
pengelolaan. Berdasarkan pembagian
blok-lok dan petak itulah kemudian disusun rencana pengelolaan hutan untuk
jangka waktu tertentu. Berkenaan dengan
pemanfaatan hutannya sendiri, pasal 23 UU No. 41/1999 telah memberikan peluang
untuk dilakukannya pemanfaatan hutan dengan tujuan memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya, sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang Undang
Kehutanan No. 41/1999. Pemanfaatan
kawasan hutan itu dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional, demikian
dinyatakan dalam pasal 24.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 6 ayat
(1), bahwa hutan memiliki tiga fungsi utama yaitu : fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi dimana fungsi-fungsi tersebut ditetapkan oleh
Pemerintah, maka pemerintah juga mengatur bagaimana memanfaatkan fungsi-fungsi
hutan tersebut. Pasal 26 ayat (2)
mengatur tentang pemanfaatan hutan lindung yang dilaksanakan melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Untuk
izin usaha pemanfaatan kawasan, dapat diberikan kepada perorangan dan
koperasi. Izin pemanfaatan jasa
lingkungan, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik
swasta nasional dan juga badan usaha milik negara atau milik daerah. Sementara khusus pemungutan hasil hutan bukan
kayu dikawasan hutan lindung dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Untuk pemanfaatan hutan produksi, telah diatur dalam pasal 28 dan 29. Pemanfaatan hutan produksi itu dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu , serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sebagaimana
pemanfaatan hutan lindung, pemanfaatan hutan produksi ini juga dilakukan
melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemanfaatan hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu. Izin pemanfaatan kawasan
hutan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu di hutan produksi dapat
diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Sementara untuk izin pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu
dan hasil hutan kayu di hutan produksi, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi,
badan usaha milik swasta Indonesia dan dan badan usaha milik negara/ daerah.
Planologi wilayah hutan Indonesia
telah ditetapkan berdasarkan fungsi kawasan, hal tersebut tidak dapat diganggu
gugat dengan hanya merubah fungsi kawasan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten yang diperbaharui seiring dengan adanya investasi, sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 fungsi kawasan adalah
kewenangan Pemerintah Pusat Melalui Menteri Kehutanan, setiap aktivitas apapun
yang berkaitan dengan hutan harus melalui izin dari Menteri Kehutanan baik itu
aktivitas yang dilakukan departemen lain seperti Pertambangan dan Transmigrasi
yang erat dengan kawasan hutan harus melalui keputusan Menteri Kehutanan.
Peraturan Daerah yang melalui mekanisme Menteri Dalam Negeri yang merubah
kawasan harus izin dari menteri Kehutanan tanpa hal tersebut Aturan di Daerah
adalah cacat hukum.
Terkait dengan aktivitas transmigrasi perubahan kawasan dari hutan menjadi
permukiman jika ada aktivitas pemungutan atas hasil hutan yang dilakukan oleh
Korporasi ataupun orang hal tersebut sesuai dengan aturan hukum bahwa Hutan
yang di pergunakan untuk atau ditetapkan sebagai kawasan alih fungsi selama fungsinya
bukan sebagai kawasan hunian harus tetap mengacu pada aturan kehutanan dimana
ada ketentuan sistem reboisasi mengembalikan fungsi hutan kewujud semula, jika
berubah jadi kawasan hunian tidak ada lagi sistem reboisasi maka areal tersebut
dimanfaatkan sebelum jadi kawasan hunian
adalah sah untuk diambil hasil hutannya. dan Aparat tidak berwenang untuk
melakukan pemeriksaan atas aktivitas pemanfaatan sebelum hutan berubah jadi
kawasan hunian karena telah ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi atas izin dari
Menteri Kehutanan, dalih apapun yang mengatasnamakan Aturan Kehutanan sudah
bersifat a contrario dengan legalitas hukum.
