Selasa, 11 Februari 2014

TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DISEKTOR KEHUTAAN



TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI
TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
DISEKTOR KEHUTAAN

Oleh : Indah Ramadhany, S.H. [1]

Abstract:
Kasus-kasus yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup sektor kehutanan di Indonesia sebenarnya ditelaah lebih dalam diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Korporasi namun hal itu sering diperspektifkan sebagai akibat yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi sudah berlangsung sejak lama. Walaupun di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan dan lainnya, kejahatan itu terus berlangsung diakibatkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada dasarnya tidak berpegang pada Payung Hukum yang telah dibuat, dan penegakan hukum di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan selama ini.

A.  Pengantar
Keberadaan Korporasi sebagai non state actor di Indonesia telah menikmati impunity, yaitu kekebalan hukum atas berbagai kejahatan yang mereka lakukan sehingga meskipun mereka melakukan kejahatan, dan tidak ada usaha untuk memprosesnya secara hukum dengan maksimal. Kasus kejahatan di bidang lingkungan hidup merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia seperti halnya Illegal Loging, Illegal Mining dimana proses Kejahatan itu sebenarnya diawali dari upaya administrasi kriminal, bahkan terlihat samar dengan terlindung pada aturan[2] yang dibuat di daerah sebagai implikasi diberlakukannya otonomi daerah. Dalam hal ini pihak kepolisian tidak segera melakukan tindakan pengusutan karena perlu penelaahan yang lebih akurat terhadap sistem peraturan perundang-undangan dan materi undang-undang yang mengaturnya.
Kehadiran korporasi dalam era globalisasi dan perekonomian bebas dewasa ini dapat di ibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi dapat memberikan manfaat yang besar dalam pertumbuhan ekonomi, dan sisi lainnya dapat memberikan sebuah ancaman berupa tindak kejahatan, untuk menguntungkan kelompok atau golongan maupun orang-perorangan.
Dalam Era globalisasi ini, Bangsa Indonesia menghadapai masalah kohesi bangsa yang terancam dari dua arah, dari dalam dan dari luar. Dari dalam kita menghadapi perubahan manusia Indonesia kolektif menjadi manusia individualis dan materialistis, sebagai akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Dari luar kita berhadapan dengan proses globalisasi dimana kita semenjak menjadi bagian dari pasar dunia yang memberi kepada kita kebebasan untuk memperoleh informasi serta kemudahan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dalam keadaan seperti ini, setiap individu selalu mencari tempat yang terbaik bagi dirinya. Usaha untuk mengatasi hal ini melalui cara-cara psikologis untuk mempertebal rasa nasionalisme tampaknya sulit membawa hasil. Usaha yang lebih adalah kalau kita bisa menyelenggarakan keadilan di negara kita, terutama keadilan ekonomi.
Penyelenggaraan keadilan hanya bisa dicapai bila kelompok masyarakat yang lemah di bawah dan di daerah memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan haknya. Karena itu, demokrasi politik menjadi sangat penting pula. Pemberdayaan masyarakat arus bawah dan masyarakat di daerah harus menjadi sasaran pembangunan yang bisa meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi seperti diatas merupakan sebuah simbiosis yang tidak menguntungkan pada pihak lain, dimana keuntungan hanya didapatkan oleh sebagian pihak, dalam hal ini para pemegang korporasi di negeri ini. Dalam sebuah studi yang dilakukan Nur Imam Subono pemerintah yang berorientasi pada pembangunan, akan menciptakan sebuah otoriterisme dimana pemerintahan mengarah pada demokrasi liberal ala barat.[3]
Pemenuhan keadilan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh mau tidak mau memerlukan pembenahan dan pembaharuan hukum responsif, agar keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan menyentuh tidak hanya terhadap sekelompok orang, yang bernaung dalam bingkai korporasi.
Belakangan ini, muncul antisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh maraknya kehadiran korporasi dengan lebih menekankan pada peraturan perundang-undangan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana (kebijakan legislasi). Sebenarnya hal ini tidak juga dapat dikatakan sebagai hal yang baru, karena sejak ditahun 1951 telah diatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana.[4]
Tindakan aparat hukum untuk melakukan penyidikan selalu berujung pada ketidakpastian hukum, dimana sangat sulit untuk menerapkan pembuktian tanpa ada dasar hukum yang jelas yang mampu menjerat korporasi secara pidana, dan belakangan hanya dikenakan pada para subjek pemegang korporasi sehingga korporasi menjadi terlindungi keberadaannya[5].
Saat ini Indonesia sedang mengalami degradasi hutan yang sangat mengkhawatirkan, Angka yang dikeluarkan Departemen Kehutanan berjumlah 2,8 hektar per tahun, dengan demikian hutan yang hilang setiap tahunnya sama dengan  luasan negara Swiss.[6]


