I. PUTUSAN
A. Pengadilan
Tata Usaha Negara dan Pengadilan Perdata
Putusan Pengadilan dapat digolongkan
kepada dua macam, yaitu: putusan sela (tussen
vonnis) dan putusan akhir (Eind vonnis). Putusan akhir adalah
putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat
peradilan tertentu. Sedangkan putusan-sela atau putusan antara, yaitu putusan
yang fungsinya memperlancar pemeriksaan.[1]
Putusan sela dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena menyangkut
atribusi serta distribusi.
Dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara istilah putusan sela tidak dikenal.
Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, pada angka romawi VI disebutkan bahwa setiap
tindakan proses persidangan dituangkan dalam bentuk “penetapan”. Dengan
demikian istilah putusan sela dalam Hukum Acara TUN adalah penetapan. Sedangkan
putusan akhir, paralel dengan istilah Hukum Acara Perdata juga menggunakan
istilah putusan.
Dalam
perkara perdata, ternyata Hakim berwenang mengubah putusan-sela, karena
terdapat kesalahan di dalamnya.[2]
Keadaan tersebut, mungkin saja nantinya bisa dipertimbangkan agar dapat juga
diterapkan untuk terdapatnya putusan-sela dalam sengketa tata usaha negara.
Menurut
sifatnya, “amar” atau “diktum” putusan itu dapat dibedakan dalam tiga macam,
yaitu :
1.
Putusan
condemnatoir, yaitu yang amarnya berbunyi: “Menghukum dan seterusnya…”
2.
Putusan
yang konstitutif, yaitu yang amarnya menimbulkan suatu keadaan hukum
baru, atau meniadakan hukum baru.
3.
Putusan “declaratoir”, yaitu yang amarnya
menyatakan suatu keadaan yang sah menurut hukum.[3]
Sedangkan isi Putusan pengadilan Tata Usaha Negara itu (Pasal 97 ayat 7 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 ) dapat berupa :
1.
menolak
gugatan
2.
mengabulkan
gugatan
3.
tidak
menerima gugatan
4.
menyatakan
gugatan gugur.
Dalam
hal gugatan dikabulkan, dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban
yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN,.
Kewajiban ini dapat berupa :
1.
pencabutan
KTUN yang disengketakan;
2.
pencabutan
KTUN yang bersangkutan disertai penerbitan KTUN yang baru; atau
3.
menerbitkan
KTUN ( yang tadinya tidak diterbitkan).
Kewajiban ini dapat disertai pembebanan ganti rugi.
Bila putusan itu mengenai masalah kepegawaian maka disamping kewajiban tersebut
dapat disertai kewajiban melakukan rehabilitasi.
Dalam kaitan dengan
eksekusi/pelaksanaan putusan bahwa hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde) yang dapat dilaksanakan. Putusan
hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap bila tidak ada upaya hukum lain lagi
yang masih dapat diterapkan seperti naik banding, mohon kasasi dan sebagainya.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
istilah eksekusi merupakan peminjaman istilah dari Peradilan Perdata, lebih
dominan dengan penyebutan “pelaksanaan”. Istilah pelaksanaan yang dimaksud adalah sama
dengan istilah eksekusi. Yang dimaksud dengan eksekusi putusan
Pengadilan adalah pelaksanaan putusan oleh atau dengan bantuan pihak
lain di luar para pihak yang bersengketa.[4]
Selain itu dikenal pula dengan istilah eksekusi riil yang mengandung makna
semua pelaksanaan putusan yang tidak berupa uang paksa.[5]
Ada putusan yang belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap yang oleh hakimnya diputus dengan putusan uitvoorbaar
bij vooraad yaitu ketentuan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sesuai dengan
pasal 180 HIR. Putusan uitvoorbaar bij
vooraad ini tidak terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam Hukum Acara Perdata istilah
eksekusi dipergunakan tidak seragam. Subekti menggunakan dengan istilah
“pelaksanaan” putusan,[6]
demikian juga menggunakan istilah sama adalah Retno Wulan Sutantio.[7]
Menurut Yahya Harahap pembakuan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata
ganti eksekusi sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan HIR dan
RBG, pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (tenoitvoer
legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada
melaksanakan putusan Pengadilan. Yakni melaksanakan “secara paksa” putusan
Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan secara sukarela.[8]
Dengan diterimanya istilah
pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah eksekusi, tidak pada tempatnya
menggabungkan kedua istilah itu dalam satu rangkaian penulisan. Penulisan dan
pemakaian kedua istilah itu dalam satu rangkaian adalah berlebihan. Misalnya,
ada yang menulis dan mempergunakannya: pelaksanaan eksekusi. Rangkaian
penggabungan yang seperti itu ditinjau dari segi bahasa dan istilah berlebihan.
Cukup dipilih salah satu. Boleh dipergunakan “pelaksanaan” putusan atau cukup
dipergunakan dan dituliskan perkataan “eksekusi” putusan.
Dalam
hukum perdata umum kita mengenal 3 (tiga) macam eksekusi :
1.
Eksekusi
yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, di mana seorang dihukum untuk
membayar sejumlah uang;
2.
Eksekusi
yang diatur dalam Pasal 225 HIR, di mana seorang dihukum untuk melaksanakan
suatu perbuatan, hukum ini tidak dapat
dilaksanakan dengan paksaan;
3.
Eksekusi
riil yang dalam prakteknya banyak dilakukan, tetapi tidak diatur dalam HIR.[9]
Putusan yang bagaimana yang hendak dieksekusi ? Tidak
semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Artinya, tidak
terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti
tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat
dieksekusi ialah putusan yang belum dapat dijalankan.
Pada
prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang
dapat dijalankan. Pada asasnya putusan
yang dapat dieksekusi ialah :
1.
Putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.
Karena
dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara.
3.
Disebabkan
hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti :
a.
hubungan
hukum tersebut mesti ditaati; dan
b.
mesti
dipenuhi oleh pihak yang dihukum.
4.
Cara
menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap :
a.
Dapat
dilakukan atau dijalanan secara “sukarela” oleh pihak tergugat,
b.
Bila
enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan
dalam putusan harus dilaksanakan “dengan paksa” dengan jalan bantuan “kekuatan
umum”.[10]
Dalam
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara cara pelaksanaan putusan Pengadilan ada
beberapa cara, tergantung dari amar putusan yang dilaksanakan :
1.
Amar
putusan Pengadilan berisi pernyataan pencabutan KTUN. Salinan putusan hakim
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak dengan
surat tercatat, oleh Panitera atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama,
selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari. Dalam waktu empat bulan
setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan tergugat
tidak melaksanakan putusan pengadilan itu (mencabut KTUN Pasal 97 ayat 9 sub a,
maka KTUN yang disengketakan secara otomatis/dengan sendirinya tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
2.
Amar
putusan Pengadilan berisi perintah pencabutan KTUN dan penerbitan keputusan
yang baru atau hanya berisi pernyataan agar Badan atau Pejabat mengeluarkan
keputusan.
Kalau
putusan Pengadilan itu mengharuskan tergugat untuk mencabut KTUN dan untuk
menerbitkan KTUN yang baru tetapi jika dalam waktu 3 bulan hal itu tidak
dilakukan maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan
tersebut. Bila ini, walaupun ada perintah itu, tergugat masih juga belum/tidak
melaksanakan putusan pengadilan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada
instansi atasannya dan dengan bantuan atasannya, dengan melalui prosedur
tertentu akan diusahakan penyelesaian sengketa TUN tersebut. Jika tindakan ini
masih juga belum dapat menyelesaikan sengketa maka Ketua Pengadilan mengajukan
hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkan Badan atau Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan
Pengadilan yang bersangkutan.
Dalam
rangka melaksanakan putusan itu, karena gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat (8)
yang berarti (para) tergugat harus memenuhi dan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, yang dapat berupa :
1.
pencabutan
KTUN, yang bersangkutan (Pasal 97 ayat (9) butir a);
2.
pencabutan
KTUN yang bersangkutan, dan menerbitkan keputusan yang baru (Pasal 97 ayat (9)
butir b);
3.
penerbitan
KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97 ayat (9) butir c);
4.
membayar
gantu rugi (Pasal 97 ayat (10) jo. Pasal 120);
5.
melakukan
rehabilitasi (Pasal 97 ayat (11) jo. Pasal 121).
Dari
sisi lain Sjachran Basah mengelompokkan bahwa sewaktu menjalankan putusan itu
dapat saja terjadi, bahwa (para) tergugat tidak melaksanakan
kewajiban-kewajibannya baik dengan alasan maupun tidak atau ada pihak ketiga
yang mengajukan perlawanan.[11]
1.
(Para)
tergugat tidak melaksanaan putusan Pengadilan dengan alasan.
Hal ini berkaitan dengan sengketa di bidang
kepegawaian (Pasal 97 ayat (11)) dan tergugat tidak dapat dengan sempurna
memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebabkan perubahan keadaan. Perubahan
keadaan itu terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan (atau) memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dengan demikian “perubahan keadaan” itu dapat dijadikan
alasan oleh tergugat untuk tidak melaksanakan putusan (Pasal 117), dengan
ketentuan ia harus memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan TUN (tingkat
pertama) yang mengadilinya dan (para) penggugat.