Kontradiksi jika hal tersebut bukan untuk kawasan hunian, aktivitas
korporasi harus berdasarkan izin Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan,
bukan berlaku sistem desentralisasi kewenangan daerah menetapkan izin untuk
aktivitas tersebut.[7]
2. Tindak Pidana Korporasi Sektor Kehutanan
Secara aktual tindak pidana korporasi ini dimulai
dari aspek hukum administrasi, dimana administrasi pemerintahan kita selama ini
masih dalam kategori tidak jelas (tumpang tindih)[8]
disektor kewenangan, perijinan dan prosedural. Kondisi ini sering menjadikan
para korporasi memiliki ruang untuk melakukan kejahatan, sementara aparat
berpolemik dengan sistem administrasi yang ada, sedangkan penegakkan hukum
menjadi mandul akibat ketidakjelasan baik itu dari sisi administratif maupun
kebijakan teknis aturan perundang-undangan yang dibuat. Tumpang tindih aturan
yang berlaku maupun ketidakjelasan norma antara disektor hulu dan hilir tidak
dilakukan pembenahan. Kondisi demikian telah dianulir oleh pemerintahan
sekarang ini dengan lebih tegas dan mencabut aturan-aturan yang menghambat sisi
penegakan hukum. Bahkan untuk menindak pelaku sekarang ini para ahli dibidang
hukum telah melakukan pengkajian besar terhadap sistem pemidanaan yang tertuang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan telah mulai merangcang KUHP
baru untuk segera diberlakukan sebagai payung hukum.
Disatu sisi kita telah membenahi peraturan
perundangan bidang kepidanaan, namun berbagai ruang terbuka kembali manakala
otonomi daerah menjadi gaung yang menggiurkan bagi para penguasa daerah dan
pengusaha yang memiliki akses dengan para pejabat di daerah.
Pada era sekarang ini dimana reformasi telah
berlalu dan pemerintahan telah mulai membenahi perangkat-perangkat searah
dengan pergantian pimpinan negara, masih saja terjadi kejahatan korporasi di
bidang kehutanan ini, namun, bukan lagi mengeksploitasi kayu-kayu hasil hutan,
karena memang kondisi hutan Indonesia yang telah mengalami kerusakan disetiap
lini, dan tidak ada lagi kayu-kayu yang dapat dihasilkan diareal tebangan, dan
yang tertinggal hanyalah kawasan yang termasuk dalam ketentuan perundangan
tidak boleh dieksploitasi. Akan tetapi kondisi itu masih terdapat beberapa
tindakan pembalakkan liar di areal
dilindungi sehingga berakibat beberapa bagian kawasan itu rusak, hal ini karena
kurangnya pengawasan dan fasilitas di lapangan yang dilakukan dan dimiliki
pemerintah untuk menjaganya. Disamping itu menjaga sisa kawasan hutan yang
masih ada, yang patut dicermati sekarang ini adalah perubahan alih fungsi
kawasan dimana kejahatan korporasi tidak lagi terfokus pada pengambilan hasil
kayu hutan tetapi pengalihfungsian hutan untuk dilakukan eksploitasi
pertambangan dan juga alih fungsi menjadi kawasan perkebunan tanaman industri,
sebenarnya kawasan itu masuk dalam areal hutan lindung. Kondisi seperti ini
dapat juga dikategorikan sebagai sebuah kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi mengandung nilai kerugian
yang sangat besar bagi negara karena aset yang dimiliki negara akan habis dan
hanya dinikmati kalangan tertentu, yaitu para pemilik korporasi, hal ini tidak
bisa didiamkan begitu saja sementara rakyat kita hidup dalam garis kemiskinan
ditengah berlimpahnya kekayaan alam Indonesia.
3. Pentingnya Pertanggungjawaban Korporasi
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat
kejahatan Korporasi, selain karena keberadaan suatu Korporasi dianggap penting
dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali
juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan
oleh Korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi lebih dianggap
merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan
yang serius.
Gagapnya aparat penegak hukum dalam mengambil
tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi ini
sangat mengkhawatir, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh Korporasi
sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh tim
pembaharuan KUHP saat ini yang mempertegas pelaku kejahatan bukan hanya orang (naturalijk
person), tetapi juga badan hukum (recht person) patut disambut dengan
gembira. Melalui pembaharuan KUHP terbuka kesempatan untuk memperluas jenis
kejahatan yang merupakan kejahatan yang juga dapat dilakukan oleh Korporasi,
memastikan atas perbuatan pidana siapa sajakah suatu Korporasi harus
bertanggung jawab secara pidana, serta memilih jenis-jenis pemidanaan yang
paling tepat bagi Korporasi agar dapat memberikan rasa adil bagi korban serta
menimbulkan deterrent effect.