B.  Permasalahan
1.   Bagaimanakah Tindak Pidana Korporasi yang merusak lingkungan hidup di sektor Kehutanan ?
2.   Bagaimanakah Tanggungjawab Pidana Korporasi di sektor kehutanan ?

C.  Pembahasan
1.   Pengaturan Hukum di Sektor Kehutanan
Pengaturan di sektor kehutanan dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Kehutanan,  kemudian diperbaharui dengan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan terakhir kali di revisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
UU No. 41/1999 telah menetapkan penataan hutan sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk diperolehnya manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan hutan.  Pasal 22 UU tersebut misalnya telah mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolannya.  Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.  Kegiatan tata hutan ini meliputi upaya pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe , fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.  Blok-blok itu dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.  Berdasarkan pembagian blok-lok dan petak itulah kemudian disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.  Berkenaan dengan pemanfaatan hutannya sendiri, pasal 23 UU No. 41/1999 telah memberikan peluang untuk dilakukannya pemanfaatan hutan dengan tujuan memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya, sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang Undang Kehutanan No. 41/1999.  Pemanfaatan kawasan hutan itu dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional, demikian dinyatakan dalam pasal 24.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 6 ayat (1), bahwa hutan memiliki tiga fungsi utama yaitu : fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi dimana fungsi-fungsi tersebut ditetapkan oleh Pemerintah, maka pemerintah juga mengatur bagaimana memanfaatkan fungsi-fungsi hutan tersebut.  Pasal 26 ayat (2) mengatur tentang pemanfaatan hutan lindung yang dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.  Untuk izin usaha pemanfaatan kawasan, dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.  Izin pemanfaatan jasa lingkungan, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta nasional dan juga badan usaha milik negara atau milik daerah.  Sementara khusus pemungutan hasil hutan bukan kayu dikawasan hutan lindung dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Untuk pemanfaatan hutan produksi, telah diatur dalam pasal 28 dan 29.  Pemanfaatan hutan produksi itu dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu , serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sebagaimana pemanfaatan hutan lindung, pemanfaatan hutan produksi ini juga dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemanfaatan hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.  Izin pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu di hutan produksi dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.  Sementara untuk izin pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu dan hasil hutan kayu di hutan produksi, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan dan badan usaha milik negara/ daerah.
            Planologi wilayah hutan Indonesia telah ditetapkan berdasarkan fungsi kawasan, hal tersebut tidak dapat diganggu gugat dengan hanya merubah fungsi kawasan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang diperbaharui seiring dengan adanya investasi, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 fungsi kawasan adalah kewenangan Pemerintah Pusat Melalui Menteri Kehutanan, setiap aktivitas apapun yang berkaitan dengan hutan harus melalui izin dari Menteri Kehutanan baik itu aktivitas yang dilakukan departemen lain seperti Pertambangan dan Transmigrasi yang erat dengan kawasan hutan harus melalui keputusan Menteri Kehutanan. Peraturan Daerah yang melalui mekanisme Menteri Dalam Negeri yang merubah kawasan harus izin dari menteri Kehutanan tanpa hal tersebut Aturan di Daerah adalah cacat hukum.
Terkait dengan aktivitas transmigrasi perubahan kawasan dari hutan menjadi permukiman jika ada aktivitas pemungutan atas hasil hutan yang dilakukan oleh Korporasi ataupun orang hal tersebut sesuai dengan aturan hukum bahwa Hutan yang di pergunakan untuk atau ditetapkan sebagai kawasan alih fungsi selama fungsinya bukan sebagai kawasan hunian harus tetap mengacu pada aturan kehutanan dimana ada ketentuan sistem reboisasi mengembalikan fungsi hutan kewujud semula, jika berubah jadi kawasan hunian tidak ada lagi sistem reboisasi maka areal tersebut dimanfaatkan sebelum  jadi kawasan hunian adalah sah untuk diambil hasil hutannya. dan Aparat tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas aktivitas pemanfaatan sebelum hutan berubah jadi kawasan hunian karena telah ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi atas izin dari Menteri Kehutanan, dalih apapun yang mengatasnamakan Aturan Kehutanan sudah bersifat a contrario dengan legalitas hukum.
Kontradiksi jika hal tersebut bukan untuk kawasan hunian, aktivitas korporasi harus berdasarkan izin Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan, bukan berlaku sistem desentralisasi kewenangan daerah menetapkan izin untuk aktivitas tersebut.[7]