(Para) penggugat dalam tenggang waktu 30 hari
setelah menerima pemberitahuan itu, dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan TUN (tingkat pertama) yang (memerintahkan) telah mengirimkan putusan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan maksud agar (para) tergugat
dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain.
Ketua Pengadilan TUN itu setelah menerima
permohonan tadi, memerintahkan memanggil para pihak yang berperkara untuk
membicarakan kehendak (para) penggugat itu agar dicapai suatu peretujuan.
Apabila setelah diusahakan kata sepakat tidak tercapai, maka Ketua Pengadilan
itu mengeluarkan penetapan dengan disertai pertimbangan-pertimbangan yang
cukup, menentukan jumlah uang dan kompensasi lain yang diminta oleh (para)
penggugat.
(Para) penggugat dan/atau (para) tergugat
bilamana tidak setuju terhadap penetapan itu dapat mengajukan kepada Mahkamah
Agung untuk minta hal tersebut ditetapkan kembali.
Putusan Mahkamah Agung tentang hal di atas
itu, wajib ditaati oleh para pihak yang berperkara.
2.
Tergugat
tidak melaksanakan putusan Pengadilan tanpa alasan.
Keadaan sebaliknya
terjadi dari hal di atas, yaitu (para) tergugat sama sekali tidak melaksanakan
kewajiban-kewajibannya yang tak beralasan (pasal 116 ayat (3)–ayat (6)).
Apabila hal ini terjadi, maka (para) penggugat mengajuan permohonan setelah 3
bulan tergugat tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Ketua
Pengadilan itu, agar ia diperintahkan melaksanakan putusan.
Waktu 3 bulan di atas
bukanlah merupakan limit yang memaksa sifatnya, melainkan untuk itu diperlukan
kebijaksanaan dari Ketua Pengadilan untuk mempertimbangkannya dengan seksama
sebelum ia memerintahkan tergugat melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.
Jika tergugat masih
tetap tidak berkehendak melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan itu
mengajukan perihal keadaan demikian tersebut kepada instansi atasan, yang
terkena eksekusi berdasarkan jenjang jabatan. Instansi termaksud dalam waktu 2
bulan setelah menerima pemberitahuan itu, harus sudah memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan.
Kalau instansi atasan
itu tidak menjalankan kewajibannya, maka Ketua Pengadilan itu mengajukan hal
tersebut kepada Presiden agar tergugat melaksanakan putusan.
3.
Gugatan
Perlawanan.
Gugatan perlawanan
(pasal 118) timbul apabila pihak ketiga yang belum ikut serta atau
diikutsertakan selama proses pemeriksaan sengketa itu khawatir akan dirugikan
kepentingannya, apabila tergugat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Untuk
keperluan itu ia mengajukan gugatan perlawnan terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau verzet tegen executie kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mengadili perkara itu.
Gugatan itu diajukan pada saat sebelum
putusan tersebut dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 56 dan dalam proses pemeriksaannya diberlakukan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 63. Dengan demikian
dalam proses pemeriksaan itu terdapat Rapat Permusyawaratan dan Pemeriksaan
Persiapan, bahkan dapat terjadi pemeriksaan acara cepat bilamana ada
“perlawanan” terhadap penetapan hasil Rapat Permusyawaratan itu. Walaupun
terdapat gugatan perlawanan, namun tidak berarti secara otomatis eksekusi ditunda.
Eksekusi
riil kalau diterapkan berarti yang dieksekusi adalah Pejabat TUN. Terlepas dari
hambatan-hambatan psikologi yang mungkin ada., asas-asas hukum administrasi
dapat menjadi penghambat eksekusi riil. Asas-asas tersebut adalah :
1.
asas
bahwa terdapat benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan;
2.
asas
“rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini adalah asas
kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN yang seharusnya
menjadi wewenang Pejabat tertentu di bawahnya. Dengan demikian andaikata
Pejabat atasan memerintahkan Pejabat di bawahnya untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata
tidak dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN tersebut;
3.
asas
bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa dirampas. Kemungkinan dari asas
ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat dikenai tahanan rumah karena tidak
melaksanakan putusan TUN.
4.
asas
bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus dianggap “solvable” (mampu
membayar).[12]
B. Kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Perdata
Di negara-negara berkembang umumnya
peranan pemerintah (eksekutif) sangat menonjol dibandingkan dengan lembaga
lainnya seperti yudikatif dan legislatif. Bahkan, dalam keadaan-keadaan
tertentu peranan pemerintah tersebut dapat menerobos hingga keseluruh aspek
kehidupan warga-negaranya.
Hal meningkatnya perbuatan-perbuatan
pemerintah tersebut tiada lain karena memang situasi dan kondisi negara
berkembang yang sedang membangun, selalu menuntut terdapatnya pihak pemerintah
yang sangat aktif campur tangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum.[13]
Dampak yang pasti akan timbul dengan keadaan sebagaimana digambarkan di
atas adalah Pemerintah memandang, bahwa aktifnya mereka dalam seluruh aspek kehidupan
warga negaranya adalah sebagai wujud dari kepedulian negara terhadap warga
negaranya. Dalam prakteknya negara mengurusi segala aspek kehidupan rakyat yang
langsung berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak. Umumnya,
tindakan-tindakan pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk dikeluarkannya
izin-izin, penetapan-penetapan, peraturan-peraturan yang selanjutnya diikuti
dengan bentuk perbuatan-perbuatan yang konkrit yang umumnya tertuang dalam
bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN).
Menurut Van
Wijk/Konijnenbelt KTUN dapat dibedakan
sebagai berikut :[14]
1.
Keputusan
pemerintah yng berkaitan dengan perbuatan material
2.
Tindakan-tindkan
hukum meliputi :
a.
tindakan
hukum publik ekstern yang banyak pihaknya
b.
Tindakan
hukum publik ekstern yang bersifat sepihak meliputi:
1).
Bersifat
umum (umum abstrak – Umum konkret)
2).
Bersifat
ndividual meliputi individual abstrak dan individual konkret.
Dari
sekian banyak kelompok macamnya keputusan tata usaha negara (KTUN) tersebut
ternyata hanya keputusan tata usaha negara yang bersifat individual konkret
saja sebagai pelaksanaan wewenang pemerintahan yang dapat disengketakan di
Pengadilan tata Usaha Negara. Ini berarti lain-lain macam bentuk keputusan tata
usaha negara seperti keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan tindakan
material, maupun tindakan menurut hukum perdata dan keputusan hukum tata usaha
negara yang tidak bersifat individual dan konkret merupakan wewenang
pemerintahan yang apabila disengketakan akan masuk dalam kompetensi Paradilan
Umum.
Tindakan
pemerintahan dalam bentuk tindakan hukum/berakibat hukum (rechtshandelingen)
dan tindakan matetriil/tidak berakibat hukum atau hal-hal biasa (feitelijkehandelingen). Dari dua bentuk
tindakan tersebut terhadap tindakan hukum lebih banyak terfokus pada tindakan
hukum menurut hukum publik yang menimbulkan kerugian yang penyelesaian hukumnya
melalui peradilan umum. Sedangkan untuk tindakan pemerintahan dan perbuatan
mareriil yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Tindakan yang dilakukan adalah untuk pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat
secara spontan yang dilakukan oleh penguasa tinggi dan rendahan secara hirarki,
Ini berarti bahwa, dalam penyelengaraan kepentingan umum organ-organ
pemerintahan diserahi kewenangan untuk melakukan aktivitas-aktivitas menurut
hukum publik.
Philipus
M Hadjon dalam membedakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi
peradilan tata usaha negara dan peradilan umum memberikan contoh kasus sebagai
berikut :
Jalan tertentu akan
mengalami pelebaran, dengan pelebaran itu, berarti rumah/bangunan yang ada
disitu akan tergusur. Kalau tidak disebutkan orang/badan hukum yang harus
membongkar bangunan itu, maka perintah tersebut bukan bersifat individual
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986. Oleh sebab itu
dengan sendirinya gugatan atas perintah pembongkaran tersebut tidak menjadi
kompetensi peradilan tata usaha negara melainkan peradilan umum.
Di sisi lain, dengan makin
terlibatnya pemerintah dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya berakibat
pada lahirnya berbagai bentuk penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan, karena
gerbong welfare state tidak diarahkan
pada jalur yang benar, sehingga akhirnya masyarakat yang dirugikan.[15]
Dalam penyelenggaraan pemerintahan
diharapkan, bahwa setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan
tugas dan wewenangnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dalam bahasa
lain diharapkan setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan tugas
dan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tertib
administrasi.
Karena makin kompleksnya kehidupan
warga negara di samping tentunya tugas-tugas pemerintahan, tidak mengherankan
apabila kewenangan/kekuasaan yang diberikan pada pemerintah sedemikian luas dan besar. Keadaan ini apabila tidak
diawasi sedemikian rupa akan berakibat pada tindakan yang merugikan masyarakat
banyak.