4. Penyimpangan Asas Untuk Pertanggungjawaban
Korporasi
Penerapan pertanggungjawaban pidana Korporasi pada
awalnya menghadapi sejumlah masalah hukum, khususnya menyangkut asas tiada
pidana tanpa kesalahan (genstrap zonder schuld). Seperti diketahui,
tindak pidana tidak berdiri sendiri. Tindak pidana tersebut baru bermakna
apabila terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dapat dipidana.
Di Indonesia, salah satu cara agar Korporasi juga
dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana adalah dengan diterapkannya
salah satu teori, yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Namun
menurut RUU KUHP, pengecualian ini hanya untuk tindak pidana tertentu, tidak
untuk semua tindak pidana. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat
tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan atau sikap batin si pembuat tindak
pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal
sebagai asas “strict liability” atau (liability without fault).
Tidak hanya sebatas itu mengingat tindak pidana
Korporasi umumnya dilakukan oleh staf di level bawah, tidak secara langsung
dilakukan oleh Badan Pengurus. Oleh karena itu, untuk meminta
pertanggungjawaban pidana Korporasi, dimana yang mewakilinya adalah Badan Pengurus,
maka pertanggungjawaban pidana tersebut diambil alih oleh Badan Pengurus.
Penyimpangan ini dikenal dengan istilah vicarious liability atau
seseorang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
5. Tanggungjawan Korporasi di Sektor Kehutanan
Dalam
usaha meminta pertanggungjawaban pidana Korporasi, saat ini masih belum jelas
konsep apa yang akan di tetapkan dalam ketentuan UU Hukum Pidana yang akan
datang, namun secara garis besar ada 7 (tujuh) konsep yang merupakan perkembangan
dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggung jawab pidana Korporasi.
a. Identification Doctrine
Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior
dalam struktur Korporasi, atau dapat mewakili Korporasi melakukan suatu
kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat
dihubungkan dengan Korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan
ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini
akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu Korporasi dan individu.
Pada
khususnya, doktrin ini masih membutuhkan seseorang untuk diidentifikasi di
dalam struktur korporasi yang tindakan dan pengetahuannya menjadi simbol
korporasi. Bila struktur korporasi tidak dapat ditembus atau bila kebijakan-kebijakannya
sangat buruk dimana tidak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban atas
sejumlah aktivitas yang dilakukannya pada areal kawasan hutan, sebuah korporasi
masih dapat melindungi dirinya sendiri dari tanggung jawab pidana korporasi.
Dalam kasus dimana tidak ada manager atau direktur upaya konservasi atas hutan,
maka tidak akan ada seorang pun yang tindakan dan pengetahuannya dianggap
mencerminkan atau mewakili kehendak atau kemauan korporasi.
b. Aggregation Doctrine
Dalam rangka mengatasi sejumlah permasalahan yang
muncul dalam identification doctrine, sebuah alternatif dasar bagi
pembentukan tanggung jawab pidana adalah aggregation doctrine. Menurut
pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh
satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari
beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan
apakah secara keseluruhannya tindakan
mereka yang berakibat kerusakan lingkungan hidup itu merupakan suatu kejahatan
atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
Doktrin ini dapat mencegah korporasi dari mengubur
tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi. Namun demikian
doktrin ini juga memiliki sejumlah kelemahan. Sementara penyatuan tindakan dan
kehendak dari A, B, C dan D secara keseluruhan dapat menjadi suatu kejahatan,
dalam realitasnya tidak ada seorang individu pun salah secara personal.
c. Reactive
Corporate Fault
Suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana
korporasi telah diusulkan oleh Fisse[9] dan Braithwaite. Yaitu dengan mengemukakan
bahwa suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas
nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan
korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang
bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan
disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil
langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak akan terulang
kembali.
Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang
tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi
apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan
terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat
atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Konsep ini tidak dapat diberlakukan
pada tindak pidana disektor kehutanan, dimana hutan bukan suatu barang yang
dapat diperbaharui dalam waktu relatif singkat, jika kesalahan dimana melanggar
ketentuan tentang tata cara penebangan hutan berakibat hutan gundul dimana
tidak ada lagi batang-batang pohon generasi berikutnya yang dapat tumbuh akibat
tebang habis tanpa menghiraukan aturan. Konsep ini bertentangan dengan Teori
Pertumbuhan Hutan.
d. Vicarious
Liability
Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja
korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya
dapat dibebankan kepada perusahaan.
Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata
memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang
oleh perusahaan atau tidak.
Dalam hubungannya dengan kejahatan strict
liability berkaitan dengan masalah-masalah seperti kerusakan lingkungan
hidup sektor kehutanan, ini juga telah diterapkan untuk kejahatan campuran (hybrid)
yang kejahatan utamanya strict liability tetapi mengijinkan pembelaan due
diligence. Namun demikian, jelas bahwa vicarious liability tidak
harus diterapkan untuk seluruh kejahatan dari strict liability. Apakah
akan diterapkan atau tidak adalah masalah dalam interpretasi terhadap
undang-undang berhubungan dengan kebijakan atas keberadaan undang-undang
tersebut dan apakah penggunaan vicarious liability akan membantu
pelaksanaan undang-undang.
Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious
liability dapat diterapkan dalam setiap kasus, pertanyaannya adalah apakah vicarious
liability memiliki dasar yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban
korporasi. Alasan-alasan yang mendukung vicarious liability sebagian
besar bersifat pragmatis. Dengan melintasi semua masalah yang ada hubungannya
dengan doktrin lain, seperti menemukan orang yang cukup penting di dalam
korporasi yang telah melakukan kejahatan. Dengan doktrin ini, maka sepanjang
seseorang itu bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu
kejahatan maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini
akan mencegah perusahaan melindungi
dirinya dari tanggung jawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal hanya
kepada pekerjanya saja.
e. Management Failure Model
Konsep ini
hanya identik dengan tindakan ketika ada kesalahan manajemen oleh korporasi
yang menyebabkan meninggalnya banyak orang akibat perilaku yang secara rasional
berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini
didefinisikan dengan mengacu ke kegagalan manajemen (sebagai lawan dari
kegagalan korporasi), sebab secara implisit orang-orang dalam korporasi yang
melakukan kejahatan dan prasyarat dari kejahatan yang mereka usulkan, yaitu
“pembunuhan akibat kesembronoan/kelalaian” tidak tepat diterapkan kepada
korporasi. Seperti kasus tanah longsong akibat perusakan hutan dikawasan
tertentu atau munculnya akibat-akibat yang disebabkan aktivitas pertambangan
dikawasan hutan yang mencemari sungai.
Berdasarkan
hal itu, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam
rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. Dari
pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification
doctrine. Daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok
individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan
manajemen.
f. Corporate
Mens Rea Doctrine
Sudah
sering dikemukakan bahwa perusahaan itu sendiri tidak dapat melakukan kejahatan,
mereka tidak dapat berpikir atau memiliki kemauan. Hanya orang-orang yang yang
ada di dalam perusahaan yang dapat melakukan suatu kejahatan. Namun demikian, orang
dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang personalitas korporasi adalah
fiksi -tetapi dibuat dengan baik dan sangat berguna. Berdasarkan pandangan ini,
maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang
bertindak melalui staf mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan
dalam praktek dan kebijakan korporasi.
g. Specific Corporate Offences
Dalam hal
ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan
korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan
membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi. Bila
argumentasi yang digambarkan mengenai niat korporasi diterima, tentu saja tidak
diperlukan lagi kejahatan khusus korporasi. Prinsip-prinsip umum dapat
diterapkan.