2.   Tindak Pidana Korporasi Sektor Kehutanan
Secara aktual tindak pidana korporasi ini dimulai dari aspek hukum administrasi, dimana administrasi pemerintahan kita selama ini masih dalam kategori tidak jelas (tumpang tindih)[8] disektor kewenangan, perijinan dan prosedural. Kondisi ini sering menjadikan para korporasi memiliki ruang untuk melakukan kejahatan, sementara aparat berpolemik dengan sistem administrasi yang ada, sedangkan penegakkan hukum menjadi mandul akibat ketidakjelasan baik itu dari sisi administratif maupun kebijakan teknis aturan perundang-undangan yang dibuat. Tumpang tindih aturan yang berlaku maupun ketidakjelasan norma antara disektor hulu dan hilir tidak dilakukan pembenahan. Kondisi demikian telah dianulir oleh pemerintahan sekarang ini dengan lebih tegas dan mencabut aturan-aturan yang menghambat sisi penegakan hukum. Bahkan untuk menindak pelaku sekarang ini para ahli dibidang hukum telah melakukan pengkajian besar terhadap sistem pemidanaan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan telah mulai merangcang KUHP baru untuk segera diberlakukan sebagai payung hukum.
Disatu sisi kita telah membenahi peraturan perundangan bidang kepidanaan, namun berbagai ruang terbuka kembali manakala otonomi daerah menjadi gaung yang menggiurkan bagi para penguasa daerah dan pengusaha yang memiliki akses dengan para pejabat di daerah.
Pada era sekarang ini dimana reformasi telah berlalu dan pemerintahan telah mulai membenahi perangkat-perangkat searah dengan pergantian pimpinan negara, masih saja terjadi kejahatan korporasi di bidang kehutanan ini, namun, bukan lagi mengeksploitasi kayu-kayu hasil hutan, karena memang kondisi hutan Indonesia yang telah mengalami kerusakan disetiap lini, dan tidak ada lagi kayu-kayu yang dapat dihasilkan diareal tebangan, dan yang tertinggal hanyalah kawasan yang termasuk dalam ketentuan perundangan tidak boleh dieksploitasi. Akan tetapi kondisi itu masih terdapat beberapa tindakan pembalakkan liar di areal dilindungi sehingga berakibat beberapa bagian kawasan itu rusak, hal ini karena kurangnya pengawasan dan fasilitas di lapangan yang dilakukan dan dimiliki pemerintah untuk menjaganya. Disamping itu menjaga sisa kawasan hutan yang masih ada, yang patut dicermati sekarang ini adalah perubahan alih fungsi kawasan dimana kejahatan korporasi tidak lagi terfokus pada pengambilan hasil kayu hutan tetapi pengalihfungsian hutan untuk dilakukan eksploitasi pertambangan dan juga alih fungsi menjadi kawasan perkebunan tanaman industri, sebenarnya kawasan itu masuk dalam areal hutan lindung. Kondisi seperti ini dapat juga dikategorikan sebagai sebuah kejahatan korporasi.  Kejahatan korporasi mengandung nilai kerugian yang sangat besar bagi negara karena aset yang dimiliki negara akan habis dan hanya dinikmati kalangan tertentu, yaitu para pemilik korporasi, hal ini tidak bisa didiamkan begitu saja sementara rakyat kita hidup dalam garis kemiskinan ditengah berlimpahnya kekayaan alam Indonesia.