Timbulnya penyalahgunaan kekuatan,
penyimpangan wewenang, salah urus administrasi dan sebagainya lebih banyak
diakibatkan karena tertib administrasi
sesuai peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan tidak dijalankan.
C. Gugatan Melalui Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 53 memberikan sarana bagi seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang, berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan tersebut batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi.
Adapun dasar atau alasan-alasan yang
dapat digunakan untuk menggugat berkenaan dengan tidak sahnya suatu KTUN,
ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004, yang meliputi :
1.
KTUN
yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Maksud gugatan ini adalah koreksi serta
pelurusan dalam segi penerapan hukumnya terhadap KTUN yang merugikan atas dasar
alasan tersebut di atas agar KTUN dapat dinyatakan oleh PTUN sebagai KTUN tidak
sah atau batal.
Pembatalan KTUN tersebut tentunya
melalui proses peradilan, karena terdapat asas bahwa setiap tindakan Pemerintah
dianggap benar menurut hukum kecuali sebaliknya dinyatakan oleh hakim. Asas ini telah dituangkan dalam pasal 67 UU
No. 5 Tahun 1986.
Oleh karena itu putusan Pengadilan,
yang mengabulkan gugatan akan memuat diktum bahwa KTUN yang digugat adalah
tidak sah atau batal, sehingga bagi tergugat/Pemerintah ada kemungkinan untuk
mencabut atau membuat KTUN. Namun pembatalan KTUN ini sebagaimana perintah
putusan tidak dengan sendirinya diikuti oleh pihak pemerintah, seringkali
pemerintah enggan melaksanakan putusan tersebut. Untuk itu maka dalam proses
peradilan dicantumkan satu tahapan yang disebut pelaksanaan putusan atau
eksekusi.
Dalam Undang-undang No. 51 Tahun 2009
mengenai pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 116 yang menentukan
sebagai berikut :
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha
negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan
huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak
setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan
hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis
sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau
sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 116 di atas
menggambarkan bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlainan
dengan pelaksanaan putusan pengadilan pada Peradilan Perdata, maka dalam
pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara apabila pihak Pemerintah
enggan melaksanakannya tidak ada alat pemaksa, yang nampaknya sangat tergantung
kepada kemauan/kesadaran pemerintah sendiri.
Akibatnya apabila pihak Badan
atau Pejabat TUN selaku tergugat yang
dikalahkan, maka akan menemui kesulitan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan
jika pihak Badan atau Pejabat TUN tidak mau melaksanakannya.
Dengan tidak ditaatinya putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa tata usaha negara oleh tergugat
dalam hal ini Pemerintah, maka tentunya rakyat yang tadinya datang ke
Pengadilan untuk minta perlindungan dan keadilan dalam kasus yang dihadapinya,
maka menjadi sia-sia. Hal ini pada gilirannya dapat menurunkan kewibawaan
Pengadilan itu sendiri. Keadaan seperti ini tidak perlu terjadi karena saat ini
bangsa kita telah bertekad untuk menciptakan supremasi hukum. Ketidakberdayaan
Pengadilan untuk memaksakan putusannya agar dilaksanakan oleh pihak
tergugat/pemerintah harus mendapat perhatian serius.
Oleh
karena itu dalam menghadapi permasalahan hukum di atas jangan sampai terjadi
apa yang disebut kekosongan (leemten) dalam perlindungan hukum melalui
Peradilan Tata Usaha Negara bagi rakyat sehingga ada pemikiran untuk
diselesaikan melalui peradilan umum.
Bertitik
tolak dari ketentuan UU No. 5 tahun 1986 dan perubahannya, serta konsep-konsep
pemikiran para sarjana, bahwa: peradilan tata usaha negara hanya menangani
sengketa-sengketa tata usaha negara yang bersifatnya konkret, individual dan
final yang menimbulkan akibat hukum
Dalam
kaitan ini perlu ditelusuri dasar kewenangan peradilan umum menyelesaikan sengketa-sengketa tata
usaha negara. Pada masa setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia pradilan umum
tetap menyatakan dirinya berkompeten menangani gugatan terhadap pemerintah. Dari
putusan-putusan yang pernah ada ternyata ada beberapa dasar yang dijadikan
dasar hukum oleh peradilan umum untuk menyatakan kompetensinya.
Dalam
kaitan ini, Philipus M Hadjon dalam buku-bukunya perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia mengatakan :[16]
Ada
tiga hal yang dapat ditujukan sebagai dasar kewenangan peradilan umum menangani
gugatan terhadap pemerintah yakni :
Pertama
:
masih menunjukkan Pasal 2 RO sebagai dasar hukum.
Kedua : menyatakan
sebagai dasar ialah karena belum adanya peradilan tata usaha negara (PTUN).
Ketiga : menyatakan
sebagai dasar ialah yurisprudensi.
Ketiga
dasar hukum yang dijadikan dasar kompetensi
absolut peradilan umum tersebut, kiranya perlu dikaitkan dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1986
tentang peradilan umum. Dasar kompetensi peradilan umum ialah pasal 50 UU Nomor
2 Tahun 1986 dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kompetensi
peradilan tata usaha negara ternyata hanya mengenai keputusan tata usaha negara
menurut pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Dengan pembatasan tersebut,
penjelasan undang-undang ini menyebutkan bahwa sengketa-sengketa administrasi
negara atau gugatan terhadap pemerintah yang tidak termasuk kompetensi
peradilan tata usaha negara dan tidak termasuk peradilan tata usaha militer
termasuk kompetensi peradilan umum.
Dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum tidak satupun pasal
yang menyebutkan secara eksplisit tentang kewenangan peradilan umum
menyelesaikan sengketa-sengketa tata usaha negara. Bahkan pasal 50
undang-undang ini menyebutkan secara jelas bahwa : “Peradilan demikian tentunya
menurut logika hanya sengketa-sengketa perdata saja yang termasuk dalam
wewenang peradilan umum untuk diperiksa dan diadili”. Namun dengan menggunakan
interprestasi gramatikal kiranya dapat ditafsirkan hal itu.
Dalam
hubungan ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun
1986 bahwa: “Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Selanjutnya
penjelasannya menyatakan sebagai
berikut: Pengadilan di lingkungan peradilan umum sekaligus merupakan pengadilan
untuk perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara
pelanggaran lalu lintas jalan dan perkara lainya yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Menyimak
rumusan Pasal 2 bahwa peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya
maka apabila ditafsirkan secara luas hal itu menunjukan bahwa peradilan umum
selain harus menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang belum ditangani
PTUN, juga brwenang menyelesaikan perkara/sengketa yang timbul akibat perbuatan
materiil dan perbuatan menurut hukum perdata yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha negara. (sesuai penjelasan pasal 2 …… perkara lainya).
Philipus
M. Hadjon dalam bukunya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia menunjukan
Undang-undang No. 14 tahun 1970 sebagai dasar kewenangan peradilan umum. Selanjutnya
diuraikan sebagai berikut :
Dalam
Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan empat tipe
peradilan dan disamping itu masih dimungkinkan pembagian dalam filsafat logika,
empat tipe peradilan tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua kelompok yakni :
peradilan khusus yang meliputi peradilan agama, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara, serta peradilan umum.
Kriteria
khusus yang mengandung makna rakyat tertentu. Dengan demikian a contrario adalah peradilan umum.
Dengan premise di atas dapat ditarik konklusi untuk menetapkan lingkup
kompetensi peradilan. Konklusi tersebut ditarik dengan tetap berpegang pada
prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Undang-undang No. 4 tahun 2004 Yakni
:
Pertama
: prinsip
yang terkandung dalam Pasal 14 yakni tentang kekuasan serta acara badan-badan
peradilan yang diatur dengah Undang-undang.
Kedua
: peradilan
khusus hanya menangani perkara-perkara yang ditetapkan dengan undang-undang.
Dengan
prinsip-prinsip tersebut, dalam menetapkan kompetensi peradilan umum dapat
ditentukan dengan dua cara yakni :
Pertama
: bahwa
lingkup kompetensi peradilan umum itu ditetapkan dengan undang-undang.
Kedua
: Luasnya
lingkup kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan teori Residu.
Teori ini menyebutkan bahwa bidang-bidang yang tidak diserahkan khusus dengan sendirinya masuk lingkup
peradilan umum. Dengan cara itu, tidak akan ada sengketa hukum yang tidak
termasuk kompetensi salah satu badan peradilan yang ada.
Berdasarkan
uraian tentang kewenangan peradilan umum mengenai sengketa tata usaha maka
dapat diketahui bahwa kewenangan
peradilan umum menyelesaikan sengketa tata usaha negara dapat ditelusuri
melalui dua cara yaitu dasar pembenar peratutan perundang-undangan dan dasar
pembenar secara teoritis.
Dasar
pembenar menurut undang-undang mengandung arti bahwa, penentuan kompetensi
peradilan umum ditelusuri melalui
peraturan perundang-undangan. Yang dalam hal ini kompetensi peradilan
umum tadi dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 dan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004. Dasar pembenar lainnya yakni dengan menggunakan tolok ukur
Residu. Dengan berpatokan pada dua dasar pembenr itu, maka kendatipun dewasa
ini telah beroperasi peradilan tata usdaha negara (PTUN) namun peradilan umum
masih tetap diberikan kewenangan mengadili sengketa-sengketa tata usaha negara.