Dari keseluruhan
doktrrin yang berkembang saat ini, masih belum jelas ketentuan yang mana yang
akan dipakai untuk kejahatan korporasi yang berakibat kerusakan lingkungan
disektor kehutanan saat ini. Pada dasarnya Doktri-doktrin itu hanya menuju pada
sebab yang diakibatkan dari kegiatan korporasi, sedangkan persolanan Kejahatan
korporasi perusakan lingkungan hidup sektor kehutanan di Indonesia
adalah klasik, diakibatkan benturan antar norma yang memberi ruang kepada para
Korporasi itu melakukan aktivitas tanpa mengindahkan kondisi lingkungan yang
akan rusak. Paradigmanya jelas bahwa luas wilayah Indonesia memungkinkan eksploitasi
besar untuk mendapatkan keuntungan baik itu Korporasi maupun pemerintah sendiri
yang hidup dari sumber daya alam.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Kerusakan lingkungan hidup sektor kehutanan diakibatkan
kelemahan sistem, oleh karenanya perlu meng-counter media korporasi, memperkuat
corporate responsibility, mendorong alieansi pebisnis independen, transparansi
biaya kampanye, memberi award untuk korporasi paling tidak
bertanggungjawab, sampai menguatkan daya tawar/lawan komunitas lokal. Cara lain
yang menyerang langsung jantung kekuatan korporasi tetapi kurang mendapat
perhatian di ranah publik adalah: penghilangan beberapa “hak-hak”
konstitusional korporasi yang selama ini mereka nikmati. Para ahli hukum
(korporasi dan konstitusi) sudah lama mendebatkan bahwa tersedianya
lubang-lubang hukum yang memungkinkan korporasi melakukan praktek kotor itu
adalah turunan dari pre-asumsi hukum yang menempatkan korporasi sebagai
“person” di hadapan hukum; dan karenanya berhak atas perlindungan-perlindungan konstitusional
sama seperti “natural person”. Maka salah satu upaya mendasar yang dapat
dilakukan guna melawan kekuatan korporasi (sambil tetap menjaga sisi
positifnya) adalah mengakhiri sebagian personalitas korporasi yang membuatnya
terlalu kuat.
b. Segera melakukan rumusan yang jelas untuk aparat dapat
melaksanakan penegakkan hukum dengan mengharmonisasikan aturan-aturan yang
terdapat dalam berbagai undang-undang yang selama ini overlaping dan
kebijakan-kebijakan didaerah yang melanggar ketentuan undang-undang ditelaah
ulang oleh Kementerian Dalam Negeri.
2. Saran
a. Adalah menjadi tanggungjawab
semua pihak untuk secara adil dan seimbang meletakkan pola kebersamaan sebagai
bagian dari masalah yang dipikirkan semua elemen masyarakat. Masyarakat yang
bertanggungjawab dalam keutuhan tidak semata berpikir bagaimana memenuhi dan
mencukupi kebutuhan ekonomi, tetapi juga partisipasi yang benar dalam kehidupan
politik. Sebab hal itu juga menjadi bagian penting dari siklus kehidupan yang
pada gilirannya juga membawa konsekuensi dan bahkan menentukan kualitas hidup
rakyat, baik secara individual atau pun dalam konteks ketahanan masyarakat
menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang melemahkan
ketahanan sosial yang diakibatkan keberadaan Korporasi yang sangat besar
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
b. Pada dasarnya kebijakan untuk memperluas asas legalitas adalah
sebagai pengimplementasian dari ide/konsep keseimbangan dari hukum pidana.
Kebijakan memperluas asas legalitas untuk memberi tempat kepada hukum yang
hidup dan berlaku di tengah masyarakat, seyogyanya menjadi bagian integral dari
pembaharuan sistem hukum –bukan hanya hukum pidana- di Indonesia. Implementasi
kebijakan tersebut diharapkan tidak sekedar memberikan “jaminan kepastian
hukum”, tetapi yang lebih penting adalah memberikan “jaminan kepastian
memperoleh keadilan” bagi masyarakat. Perluasan asas legalitas yang dituangkan
dalam RKUHP ini terkait dengan Tindak Pidana Perusakan Lingkungan Hidup sektor
Kehutanan oleh Korporasi, hendaknya tidak diwarnai dominasi pemikiran
positivisme dari penyusunnya.
c. Perlu adanya agenda baru bagi wakil-wakil rakyat guna membendung
kekuatan sisi jahat korporasi dan melindungi hak-hak demokratis rakyat
melalui amandemen konstitusi. Tidak hanya menyandarkan pada doktrin vicarious
liability dan kejahatan strict liability tetapi juga mengacu kepada
doktrin-doktrin lainnya yang lebih baru dan lebih mampu memberikan
pertanggungjawaban pidana korporasi seperti corporate mens rea atau specific
corporate offences doctrine.
d. Pertanggungjawaban pidana kerusakan
lingkungan hidup sektor kehuatan perlu diberlakukan sanksi denda proposional
lebih besar dari kekayaan korporasi sebagai deterrent effect bagi
korporasi lainnya yang mengakibatkan kerugian negara sangat besar.
Daftar Pustaka
Literatur :
Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia.
(Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-Unsurnya) Jakarta:
UI Press.
Abdul Azis, Yaya M. (ed.).
1998. Visi Global - Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Brent Fisse, Rethinking
Criminal Responsibility in a Corporate Society: an Accountability Model,
Chapter Eighteen: Bussines Regulation and Australian’s Future.
Darmodihardjo, Dardji. dan
Shidarta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Rido,
Ali. 1983. Badan Hukum dan Kedudukan
Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni
Susanto, IS. 1995. Kejahatan
Korporasi”. Semarang:
BP UNDIP
Subono, Nur Imam. 2003.
”Taktik Negara Menguasai Rakyat. (Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan
Korporatisme)“. Yogyakarta: Lappera.
Shofie, Yusuf. (edit).
2002. “Pelaku Usaha Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Utrecht,
E. 1983. Pengantar Dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru dan Sinar Harapan,
FGD 6 September 2005. Kejahatan Korporasi dalam RUU KUHP. Komnas HAM. ed. at. Bandung.
Forum Hukum. Volume 2 No. 1 Tahun 2005.
Undang Undang
1. Undang
Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang
Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
3. Undang
Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Undang
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah
1. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan
dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
2. Peraturan
Pemerintah Repulik Indonesia No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
3. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
4. Peraturan
Pemerintah Repulik Indonesia No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
5. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa.
6. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
Keputusan / Instruksi Presiden
1. Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi
2. Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 30 Tahun 1990 tentang Pemungutan dan Pembagian
Iuran Hasil Hutan (IHH).
3. Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung
Keputusan / Instruksi Menteri
1. Keputusan
Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/ 1978 tentang Penetapan Tambahan
Jenis-Jenis Binatang Liar yang telah Dilindungai
2. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 280/Kpts-II/ 1986 tentang Usaha Usaha untuk Mencegah dan
Membatasi Kerusakan Hutan dan Hasil Hutan yang disebabkan Daya Alam, Hama dan
Penyakit.
3. Instruksi
Menteri Kehutanan No. 088/Kpts-II/1988 tentang Pengendalian Perladangan
Berpindah
4. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 274 /Kpts-II/1989 tentang Kewajiban HPH untuk Membuat
Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi Seluruh Jangka Pengusahaan Hutan.
5. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 353 /Kpts-II/1989 tentang Penetapan Radius / Jarak
Larangan Penebangan Pohon dari Mata Air, Tepi Jurang, Waduk/ Danau , Sungai dan
Anak Sungai dalam Kawasan Hutan , Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya.
6. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan
Hutan Alam Produksi di Indonesia.
7. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 261 /Kpts-IV/1990 tentang Penambahan Lampiran Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 tentang Pohon-pohon di
Kawasan Hutan yang Dilindungi.
8.
Keputusan
Menteri Kehutanan No. 837/Kpts-IV/1991 tentang Larangan Penebangan Pohon di 100
m kiri Kanan Sungai dan 200 m dari Radius Mata Air.
9. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1993 tentang Pedoman Perlindungan Hutan di
Areal HPH dan HPHTI
10. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/ 1993 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil
Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dan Anggotanya di dalam Areal HPH.
11. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-8/1993 tentang Perlindungan Hutan
12. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993 jo. 576/Kpts-II/1993 tentang Kriteria
dan Indikator Pengelolaan Hutan Produksi Alam Indonesia secara Lestari.
13. Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 602/Kpts-II/1998 jo. No. 622/KPts-II/1999
tentang AMDAL, UKL dan UPL Pembangunan
Kehutanan dan Perkebunan
14.
Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309 /Kpts-II/1999 tentang Sistem
Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi
15. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep/17/Men-LH/5/2001 tentang Jenis Usaha
atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL.
16. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 69/Kpts-II/1995 tentang Kewajiban Pemegang HPH/HPHTI
dalam Membina Masyarakat Desa Hutan.
17. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 610/Kpts-II/1995 jo. No. 59/Kpts-II/1995 tentang Kriteria
dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam secara Lestari pada Tingkat Manajemen
Unit.
18. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 260/Kpts-II/1995 tentang Petunjuk Usaha Pencegahan dan
Pemadaman Kebakaran
19. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1995 tentang Pembangunan Sistem Pengamatan
Arus Sungai (SPAS) di Areal Pengusahaan Hutan.