3.   Pentingnya Pertanggungjawaban Korporasi
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan Korporasi, selain karena keberadaan suatu Korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius.
Gagapnya aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi ini sangat mengkhawatir, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh Korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh tim pembaharuan KUHP saat ini yang mempertegas pelaku kejahatan bukan hanya orang (naturalijk person), tetapi juga badan hukum (recht person) patut disambut dengan gembira. Melalui pembaharuan KUHP terbuka kesempatan untuk memperluas jenis kejahatan yang merupakan kejahatan yang juga dapat dilakukan oleh Korporasi, memastikan atas perbuatan pidana siapa sajakah suatu Korporasi harus bertanggung jawab secara pidana, serta memilih jenis-jenis pemidanaan yang paling tepat bagi Korporasi agar dapat memberikan rasa adil bagi korban serta menimbulkan deterrent effect.
4.  Penyimpangan Asas Untuk Pertanggungjawaban Korporasi
Penerapan pertanggungjawaban pidana Korporasi pada awalnya menghadapi sejumlah masalah hukum, khususnya menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan (genstrap zonder schuld). Seperti diketahui, tindak pidana tidak berdiri sendiri. Tindak pidana tersebut baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dapat dipidana.
Di Indonesia, salah satu cara agar Korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana adalah dengan diterapkannya salah satu teori, yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Namun menurut RUU KUHP, pengecualian ini hanya untuk tindak pidana tertentu, tidak untuk semua tindak pidana. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan atau sikap batin si pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas “strict liability” atau (liability without fault).
Tidak hanya sebatas itu mengingat tindak pidana Korporasi umumnya dilakukan oleh staf di level bawah, tidak secara langsung dilakukan oleh Badan Pengurus. Oleh karena itu, untuk meminta pertanggungjawaban pidana Korporasi, dimana yang mewakilinya adalah Badan Pengurus, maka pertanggungjawaban pidana tersebut diambil alih oleh Badan Pengurus. Penyimpangan ini dikenal dengan istilah vicarious liability atau seseorang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

5.  Tanggungjawan Korporasi di Sektor Kehutanan       
Dalam usaha meminta pertanggungjawaban pidana Korporasi, saat ini masih belum jelas konsep apa yang akan di tetapkan dalam ketentuan UU Hukum Pidana yang akan datang, namun secara garis besar ada 7 (tujuh) konsep yang merupakan perkembangan dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggung jawab pidana Korporasi.

a.  Identification Doctrine
Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam struktur Korporasi, atau dapat mewakili Korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan Korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu Korporasi dan individu.
Pada khususnya, doktrin ini masih membutuhkan seseorang untuk diidentifikasi di dalam struktur korporasi yang tindakan dan pengetahuannya menjadi simbol korporasi. Bila struktur korporasi tidak dapat ditembus atau bila kebijakan-kebijakannya sangat buruk dimana tidak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah aktivitas yang dilakukannya pada areal kawasan hutan, sebuah korporasi masih dapat melindungi dirinya sendiri dari tanggung jawab pidana korporasi. Dalam kasus dimana tidak ada manager atau direktur upaya konservasi atas hutan, maka tidak akan ada seorang pun yang tindakan dan pengetahuannya dianggap mencerminkan atau mewakili kehendak atau kemauan korporasi.