Oleh
karena Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hanya diberikan kewenangan tertentu
saja dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, maka dengan sendirinya
lahan kewenangan peradilan umum masih luas, sehingga kewenangan itupun
mencangkup menyelesaikan sengketa tata usaha negara
II. KARAKTERISTIK PUTUSAN
A.
Konsep Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Konsep berkenaan dengan pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dapat dijelaskan seperti dalam Pasal 115 menyebutkan
: Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
dapat dilaksanakan.
Formulasi Pasal tersebut menunjukkan
secara jelas bahwa putusan yang dijalankan adalah putusan yang sifatnya sudah
tetap. Hal itu berarti bahwa putusan tersebut tidak dapat ditinjau atau
dibatalkan. Dengan demikian sifat putusan ini memiliki kekuatan mengikat yang
sesuai dengan, “Salah satu asas putusan dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara yakni asas Erga Omnes yang
artinya putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat".[17]
Makna asas “erga omnes” menurut Philipus M. Hadjon adalah : putusan berlaku bagi semua orang.[18] Maka dengan asas ini, putusan pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya
mengikat para pihak yang bersengketa. Hal demikian itu merupakan
pengejawantahan essensi Peradilan Administrasi yang pada dasarnya menegakkan
hukum publik (hukum administrasi). Sengketa yang termasuk lingkup kewenangan
Peradilan Administrasi pun mempuyai pula karakter hukum publik. Dengan
demikian, antara putusan hakim perdata dengan putusan hakim administrasi
terdapat perbedaan: Putusan hakim perdata pada prinsipnya hanya mempunyai
kekuatan mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan hakim
administrasi mempunyai kekuatan mengikat bagi semua orang. Indroharto dalam
bukunya Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku
II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara juga menegaskan :
Kalau pada putusan pengadilan perkara
perdata itu pada prinsipnya hanya mempunyai kekuatan mengikat antara para
pihak, maka putusan PERATUN itu mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan
hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun.[19]
Oleh karena itu, dapat dipahami
bahwa dengan asas “erga omnes” dalam
proses Peradilan Administrasi tidak berlaku sebagaimana yang sering terjadi
pada Diktum putusan hakim perdata : Agar pihak-pihak tertentu, baik yang
diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang tidak diikutsertakan, untuk
tunduk dan mentaati putusan pengadilan - om
te gehengen en te gedogen – yang
bersangkutan”. Diktum putusan seperti ini dalam Peradilan Administrasi tidak
perlu terjadi. Apalagi terdapatnya gugatan yang menyebutkan adanya : Tergugat
I, tergugat II, turut tergugat I, turut tergugat II dan seterusnya seperti apa
yang lazim dalam proses beracara perdata.
Nalar adanya konsekuensi
(karakteristik) ini ialah, sengketa TUN (administrasi adalah sengketa hukum
publik (hukum administrasi). Putusan hakim Peradilan Administrasi merupakan
putusan hakim publik (mempunyai karakter hukum publik). Dengan demikian,
putusan hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja, tidak hanya
berlaku bagi para pihak yang bersengketa semata. Dengan demikian, berlainan
dengan hukum acara perdata, yang pada dasarnya siapa saja yang berkepentingan
dengan suatu obyek sengketa (perkara) dapat ditarik menjadi pihak yang
berperkara : tergugat . Dalam hukum acara Peradilan Administrasi hanya organ
pemerintah yang mengeluarkan surat keputusan yang menjadi obyek sengketa saja
yang dapat dijadikan pihak tergugat. Bagaimanakah dengan UU PTUN? Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 51 Tahun 2009
menentukan :
Tergugat adalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata.
Ketentuan tersebut memberikan bentuk
pemahaman:
Pertama
: yang
selalu menjadi pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN. Namun, bukan semua
Badan atau Pejabat TUN, hanya Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN.
Kedua : Badan
atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN
harus yang berwenang.
Apakah perlu adanya petitum dan
diktum seperti dalam bentuk gugatan perdata ? Kalau gugatan dikabulkan, haruskah kepada tergugat
lainnya diputuskan untuk tunduk dan mentaati putusan pengadilan yang
bersangkutan (“om te gehengen en te
gedogen”)? Putusan termaksud, jelas tidak dikenal dalam proses Peradilan Administrasi.
Putusan hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi umum, yakni berlaku bagi
siapa saja, sehingga berbeda dengan
putusan hakim perdata yang hanya berlaku untuk pihak-pihak yang
bersengketa semata. Dengan demikian, tidak perlu adanya pernyataan dari pengadilan dalam memutuskan
perkara yang menyatakan agar pihak-pihak yang terkait tunduk dan mentaati.
Petitum dan diktum putusan termaksud,
jelas tidak sesuai dengan asas “erga
omnes” sebagaimana halnya dengan penyebutan “turut tergugat I, turut
tegugat II” dn seterusnya. Meskipun tanpa diktum tersebut dan mengikutsertakan
pihak lain dalam bentuk formal sebagai tergugat I, tergugat II, turut tergugat
I, turut tergugat II dalam proses yang bersangkutan, berdasarkan asas “erga
omnes”, siapapun juga akhirnya harus tunduk pada putusan yang dijatuhkan (yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap). Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dan
perubahannya tidak mengenal istilah “turut tergugat”, tidak seperti lazimnya
dalam praktik acara perdata di Peradilan Umum, karena sudah tegas dalam Pasal 1 angka 12
Undang-undang No. 51 Tahun 2009: tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN, yang
mengeluarkan KTUN (Vide Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No. 9 Tahun 2004). Atas
alas asas “erga omnes”: tergugat I, tergugat II atau turut tergugat I,turut
tergugat II kalau perlu dapat menjadi saksi yang sangat berkepentingan.
Kekhilafan atau bahkan “ketidakpahaman” atas asas “erga omnes, dalam penyelesaiaan sengketa TUN kiranya menjadi suatu
hal yang sangat memprihatinkan dan mempelajarinya merupakan suatu urgensi bagi
hakim Peradilan Administrasi.
Dengan demikian putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat pihak-pihak
yang bersengketa. Mengikatnya itu disebabkan karena putusan Hakim PTUN
mempunyai watak hukum publik. Atas dasar itu tidak ada alasan apapun bagi pihak
tergugat untuk tidak menjalankan putusan dengan segala kewajiban yang
dibebankan kepadanya.
Menurut Pasal 97 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 putusan Peradilan Tata Usaha Negara pada
dasarnya berupa:
1.
Gugatan
ditolak
2.
Gugatan
dikabulkan
3.
Gugatan
tidak diterima
4.
Gugatan
gugur
Dalam hal gugatan dikabulkan maka
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu akan menyebutkan kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan pihak tergugat (Pasal 97 ayat 8). Pengaturan yang sama
juga disebutkan dalam ayat (9) sampai dengan ayat (11) Pasal 97.
Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi :
1.
Pencabutan
keputusan Tata Usaha Negara yang dinilai merugikan penggugat.
2.
Pencabutan
keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dengan menerbitkan KTUN yang
baru.
3.
Menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
4.
Selain
kewajiban seperti pada nomor 1, 2 dan 3 dapat pula disertakan kewajiban
pemberian rehabilitasi.
5.
Selain
kewajiban berupa nomor 1, 2 dan 3 dapat pula disertai pembebanan ganti rugi.
6.
Apabila
tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebabkan karena suatu perubahan keadaan
yang terjadi setelah putusan itu dijalankan / memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, maka tergugat wajib melaporkan pada Ketua PTUN.
7.
Apabila
dalam waktu 30 hari tergugat tidak dapat menjalankan putusan secara sempurna
maka pihak penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN agar tergugat
dibebani sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan dan dimohon
penggugat.
Pasal
116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan sebagai berikut :
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha
negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan
huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak
setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan
hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis
sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau
sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam Pasal tersebut diatas mengatur upaya-upaya yang ditempuh
oleh penggugat untuk memohon agar tergugat melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang ditetapkan pihak Pengandilan Tata Usaha Negara. Apabila permohonan
penggugat tidak diindahkan, Ketua Pengadilan secara bertahap mengajukan putusan
itu kepada Instansi atasan untuk memerintahkan Badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara bawahannya untuk mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Akan
tetapi jika berbagai upaya yang telah ditempuh itu juga belum membuat tergugat
sadar untuk menaati putusan Peradilan Tata Usaha Negara itu, maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal tersebut kepada Presiden sebagai pemegang Kekuasaan
Pemerintahan Tertinggi.
Upaya-upaya yang ditempuh untuk
memaksakan ditaatinya putusan Peradilan Tata Usaha Negara oleh tergugat secara
ideal, pengaturannya sudah jelas, tegas dan memadai, namun pelaksanaannya
sangat ditentukan oleh kesadaran hukum para tergugat yang dalam hal ini adalah
Badan / Pejabat Tatat Usaha Negara.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain mengatur pula pemberian
kesempatan kepada pihak tergugat untuk memberitahukan kepada Ketua Peradilan
Tata Usaha Negara manakala ia tidak dapat atau tidak sempurna meenjalankan
putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986.