20. Keputusan
Menteri Kehutanan No. 375/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Kawasan Pelestarian Plasma Nuftah di Hutan Produksi.
Keputusan / Edaran Direktur Jenderal
1. Keputusan
Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman TPI, THPB,
THPA dan Pedoman Pengawasannya.
2. Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman
Tebang Pilih Tanam Indonesia
3. Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 131/Kpts-IV-RPH/1990 tentang Pedoman
Penyusunan, Penilaian dan Pengesahan Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang
meliputi Seluruh Jangka Waktu Pengusahaan Hutan.
4.
Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang TPI pada
Hutan Alam Daratan.
5. Keputusan
Direktorat Jenderal PHPA No. 243 s/d 248 /Kpts/DJ-VI/1994 tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan.
6. Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 210/Kpts/IV-BPH/1995 tentang
Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh Pemegang HPH/HPHTI.
[1]
Dosen Fakultas Hukum Unlam Bagian Hukum Acara dan Staff Pengajar STIH-Sultan Adam
Banjarmasin.
[2]
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten diindikasikan banyak yang cacat
hukum karena bertentangan dengan aturan di atasnya dan tidak bersesuaian dengan
kebijakan Tata Ruang Nasional yang masih berlaku.
[3] Lihat: Nur Imam Subono. 2003.
”Taktik Negara Menguasai Rakyat. (Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan
Korporatisme)“. Yogyakarta: Lappera.
[4] Lihat RKUHP Pada Pasal
45 disebutkan, “bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi
kepentingan korporasiberdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain,
dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik diri sendiri atau bersama-sama”. Catatan FGD 6 September 2005. Kejahatan Korporasi dalam RUU KUHP. Komnas HAM. ed. at. Bandung. hal 5.
[5]
Kesengajaan melakukan aktifitas illegal diakomodir melalui pembentukan badan
hukum lain dibawah kendali korporasi induk, sebagai cara melindungi korporasi
yang besar.
[6] Illegal logging diartikan dengan:
“aktivitas yang merusak sumber daya alam yang dilindungi oleh negara
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku”. Lihat Forum Hukum. Volume 2
No. 1 Tahun 2005. hal. 74.
[7]
Lihat PP 38 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintah, antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Porvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Sebagaimana
dijelaskan dalam Lampiran.
[8]
RUU Administrasi Pemerintahan masih dalam tahap pembahasan di DPR RI.
sehingga perlu masukan dari berbagai pihak atas pentingnya pengaturan yang
jelas terhadap ketentuan tersebut nantinya.
[9] Brent Fisse, Rethinking Criminal Responsibility in a
Corporate Society: an Accountability Model, Chapter Eighteen: Bussines
Regulation and Australian’s Future.
dei titanium exhaust wrap | Ti-Titanium-Arts.com
BalasHapusI would love to have a new a new design design which nano titanium babyliss pro would titanium framing hammer change the size titanium 3d printer of my black titanium ring head, I know I'm not going nano titanium by babyliss pro to
Get More Info wholesale sex toys,love dolls,vibrators,male sex dolls,realistic dildo,sex chair,sex chair,wholesale sex toys,vibrators visit
BalasHapusw892h7krcyf301 sex doll,male masturbator,male sex toys,horse dildo,love dolls,dog dildos,strap on vibrator,sex chair,dog dildo z358o8lbcto059
BalasHapusz621m3tlghh377 g-spot dildos,penis sleeves,cheap sex toys,sex toys,dildo,vibrating dildos,sex toys,dildos,dildos v305p3edypy630
BalasHapush711y9kmkrr357 wholesale sex toys,women sexy toys,Discreet Vibrators,vibrators,adult sex toys,Clitoral Vibrators,glass dildos,adult sex toys,sex dolls y858c9fshfq944
BalasHapusc762n8oeqii523 prostate massagers,dog dildo,Bullets And Eggs,dildo,dildo,japanese sex dolls,vibrators,dildos,real dolls d145v9jkuby348
BalasHapuss951t7ecfgk152 Cheap Jerseys from china,wholesale nfl jerseys from china,cheap jerseys,Cheap Jerseys free shipping,Cheap Jerseys china,wholesale nfl jerseys from china,wholesale jerseys,cheap jerseys,Cheap Jerseys free shipping,nfl jerseys d356g3xtnsu108
BalasHapus