b.   Aggregation Doctrine
Dalam rangka mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification doctrine, sebuah alternatif dasar bagi pembentukan tanggung jawab pidana adalah aggregation doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah  secara keseluruhannya tindakan mereka yang berakibat kerusakan lingkungan hidup itu merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
Doktrin ini dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi. Namun demikian doktrin ini juga memiliki sejumlah kelemahan. Sementara penyatuan tindakan dan kehendak dari A, B, C dan D secara keseluruhan dapat menjadi suatu kejahatan, dalam realitasnya tidak ada seorang individu pun salah secara personal.

c.  Reactive Corporate Fault
Suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi telah diusulkan oleh Fisse[9] dan Braithwaite. Yaitu dengan mengemukakan bahwa suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan  disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali.
Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Konsep ini tidak dapat diberlakukan pada tindak pidana disektor kehutanan, dimana hutan bukan suatu barang yang dapat diperbaharui dalam waktu relatif singkat, jika kesalahan dimana melanggar ketentuan tentang tata cara penebangan hutan berakibat hutan gundul dimana tidak ada lagi batang-batang pohon generasi berikutnya yang dapat tumbuh akibat tebang habis tanpa menghiraukan aturan. Konsep ini bertentangan dengan Teori Pertumbuhan Hutan.

d.   Vicarious Liability
Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan.
Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.
Dalam hubungannya dengan kejahatan strict liability berkaitan dengan masalah-masalah seperti kerusakan lingkungan hidup sektor kehutanan, ini juga telah diterapkan untuk kejahatan campuran (hybrid) yang kejahatan utamanya strict liability tetapi mengijinkan pembelaan due diligence. Namun demikian, jelas bahwa vicarious liability tidak harus diterapkan untuk seluruh kejahatan dari strict liability. Apakah akan diterapkan atau tidak adalah masalah dalam interpretasi terhadap undang-undang berhubungan dengan kebijakan atas keberadaan undang-undang tersebut dan apakah penggunaan vicarious liability akan membantu pelaksanaan undang-undang.
Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious liability dapat diterapkan dalam setiap kasus, pertanyaannya adalah apakah vicarious liability memiliki dasar yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban korporasi. Alasan-alasan yang mendukung vicarious liability sebagian besar bersifat pragmatis. Dengan melintasi semua masalah yang ada hubungannya dengan doktrin lain, seperti menemukan orang yang cukup penting di dalam korporasi yang telah melakukan kejahatan. Dengan doktrin ini, maka sepanjang seseorang itu bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah  perusahaan melindungi dirinya dari tanggung jawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal hanya kepada pekerjanya saja.

e.  Management Failure Model
Konsep ini hanya identik dengan tindakan ketika ada kesalahan manajemen oleh korporasi yang menyebabkan meninggalnya banyak orang akibat perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefinisikan dengan mengacu ke kegagalan manajemen (sebagai lawan dari kegagalan korporasi), sebab secara implisit orang-orang dalam korporasi yang melakukan kejahatan dan prasyarat dari kejahatan yang mereka usulkan, yaitu “pembunuhan akibat kesembronoan/kelalaian” tidak tepat diterapkan kepada korporasi. Seperti kasus tanah longsong akibat perusakan hutan dikawasan tertentu atau munculnya akibat-akibat yang disebabkan aktivitas pertambangan dikawasan hutan yang mencemari sungai.
Berdasarkan hal itu, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. Dari pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine. Daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan manajemen.

f. Corporate Mens Rea Doctrine
Sudah sering dikemukakan bahwa perusahaan itu sendiri tidak dapat melakukan kejahatan, mereka tidak dapat berpikir atau memiliki kemauan. Hanya orang-orang yang yang ada di dalam perusahaan yang dapat melakukan suatu kejahatan. Namun demikian, orang dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang personalitas korporasi adalah fiksi -tetapi dibuat dengan baik dan sangat berguna. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi.



g.  Specific Corporate Offences
Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi. Bila argumentasi yang digambarkan mengenai niat korporasi diterima, tentu saja tidak diperlukan lagi kejahatan khusus korporasi. Prinsip-prinsip umum dapat diterapkan.