Pasal 117 menentukan sebagai
berikut :
(1)
Sepanjang
mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 97 ayat (11) apabila
tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkab oleh
berubahnya keadaan yang telah terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan
/ atau memperoleh kekuatan hukum tetap, dia wajib memberitahukan hal itu kepada
Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
(2)
Dalam
waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah
mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya.
(3)
Ketua
Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya
persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan
kepada tergugat.
(4)
Apabila
setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata
sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan
dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang
atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5)
Penetapan
Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh
penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.
(6)
Putusan
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua belah
pihak.
Ketentuan dalam Pasal ini memberikan
pengecualian bahwa, apabila tergugat tidak melaksanakaan secara sempurna
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
karena suatu hal diluar kemampuannya maka pihak tergugat tetap dibebani
kewajibannya membayar sejumlah uang atau kompensasi lain. Secara jelas
pengaturan masalah kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. No. 43 Tahun
1991 yang mengatur tentang ganti rugi dan tata cara pelaksanaannya pada
Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam hal putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menyangkut rehabilitasi tidak dapat atau tidak dapat dengan
sempurna dilaksanakan, maka Badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam
tenggang waktu 30 hari sejak diterimanya putusan pengadilan, memberitahukan
perihal tersebut pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus ditingkat
pertama dengan tembusan kepada penggugat (Pasal 9 PP. No. 43 / 1991).
Penggugat dalam tenggang waktu 30
hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar tergugat
dibebani kewajiban untuk membayar kompensasi, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 10 Peraturan Pemerintah yang sama. Besarnya Kompensasi sesuai Pasal 14
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 yaitu antara Rp. 100.000,00 – Rp.
2.000.000,000.
Dengan demikian pengaturan dalam
Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa, pihak tergugat tetap ddibebani
tanggung jawab berupa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam keadaan apapun.
Hal tersebut diatur secara jelas dalam Pasal 9 – 12 dan Pasal 14 Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 1991.
Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986 (Sudah
dihapus) menentukan sebagai berikut :
(1)
Dalam
hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi
kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10)
dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan
selama waktu pemeriksaan sengketa yaang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83
dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan
terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada
tingkat pertama.
(2)
Gugatan
perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan pada saat
sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu
dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, terhadap permohonan perlawanan
itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
(3)
Gugatann
perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya
mengakibatkan ditundanya pelaksananaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut.
Ketentuan Pasal ini ternyata
mengandung kelemahan yang ikut melemahkan pula asas keputusan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang mempunyai kekuatan mengikat (Asas Erga Omnes). Kalau hal ini
terjadi maka akan menimbulkan : “Adanya reformatio in peius yang artinya,
perubahan vonis yang dapat merugikan pihak penggugat / pembading”.[20]
Dan Pada perubahan kedua UU PTUN
Ketentuan ini dihapuskan.
Dalam hukum acara Peradilan
Administrasi yang dapat menjurus kepada
adanya “reformatio in peius”, yakni hakim administrasi justru memberikan
putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum
penggugat, dalam arti dengan putusan hakim administrasi penggugat akan dibawa
kepada situasi yang lebih merugikan baginya daripada keadaan sebelum ia
mengajukan gugatan. Reformatio in peius merupakan konsekuensi terjauh dari
ultra petita yang oleh hakim selalu diupayakan seminimal mungkin. Bahkan di
Belanda, hakim administrasi sedapat mungkin mencoba menghindari reformatio in
peius karena dianggap bertentangan dengan sifat perlindungan hukum dari
Peradilan Administrasi.
Selanjutnya
asas keaktifan hakim memiliki implikasi pada pengujian keabsahan –
“rechtmatiggheidstoetsing”. Berkenaan dengan pengujian keabsahan atas keputusan
organ pemerintahan yang disengketakan, J.B.J.M.ten Berge dalam bukunya yang
berjudul Bescherming Tegen de Overheid :
Stand Van Zaken na invoering van de algemene Wet Bestuursrecht telah
menegaskan :
Voormaamste
karakteristiek van administratieve rechtspraak is dat het primair gaat om de
tostsing van en bepaald besluit zoals dat genomen is door het bestuursorgaan en
niet om een bindende vaststelling van de tussen partijen geldende rechten en
plichten, dus niet on bindende vaststelling van de inhoud van rechtsbetrekking-(karateristek utama
peradilan administrasi adalah menguji besluit tertentu sebagaimana yang telah
dikeluarkan oleh organ pemerintah dan bukan menetapkan hak dan kewajiban para
pihak yang bersengketa, bukan menetapkan hubungan hukum antara pihak-pihak yang
bersangkutan).[21]
Dalam
melakukan pengujian “rechtmatigheid”, apakah hakim administrasi terikat pada
alasan-alasan menggugat-dasar gugatan-“beroepsgronden” yang telah dikemukakan
oleh penggugat ?- Apakah hakim administrasi karena jabatanya dapat melengkapi
sendiri “beroepsgronden” yang bagi hakim sendiri merupakan dasar-dasar pengujian-
“toetsingsgronden” selain yang dikemukakan penggugat ? Bertumpu pada asas
keaktifan hakim : hukum administrasi dalam melakukan pengujian tidak terikat
pada alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat dalam gugatannya. Memang,
sebaiknya penggugat itu merinci sejelas mungkin
alasan-alasan gugatannya, agar hakim administrasi dapat mengerti benar
terhadap alasan-alasan apa saja yang digunakan dalam gugatan. Mungkin sekali
terjadi silang selisih pendapat. Hakim berpendapat bahwa keputusdan organ pemerintah yang disengketakan itu telah
melanggar salah satu dasar pengujian yang justru digunakan sebagai dasar
gugatan yang diajukan oleh penggugat
Surat keputusan berisi suatu izin
(jadi bersifat menguntungkan), namun izin itu disertai persyaratan (yang
memberatkan baginya) dan ia menggugat tentang persyaratan ini. Namun, kemudian
ternyata oleh Pengadilan “beschchikking”nya sendiri (yang dirasakan penggugat
menguntungkan itu) justru dinyatakan sebagai tidak sah sama sekali dan
dibatalkan.
Akankah hakim-hakim Peradilan
Adminisrasi Indonseia “sampai Hati” untuk melakukan “reformatio in peius”,
mengingat diadakannya Peradilan administrasi menurut UU PERATUN justru untuk memberikn perlindungan hukum
kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya
suatu KTUN (penjelasan Umum Angka 1 dan angka 5 UU PERATUN). Apalagi di Belanda
misalnya, hakim administrasi sendiri
sedapat mungkin mencoba menghindari “reformatio in peius” karena dianggap
bertentangan dengn fungsi “rechsbescherming” dari Peradilan Administrasi.[22]
Memang melakukan “ultra petita”
diperbolehkan dan tidak dilarang, sepanjang KTUN yng disengketakan masih dalam
batas wewenang hakim Peradilan Administrasi. Untuk hakim perdata tetap dilarang
melakukan “ultra petita” . Putusan yang memuat “ultra petita” akan dibatalkan
oleh hakim banding atau hakim kasasi. Hakim perdata tersebut akan dinyatakan
salah dalam menerapkan hukum.
Di Indonesia melalui Putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 5 K/TUN/1992 hakim Peradilam Administrasi dapat melakukan “ultra petita”. Persoalannya adalah, apakah putusan tersebut dapat
dijadikan yurisprudensi tetap, sementara peradilan di Indonesia tidak menganut
ajaran precedent? Sepintas, hakim-hakim
Peradilan Admnistrasi bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan
terdahulu. Namun dalam Praktik, hakim-hakim cenderung meniru berbagai yurisprudensi tetap. Kecuali
hal itu didasarkan pada pertimbangan otoritas, juga secara praktis kemungkinan
putusan yang lebih rendah akan dibatalkan Mahkamah Agung kalau tidak mengikuti
yurisprudensi Mahkamah Agung.[23]
Kita lihat saja perkembangan yurisprudensi Peradilan Administrasi nanti
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pembatalaan yang bersifat hukum administrasi terhadap suatu keputusan
pada akhirnya mengarah kesuatu hasil yang lebih negatif bagi seorang penggugat
dibandingkan dengan apa yang dihasilkan keputusan yang asli.
Pada bagian lain Pasal 120
menentukan :
(1)
Salinan
putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirim kepada
penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(2)
Salinan
putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dikirim pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam
waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
(3)
Besarnya
ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut menyebutkan
dengan jelas tentang masalah pemberitahuan pihak Pengadilan Tata Usaha Negara
perihal kewajiban-kewajiban termasuk ganti rugi yang harus dijalankan oleh
pihak tergugat. Dengan mengacu pada Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991, maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara harus
dijalankan oleh tergugat dalam hal ini adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
yang digugat dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara.
B.
Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Tata usaha Negara.
Ada satu hal yang berbeda dalam
pelaksanaan putusan pengadilan ini antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Perdata bahwa tidak seperti dalam proses hukum acara perdata, maka
dalam proses hukum acara TUN ini tidak dikenal yang disebut pelaksanaan serta
merta (executie bij vooraad) dari suatu putusan akhir Pengadilan. Sebab
sebagaimana dikemukakan di atas hanya putusan akhir yang telah berkekuatan
tetap saja yang dapat dilaksanakan. Memang pada suatu saat pertikaiaan/sengketa
hukum itu harus berakhir (Litis Finiri oportet). Apabila sudah tidak ada sarana
upaya hukum biasa lagi yang terbuka, maka putusan Pengadilan (termasuk putusan
dengan acara singkat menurut pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)
tersebut menjadi berkekuatan tetap dan putusan itu dikatakan memperoeh kekuatan
hukum formal.
Sama seperti dalam putusan perkara Perdata
bahwa suatu keputusan TUN maupun putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan tetap itu tidak dapat diganggu gugat lagi. Selanjutnya isi dari
keputusan Tun itu dapat memulai bekerja dan menimbulkan akibat-akibat hukum
seperti yang ditentukan dalam undang-undang. Bekerjanya isi putusan TUN harus
ditaati dan dilaksanakan oleh siapapun juga termasuk oleh Pemerintah sendiri.
Sebab kalau pihak-pihak atau lain-lain Badan atau Jabatan TUN diberi wewenang
untuk menyingkirkan suatu putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan tetap, maka
hal itu praktis akan dapat membahayakan kelangsungan hidup negara kita.
Indroharto untuk menunjukkan dapat
bekerjanya isi dari putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut
digunakan istilah Kekuatan hukum material. Artinya isi instriksik dari putusan
itu selain akan tetap tidak berubah lagi keadaannya, juga secara juridis dapat
bekerja dan menimbulkan akibat-akibat seperti yang ditentukan dalam
undang-undang.[24]
Biasanya akibat-akibat hukum dari bekerjanya
isi dari suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap itu dapat
dibedakan antara [25]
:
a.
Arti
Putusan Pengadilan sebagai suatu Fakta Hukum
b.
Kekuatan
Pembuktian putusan Pengadilan sebagai Akta Otentik
Menurut pasal 1868
KUHPdt dan seterusnya, suatu akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna terhadap para pihak dan ahli warisnya serta bagi mereka yang
mempeoleh hak dari mereka;
Dalam prosedur di
muka Lingkungan Pengadilan yang lain, putusan Pengadilan TUN ini juga memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam arti sebagai suatu fakta hukum bahwa
perkara yang bersangkutan menurut putusan itu telah diputuskan demikian.
Sedang apakah
mengenai fakta-fakta serta hukumnya yang menjadi dasar pertimbangan dalam
putusan itu juga mengikat dalam proses Lingkungan Pengadilan yang lain tersebut
adalah merupakan persoalan mengenai kekuatan hukum dari putusan Pengadilan TUN.
c.
Kekuatan
Mengikat dari Putusan Hakim TUN
Kekuatan hukum dari
putusan Pengadilan TUN bagi Hakim Perdata itu dalam garis-garis besarnya tampak dalam
situasi-situasi dimana dalam suatu proses perdata :
1.
Hakim
Perdata tersebut diminta oleh pihak-pihak yang pernah bersengketa dimuka di
muka Pengadilan TUN untuk memutuskan pokok sengketa mereka yang pernah diputus
oleh Pengadilan TUN tersebut. Menghadipi keadaan demikian, Hakim Perdata tentunya akan mengaggap berlakunya
asas umum mengenai “ne bis in idem”, karena hubungan hukum yang disengketakan
itu telah diputuskan dalam suatu putusan Hakim TUN yang berkekuatan tetap yang
tentunya tidak dapat diubah atau
diganggu gugat lagi melalui suatu prosedur hukum yang terbuka bagi pihak-pihak,
kecuali kalau terdapat suatu nova.
2.
Hakim
Perdata tersebut diminta oleh pihak-pihak yang belum pernah bersengketa di muka
Pengadilan TUN untuk memutuskan hal yang pernah diputus oleh Pengadilan TUN
tersebut. Mengingat suatu Putusan Pengadilan TUN itu juga bersifat hukum
publik, maka hal yang sudah diputuskan oleh Hakim TUN dan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap juga akan dihormati oleh Hakim Perdata.
Di sini letak perbedaan kekuatan
hukumnya antara kedua putusan Pengadilan. Berbeda dengan putusan Hakim Perdata yang hanya berlaku
mengikat bagi pihak-pihak yang
bersengketa, maka putusan Hakim TUN yang sudah berkekuatan itu berlaku bagi
siapa pun juga.
3.
Hakim
Perdata oleh pihak-pihak yang belum pernah bersengketa diminta untuk memutuskan suatu hal yang mereka
sengketakan menurut jurisprudensi yang
pernah terjadi dlam hukum acara TUN. Dalam menghadapi hal demikian, Hakim
Perdata tetap akan memperhatikan jurisprudensi yang pernah ada tersebut, namun
apabila terdapat dasar-dasar yang lebih maton, mengiangat kemungkinan telah
terjadinya perubahan situasi, perubahan peraturan perundangan-undangan maupun
possisi-posisi hukum dari pihak-pihak yang bersangkutan, ia masih leluasa untuk
menyimpang dari jurusprudensi yang pernah aada tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas bahwa putusan pengadilan Perdata yang telah
berkekuatan tetap itu pada dasarnya hanya mengikat (berlaku antara) para pihak yang bersangkutan, maka putusan pengadilan TUN
yang telah berkekuatan tetap ini, pada
dsarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum publik dan karena itu berlaku juga bagi
pihak-pihak di luar yang bersengketa (erga omnes). Akan tetapi ada juga putusan-putusan Hakim Perdata yang
bersifat hukum publik, seperti putusan mengenai status seseorang, perceraian
,kepailitan dan sebagainya, juga memiliki daya
berlaku di luar para pihak yang bersangkutan.
Keputusan-keputusan TUN (termasuk
keputusan yang dikeluarkan dalam proses
banding administratif) yang merupakan penetapan pun juga dapat memiliki daya
berlaku bagi pihak ketiga; umpama kalau pihak pemegang izin mendapat kesulitan
dari pihak ketiga, maka izin yang dipegangnya dapat ia tunjukkan kepadanya.
Kekuatan yang serupa juga dimiliki
oleh keputusan-keputusan TUN yang merupakan pelaksanaan putusan Pengadilan TUN yang dibebankan kepada Badan atau Jabatan TUN yang
bersangkutan berdasarkan pasal 97 ayat 8 dan 9.
d.
Kekuatan
Eksekutorial
Yang di maksud dengan
eksekusi putusan pengadilan adalah
pelaksanaan putusan Pengadilan
oleh atau dengan bantuan phak .
Dalam hukum acara
perdata sebagaimana telah dikemukakan membedakan-bedakan antara :
1.
eksekusi
putusan untuk :
a.
membayar
sejumlah uang; dan
b.
menyerahkan
suatu barang, atau untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu ; dengan
2.
sarana-sarana
yang tersedia untuk melaksanakan suatu putusan yang :
a.
bersifat
langsung yang berupa :
1.
kuasa
yang diberikan Hakim untuk membatalkan sesuatu yang sebernarnya tidak boleh
dilakukan (pasal 1240) KUHPdt);
2.
kuasa
dari hakim untuk melakukan sesuatu oleh
pihak ketiga atas beban pihak Tergugat (1241 KUHPdt);
3.
eksekusi
oleh jurusita;
4.
penyitaan
yang diikuti dengan pelelangan di muka umum;
5.
suatu
putusanyang menggantikan akte atau pernyataan pihak terhukum
b.
bersifat
tidak langsung, berupa :
1.
penyaderaan
dan
2.
pembebanan
uang paksa.
Semua
pelaksanaan putusan yang tidak berupa uang paksa itu dapat disebut eksekusi
rieel.
Mengenai eksekusi putusan Pengadilan
Tun ini kita akan keliru kalau berpendapat, bahwa pengertian eksekusi dalam hal
itu diartikan sebagai eksekusi secara
riel seperti pada putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan dengan bantuan
pihak luar dari para pihak sendiri. Sebab eksekusi secara riel terhadap
pemerintah itu merupakan hal yang mustahil dapat terjadi. Tidak mungkin terhadap pemerintah itu diterapkan tindakan
upaya paksa agar secara pribadi melakukan sesuatu prestasi yang telah
diptuskan dalam suatu putusan
pengadilan.
Sarana-sara
seperti yang diberikan oleh hukum secara acara perdata yang mungkin terhdap
pemerintah sebenarnya hanya sarana tidak
langsung yang berupa pembebanan uang paksa. Tetapi sayang hal itu tidak dikenal
dalam undang-undang Peradilan TUN ini.
Umpama
hal itu dapat diterapkan pun, harus tetap diingat, bahwa :
1.
Hanya
benda yang digunakan untuk kepemtingan umum itu tidak dapat diletakkan dalam
suatu sitaan eksekusi ;
2.
Memperoleh
kuasa untuk melaksanakan sendiri atas
beban pemerintah (pihak tereksekusi)
akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan,
bahwa berbuat atau memutuskan sesuatu
berdasarkan oleh Badan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.