Dari keseluruhan doktrrin yang berkembang saat ini, masih belum jelas ketentuan yang mana yang akan dipakai untuk kejahatan korporasi yang berakibat kerusakan lingkungan disektor kehutanan saat ini. Pada dasarnya Doktri-doktrin itu hanya menuju pada sebab yang diakibatkan dari kegiatan korporasi, sedangkan persolanan Kejahatan korporasi perusakan lingkungan hidup sektor kehutanan di Indonesia adalah klasik, diakibatkan benturan antar norma yang memberi ruang kepada para Korporasi itu melakukan aktivitas tanpa mengindahkan kondisi lingkungan yang akan rusak. Paradigmanya jelas bahwa luas wilayah Indonesia memungkinkan eksploitasi besar untuk mendapatkan keuntungan baik itu Korporasi maupun pemerintah sendiri yang hidup dari sumber daya alam.


D.  Penutup
1.   Kesimpulan
a.   Kerusakan lingkungan hidup sektor kehutanan diakibatkan kelemahan sistem, oleh karenanya perlu meng-counter media korporasi, memperkuat corporate responsibility, mendorong alieansi pebisnis independen, transparansi biaya kampanye, memberi award untuk korporasi  paling tidak bertanggungjawab, sampai menguatkan daya tawar/lawan komunitas lokal. Cara lain yang menyerang langsung jantung kekuatan korporasi tetapi kurang mendapat perhatian di ranah publik adalah: penghilangan beberapa “hak-hak” konstitusional korporasi yang selama ini mereka nikmati. Para ahli hukum (korporasi dan konstitusi) sudah lama  mendebatkan bahwa tersedianya lubang-lubang hukum yang memungkinkan korporasi melakukan praktek kotor itu adalah turunan dari pre-asumsi hukum yang menempatkan korporasi sebagai “person” di hadapan hukum; dan karenanya berhak atas perlindungan-perlindungan konstitusional sama seperti “natural person”. Maka salah satu upaya mendasar yang dapat dilakukan guna melawan kekuatan korporasi (sambil tetap menjaga sisi positifnya) adalah mengakhiri sebagian personalitas korporasi yang membuatnya terlalu kuat.
b.   Segera melakukan rumusan yang jelas untuk aparat dapat melaksanakan penegakkan hukum dengan mengharmonisasikan aturan-aturan yang terdapat dalam berbagai undang-undang yang selama ini overlaping dan kebijakan-kebijakan didaerah yang melanggar ketentuan undang-undang ditelaah ulang oleh Kementerian Dalam Negeri.





2.   Saran
a.   Adalah menjadi tanggungjawab semua pihak untuk secara adil dan seimbang meletakkan pola kebersamaan sebagai bagian dari masalah yang dipikirkan semua elemen masyarakat. Masyarakat yang bertanggungjawab dalam keutuhan tidak semata berpikir bagaimana memenuhi dan mencukupi kebutuhan ekonomi, tetapi juga partisipasi yang benar dalam kehidupan politik. Sebab hal itu juga menjadi bagian penting dari siklus kehidupan yang pada gilirannya juga membawa konsekuensi dan bahkan menentukan kualitas hidup rakyat, baik secara individual atau pun dalam konteks ketahanan masyarakat menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang melemahkan ketahanan sosial yang diakibatkan keberadaan Korporasi yang sangat besar mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
b. Pada dasarnya kebijakan untuk memperluas asas legalitas adalah sebagai pengimplementasian dari ide/konsep keseimbangan dari hukum pidana. Kebijakan memperluas asas legalitas untuk memberi tempat kepada hukum yang hidup dan berlaku di tengah masyarakat, seyogyanya menjadi bagian integral dari pembaharuan sistem hukum –bukan hanya hukum pidana- di Indonesia. Implementasi kebijakan tersebut diharapkan tidak sekedar memberikan “jaminan kepastian hukum”, tetapi yang lebih penting adalah memberikan “jaminan kepastian memperoleh keadilan” bagi masyarakat. Perluasan asas legalitas yang dituangkan dalam RKUHP ini terkait dengan Tindak Pidana Perusakan Lingkungan Hidup sektor Kehutanan oleh Korporasi, hendaknya tidak diwarnai dominasi pemikiran positivisme dari penyusunnya.
c.   Perlu adanya agenda baru bagi wakil-wakil rakyat guna membendung kekuatan sisi jahat korporasi  dan melindungi hak-hak demokratis rakyat melalui amandemen konstitusi.  Tidak hanya menyandarkan pada doktrin vicarious liability dan kejahatan strict liability tetapi juga mengacu kepada doktrin-doktrin lainnya yang lebih baru dan lebih mampu memberikan pertanggungjawaban pidana korporasi seperti corporate mens rea atau specific corporate offences doctrine.
d.   Pertanggungjawaban pidana kerusakan lingkungan hidup sektor kehuatan perlu diberlakukan sanksi denda proposional lebih besar dari kekayaan korporasi sebagai deterrent effect bagi korporasi lainnya yang mengakibatkan kerugian negara sangat besar.













Daftar Pustaka

Literatur :

Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. (Analisis Yuridis Normatif  Tentang Unsur-Unsurnya) Jakarta: UI Press.
Abdul Azis, Yaya M.  (ed.). 1998. Visi Global - Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Brent Fisse, Rethinking Criminal Responsibility in a Corporate Society: an Accountability Model, Chapter Eighteen: Bussines Regulation and Australian’s Future.
Darmodihardjo, Dardji. dan Shidarta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Rido, Ali. 1983. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni
Susanto, IS.  1995. Kejahatan Korporasi”. Semarang: BP UNDIP
Subono, Nur Imam. 2003. ”Taktik Negara Menguasai Rakyat. (Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme)“. Yogyakarta: Lappera. 
Shofie, Yusuf. (edit). 2002. “Pelaku Usaha Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Utrecht, E. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru dan Sinar Harapan,
FGD 6 September 2005. Kejahatan Korporasi dalam RUU KUHP. Komnas HAM. ed. at. Bandung.
Forum Hukum. Volume 2 No. 1 Tahun 2005.

Undang Undang

1.      Undang Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2.      Undang Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
3.      Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
4.      Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Peraturan Pemerintah

1.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
2.      Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
3.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
4.      Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
5.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
6.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Keputusan / Instruksi Presiden

1.      Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi
2.      Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 30 Tahun 1990 tentang Pemungutan dan Pembagian Iuran Hasil Hutan (IHH).
3.      Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan / Instruksi Menteri