Merampas
kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintah sebagai sarana
paksaan akan berakibat pantyulan-pantilan yang hebat terhadap jalannya
pemerintahan ;
4.
Pemerintah
itu sendiri selalu dianggap dapat dan mapu membayar (solvabel);
Dengan
demikian secara singkat dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan
TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pun di waktu yang akan
datang menurut undang-undang tidak selalu akan semudah yang diharapkan.
Dalam Kenyataannya nanti kelancaran jalannya eksekusi putusan-putusan
Pengadilan TUN akan sikap dan perilaku dari seluruh jajaran pemerintahan sendiri
yang juga ikut bertanggung jawab akan kelangsungan kehidupan yang mantap dari
negara hukum kita.
Hal
itu disebabkan karena Pembuat Undang-undang kita dalam Undang-undang ini,
sebagimana tampak pada pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan seterusnya
baik dalam perubahan atau tidak dilakukan perubahan materi undang-undangnya,
belum sampai hati untuk memberikan posisi yang lebih kuat kepada para pencari
keadilan dengan pengaturan ketentuan-ketentuan dalam bidang eksekusi yang lebih
efektif bagi para pencari keadilan dari yang ada sekarang.
C. Tindak Lanjut Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara
Menurut
pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 putusan Pengadilan itu dapat
berupa :
1.
gugatan
ditolak : dalam hal demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut;
2.
gugatan
tidak diterima : dalam hal demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut;.
3.
gugatan
dinyatakan gugur : juga dalam hal
demikian itu tidak akan diperlukan tindak lanjut.
4.
gugatan
dikabulkan :
Dikabulkannya
gugataan itu berupa pembatalan untuk
seluruhnya atau sebagian dari keputusan TUN yang digugat.
Selanjutnya
menurut ketentuan pasal 97 ayat 8 dikatakan, bahwa dalam gugatan dikabulkan,
maka dalam putusan Pengadilan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN yang
mengeluarkan keputusan. Dan kewajiban
tersebut dapat berupa :
1. Pencabutan Keputusan yang digugat :
2. Pencabutan Keputusan yang Digugat dan
Menerbitkan Keputusan Baru.
Keadaan ini dapat
terjadi umpama dalam kasus dimana gugatan itu oleh Pengadilan dikabulkan untuk
sebagian :
-
Suatu
izin telah dicabut untuk satu tahun lamanya. Pengadilan berpendapat itu tidak
masuk akal lalu diputuskan bahwa pencabutan itu hanya akan berlaku untuk 6
bulan saja. Atas dasar putusan Pengadilan tersebut, Tergugat lalu mencabut
keputusan semula dan menerbitkan keputusan yang baru sesuai dengan yang
diputuskan oleh Pengadilan.
Contoh
lain :
-
Penggugat
menggugat sutu Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak sebesar 2 juta
rupiah; dan Pengadilan berpendpat
Tagihan atau ketetapan Pajak itu seharusnya tidak lebih dari Rp 800.000,- saja.
Atas dasar putusan Pengadilan tersebut Tergugat lalu mencabut keputusan
Ketetapan Pajak semula dan menerbitkan keputusan Ketetapan Pajak yang baru di
mana jumlah Ketetapan Pajak 2 juta rupiah diubah menjadi Rp 800.000,-
-
Tergugat
telah menolak suatu permohonan izin usaha yang dimohon oleh A; Setelah diajukan
gugatan, Pengadilan memutuskan dengan memerintahkan Tergugat agar
menerbitkan izin yang dimohon A yang
kemudian dilaksanakan Tergugat.
3.
Penerbitan Keputusan dalam hal Gugatan
yang didasarkan pada Pasal 3 Dikabulkan.
Hal ini dapat terjadi
pada kasus dimana tergugat itu sama sekali tidak berbuat apa-apa, artinya tidak
mengeluarkan keputusan TUN yang di mohon. Setelah sikap demikian itu
digugat, Pengadilan memutuskan keputusan
TUN yang dimohon tersebut.
Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa Pengadilan TUN sendiri tidak berwenang untuk mengeluarkan
sesuatu keputusan TUN sendiri yang
diperlukan dalam suatu kasus. Karena itu exclusievely merupakan wewenang Pemerintah di mana di dalamnya
mengandung diskreasi yang besar mengenai isi dan bentuk keputusan yang akan
dikeluarkan. Jadi akhirnya putusan Pengadilan itu masih harus dilaksanakan oleh
pemerintah.
Demikian juga dalam
hal suatu keputusan TUN yang telah dibatalkan itu harus dihapuskan (lihat pada
kemungkinan pada kasus A tersebut di
atas ), di mana dalam hal itu keputusan TUN yang dinyatakan batal itu masih harus dicaabut
dalam diktum putusan Pengadilan hanya memuat pemerintah agar keputusan TUN yang
disengketakan dan dinyatakan tidak sah itu dicabut.
Dalam pasal 116 ayat 2 ada
ditentukan, bahwa :
Apabila
setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
Dengan demikian apabila pemerintah
yang telah diputuskan dan dimuat dalam diktum putusan Pengadilan itu tidak
ditaati atau tidak dilaksanakan oleh Tergugat, Undang-Undang sendiri telah
menyatakan bahwa keputusan TUN yang disengketakan setelah 6 bulan yang tidak dilaksanakan tidak mempunyai
kekuatan hukum gugat.
Tetapi Pasal 116 ayat 2 tersebut tidak
menampung pelaksanaan dari kasus di mana Tergugat dibebani kewajiban untuk
mencabut keputusanTUN yang bersangkutan dibebani kewajiban untuk mencabut keputusdan TUN yang bersangkutan dan
menerbitkan keputusan yang baru. Sebab dalam kasus bersangkutan dan menerbitkan
harus menerbitkan keputusan yang baru. Dengan hilangnya Keputusan yang
lama yang telah dibatalkan saja
sebenarnya belum cukup. Seperti halnya bukanlah suatu keputusan Tata Usaha
Negara yang sebenarnya, tetapi suatu penolakkan fiktif. Juga dalam sebuah kasus
untuk pasal 116 ayat 2 tidak ada penampungannya.
Lalu bagaimanakah kita memperoleh
kepastian dilaksanakannya putusan Pengadilan apabila dalam kasus-kasus tergugat
itu tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Apakah jaminannya, bahwa keputusan TUN yang diperintahkan untuk dikeluarkan, akhirnya dikeluarkan juga ?
Mengenai kesulitan tersebut pasal
116 ayat 3 sampai dengan ayat 6 yang menjawab secara singkat adalah sebagai
berikut :
1.
Penggugat
memohon kepada Ketua Pengadilan agar Tergugat diperintahkan melaksanakan
putusan yang telah tetap tersebut.
2.
Jika
perintah Ketua Pengadilan tersebut tetap tidak dihiraukan, maka Ketua Pengadilan
mengajukan hal itu kepada atasan tergugat :
3.
Dalam
waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan itu, atasan tersebut seharunnya
udah memrintahkan kepadaa Tergugat agar
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
4.
Kalau
instansi atasana tersebut juga tidak mengindahkan permintaaan Ktua Pengadilan tersebut, maka
Ketuan Pengadilan akan mengajukan
persoalannya kepada Tergugat atau pejabat yang dibebani kewajiban dalam putusan
yang bersangkutan.
Memang sungguh diharapkan, agar prosedur
terakhir tersebut jangan sampai berulang di waktu yang akan datang Sebab kalau
selalu harus lewat perintah Presiden sudah tentu tidak dapat diharapkan hal itu
dapat selesai dalam waktu yang singkat. Lebih-lebih kalau prosedur tersebut akhirnya tidak
membawa hasil apa-apa, maka tidak tahulah
kemana yang menang itu harus mengadu.
Pembebanan kewajiban dalam putusan
Pengadilan TUN itu mungkin sekali disertai
:
1.
tenggang
waktu penerbitan keputusan TUN yang baru;
2.
ketentuan
dalam diktum putusan, bahwa akibat-akibat yang telah terjadi dibiarkan tidak
diubah keadaannya (gedektverklaring van de gevolgen);
3.
penetuan
besarnya ganti rugi (ayat 10) di mana prosedur pelaksanaannya diatur dalam pasal 120 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.
Dan apabila putusan akhir Pengadilan itu menyangkut kepegawaian, maka
di samping pembebanan kewajiban-kewajiban tersebut di atas masih dapat disertai
pemberian rehabilitasi kepada pegawai yang telah dikenakan keputusan yang telah
dibatalkan itu.
Jadi yang sebenarnya memerlukan
eksekusi adalah kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat atau Badan
atau Jabatan TUN yang mengeluarkan
Keputusan TUN seperti yang diatur dalam paal 97 ayat 8 dan ayat-ayat 9, 10 dan
11 tersebut.
Mengenai eksekusi
kewajiban-kewajiban yang dibebankan tersebut perlu diberi beberapa catatan
sebagai berikut :
1.