1.      Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/ 1978 tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang telah Dilindungai
2.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 280/Kpts-II/ 1986 tentang Usaha Usaha untuk Mencegah dan Membatasi Kerusakan Hutan dan Hasil Hutan yang disebabkan Daya Alam, Hama dan Penyakit.
3.      Instruksi Menteri Kehutanan No. 088/Kpts-II/1988 tentang Pengendalian Perladangan Berpindah
4.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 274 /Kpts-II/1989 tentang Kewajiban HPH untuk Membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi Seluruh Jangka Pengusahaan Hutan.
5.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 353 /Kpts-II/1989 tentang Penetapan Radius / Jarak Larangan Penebangan Pohon dari Mata Air, Tepi Jurang, Waduk/ Danau , Sungai dan Anak Sungai dalam Kawasan Hutan , Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya.
6.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
7.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 261 /Kpts-IV/1990 tentang Penambahan Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 tentang Pohon-pohon di Kawasan Hutan yang Dilindungi.
8.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 837/Kpts-IV/1991 tentang Larangan Penebangan Pohon di 100 m kiri Kanan Sungai dan 200 m dari Radius Mata Air.
9.      Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1993 tentang Pedoman Perlindungan Hutan di Areal HPH dan HPHTI
10.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/ 1993 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dan Anggotanya di dalam Areal HPH.
11.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-8/1993 tentang Perlindungan Hutan
12.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993 jo. 576/Kpts-II/1993 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Produksi Alam Indonesia secara Lestari.
13.  Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 602/Kpts-II/1998 jo. No. 622/KPts-II/1999 tentang AMDAL, UKL dan UPL  Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan
14.  Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309 /Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi
15.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep/17/Men-LH/5/2001 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL.
16.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 69/Kpts-II/1995 tentang Kewajiban Pemegang HPH/HPHTI dalam Membina Masyarakat Desa Hutan.
17.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 610/Kpts-II/1995 jo. No. 59/Kpts-II/1995 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam secara Lestari pada Tingkat Manajemen Unit.
18.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 260/Kpts-II/1995 tentang Petunjuk Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran
19.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1995 tentang Pembangunan Sistem Pengamatan Arus Sungai (SPAS) di Areal Pengusahaan Hutan.
20.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 375/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Plasma Nuftah di Hutan Produksi.

Keputusan / Edaran Direktur Jenderal

1.      Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman TPI, THPB, THPA dan Pedoman Pengawasannya.
2.      Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
3.      Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 131/Kpts-IV-RPH/1990 tentang Pedoman Penyusunan, Penilaian dan Pengesahan Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi Seluruh Jangka Waktu Pengusahaan Hutan.
4.      Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang TPI pada Hutan Alam Daratan.
5.      Keputusan Direktorat Jenderal PHPA No. 243 s/d 248 /Kpts/DJ-VI/1994 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.
6.      Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 210/Kpts/IV-BPH/1995 tentang Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh Pemegang HPH/HPHTI.



[1] Dosen Fakultas Hukum Unlam Bagian Hukum Acara dan Staff Pengajar STIH-Sultan Adam Banjarmasin.
[2] Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten diindikasikan banyak yang cacat hukum karena bertentangan dengan aturan di atasnya dan tidak bersesuaian dengan kebijakan Tata Ruang Nasional yang masih berlaku.
[3] Lihat: Nur Imam Subono. 2003. ”Taktik Negara Menguasai Rakyat. (Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme)“. Yogyakarta: Lappera. 
[4] Lihat RKUHP Pada Pasal 45 disebutkan, “bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasiberdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik diri sendiri atau bersama-sama”. Catatan FGD 6 September 2005. Kejahatan Korporasi dalam RUU KUHP. Komnas HAM. ed. at. Bandung. hal  5.
[5] Kesengajaan melakukan aktifitas illegal diakomodir melalui pembentukan badan hukum lain dibawah kendali korporasi induk, sebagai cara melindungi korporasi yang besar.
[6] Illegal logging diartikan dengan: “aktivitas yang merusak sumber daya alam yang dilindungi oleh negara berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku”. Lihat Forum Hukum. Volume 2 No. 1 Tahun 2005. hal. 74.
[7] Lihat PP 38 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintah, antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Porvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Sebagaimana dijelaskan dalam Lampiran.
[8] RUU Administrasi Pemerintahan masih dalam tahap pembahasan di DPR RI. sehingga perlu masukan dari berbagai pihak atas pentingnya pengaturan yang jelas terhadap ketentuan tersebut nantinya.
[9] Brent Fisse, Rethinking Criminal Responsibility in a Corporate Society: an Accountability Model, Chapter Eighteen: Bussines Regulation and Australian’s Future.

7 komentar:

  1. dei titanium exhaust wrap | Ti-Titanium-Arts.com
    I would love to have a new a new design design which nano titanium babyliss pro would titanium framing hammer change the size titanium 3d printer of my black titanium ring head, I know I'm not going nano titanium by babyliss pro to

    BalasHapus