Badan
atau Jabatan TUN yang melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan keputusan TUN
baru tersebut dalam ayat 9 itu harus memperhatikan seluruh putusan Pengadilan
yang memerintahkan dikeluarkan surat Keputusan TUN olehnya.. Untuk itu perlu diperhatikan dasar pembatalan yang
diterapkan oleh Pengadilan. Apabila ternyata ada cacad formal pada keputusan
yang lama, maka cacat-cacat formal (umumnya mengenai prosedur pembentukkannya)
tersebut harus diperbaiki pada waktu
menerbitkan keputusan yang baru. Dalam hal itu keputusan yang lama itu
dinyatakan mengandung cacad yang bersifat
material, harus diperbaiki dengan dasar-dasar yang baru pula.
2.
Apabila
dalam putusan Pengadilan yang membatalkan itu ditentukan tenggang waktu
menerbitkan keputusan TUN yang baru, maka normalnya tenggang tersebut juga
harus ditaati.
3.
Apabila
Pembatalan itu diikuti dengan ketentuan, bahwa akibat-akibat yang telah terjadi
dari keputusan TUN yang dibatalkan itu tidak perlu diadakan perubahan apa-apa,
maka dalam hal suatu keputusan yang baru. Ada kemungkinan di situ diganti
dengan pemberianganti
kerugian/kompoensasi.
4.
Apabila
dalam keputusan ditetntukan adaanya ganti rugi maka prinsipnya ganti rugi
tersebut harus dibayar menurut prosedur yang diatur dalam pasal 120. Menurut
ayat 3 dari pasal 120 besarnya ganti rugi serta cara pelaksanaannya akan
diatur dalam Peraturan Penerintah.
Peraturan Pemerintah tentang penetapan
besarnya ganti rugi/kompensasi dan tata cara pelaksanaan tersebut diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut
ditentukan bahwa ganti rugi yang dapat
diputuskan oleh Pengadilan adalah antara Rp 250.000, dan Maximum Rp 5 juta rupiah. Sedang pembebanan
kompensasi yang berbentuk sejumlah uang
dalam hal rehabilitasi di bidang kepegawaian
tidak dapat dilaksanakan dapat dijatuhkan antara Rp 100.000,- sampai
maksimum Rp 2 juta.
Perlu dicatat bahwa dengan adanya Peraturan
Pemerintah tersebut tidak berarti kemungkinan pengajuan gugatan ganti rugi ke
hakim Perdata berdaar pasal 1365 KUHPdt sudah tertutup.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah
tersebut dibedakan antara Badan atau Jabatan (pejabat) TUN di tingkat Pusat, di
tingkat Daerah dan lainnya yang merupakan lembaga swsata yang berkedudukan
sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena ia melaksanakan suatu urusan pemerintah
dibebani kewaji ban memberi ganti rugi/rehabilitasi. Apabila yang dibebani
ganti rugi/kompensasi itu suatu Badan atau jabatan TUN di tingkat maka hal itu dibebankan pada APBN yang
pelaksanaan tata cara pembayarannya diatur pada dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1129/KMK.01/1991.
Sedangkan apabila yang dibebani membayar
ganti rugi/kompensasi itu Badan atau Jabatan TUN Daerah, maka hal itu
dibebankan kepada APBD yang pelaksanaannya akan diatur oleh Menteri Dalam
Negeri. Namun Keputusan Mendagri itu
sampai pada saat ini belum keluar. Apabila yang dibebani membayar ganti rugi
itu suatu badan swasta, maka hal itu sepenuhnya dibebankan kepada badan swasta
yang bersangkutan. Pengaturan pelaksanaannya tentunya harus ditentukan
kasus demi kasus oleh Pengadilan sendiri
dalam rangka eksekusi putusannya. Untuk itu diharapkan adanya yurisprudensi
dari Mahkamah Agung.
Pelaksanaan
pembebanan kewajiban untuk menerbitkan keputusan baru (ayat 9 sub b dan
c) baik sebagai pengganti dari keputusan
yang telah dibatalkan, maupun sebagai pengganti dari keputusan fiktif negatif
(gugatan berdasarkan pasal 3) yang telah dibatalkan sudah tentu harus dilakukan
dengan memperhatikan pertimbangan yang tentu harus dilakukan dengan
memperhatikan pertimbangan yang disebutkan dalam putusaan Pengadilan yang telah
melakukan pembatalaan tersebut. Di sampig itu harus diingat, bahwa pada saat keputusan pengganti itu dikeluarkan, Badan
atau Jabatan TUN yang berkewajiban mengeluarkan itu juga tidak dapat melepaskan
diri dari keharusan untuk memperhatikan kemungkinan-kemungkjianan telah
terjadinya perubahan-perubahan mengenai keadaan, peraturan hukum maupun posisi-posisi
hukum serta pertimbangan-pertimbangan kebijaksanaan yang telah terjadi
dilakukannya semenjak keputusan yang
lama dibatalkan. Sehingga karenanya mungkin sekali Tergugat dalam memenuhi
kewajiban yang dibebankan kepadanya tersebut dengan mengeluarkan kewajibana
yang dibebankan kepadanya tersebut dengan mengeluarkan keputusan baru itu tidak
100 % sama dengan keputusan yang diminta
atau diharapkan oleh Penggugat dengan gugatannya yang telah berhasil tersebut.
Apabila hal-hal demikian itu benar dialami Tergugat
maka Tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan setempat.
III. IMPLEMENTASI
PUTUSAN
A. Tolak
Ukur Hasil Putusan
Pada
pelaksanaannya Peradilan Tata Usaha Negara, perlu diketahui dalam ranah
hukumnya atas adanya hal yang disebut implementasi tidak menghasilkan keinginan
dari para pihak yang berpekara, sebagai berikut:
1. tergugat
benar memenuhi kewajibannya dengan menerbitkan keputusan pengganti, tetapi yang menurut Penggugat tidak sesuai dengan yang dimaksudkan dalam
putusan Pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal ini Penggugat harus mengajukan
gugatan baru sehingga besar kemungkinannya nanti jalannya pemeriksaan akan serupa dengan yang
pernah terjadi;
2. tergugat memberitahukan kepada Ketua
Pengadilan maupun penggugat, karena
telah terjadi perubahan-perubahan mengenai fakta-fakta maupun keadaan atau
kebijaksanaan yang akan sesuai dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan
putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Agar maksud Penggugat bisa tercapai, maka satu-satunya jalan adalah ia harus
mengajukan gugatan terhadap keputusan
baru tersebut.
3. apabila hal ini terjadi dalam perkara
kepegawaian, di mana tergugat dibebani
kewajiban untuk melakukan rehabilitasi terhadap Penggugat, tetapi
karena telah terjadinya perubahan keadaan Tergugat tidak dapat melakukan
rehabilitasi bagi Penggugat yang bersangkutan, maka menurut paal 117 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, penggugat harus memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan
yang bersangkutan dan kepada penggugat.
Dalam waktu tiga puluh hari setelah itu Penggugat dapat mengajukan permohonan
kepadaa Ketua Pengadilan agar Tergugat itu dibebani kewajiban untuk membayar
sejumlah uang atau kompensasi lain kepadanya. Setelah permohonan Penggugat itu
diterima oelh Ketua Pengadilan, kedua pihak akan dipanggil untuk mengadakan
musyawarah dan mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau
kompensasi lain yang dibebankan kepada
tergugat. Apabila setelah diusahakan harus mencapai persetujuan tetapi tidak
diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atao kompensasi tersebut, maka
jumlah uang atau kompensasi ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dalam suatu
penetapan yang disertai dengan pertimbangan yang cukup. Terhadap Ketua
Pengadilan tersebut oleh pihak-pihak
dapat diajukan keberatan kepada Makamah Agung. Petusan makamaah Agung
mengenai hal itu wajib ditaati oleh kedua pihak. Artinya tidak terbuka upaya
hukum apa pun untuk menentang.
4. tergugat tidak memberitahukan apa-apa dan ia
juga tidak mengeluarkan keputusan baru dalam batas waktu 3 bulan setelah
putusan Pengadilan itu berkekuatan tetap.
Menghadapi keadaan demikian itu Penggugat harus memberitahukan kepada Ketua
Pengadilan yang bersangkutan dengan
permintaan agar kepada Tergugat diperintahkan untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Jadi
pada prinsipnya diharapkan tergugat itu dengan sukarela dalam tenggang
waktu 3 bulan tersebut melaksanakan putusan Pengadilan yang bersangkutan. (pasal
116 ayat 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009). Setelah tenggang waktu 3 bulan
tersebut lewat, barulah Tergugat
tersebut dapat dikatakan telah lalai tidak melaksanakan putusan Pengadilan yang
bersangkutan. Jika Tergugat masih tetap
tidak mau maelaksanakannya Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada Instansi atasannya (pasal116 ayat 4).
Dalam waktu dua bulan setelah instansi
atasannya menerima pemberitahuan Ketua Pengadilan tersebut, maka ia dianggap
telah memerintahkan keputusan yang merupakan pelaksanaan putusan Pengadilan
yang dimaksud.
Apabila instansi atasan tersebut tidak
mengindahkan pemberitahuan Ketua Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan
harus mengajukan hal itu kepada Presiden. Untuk dapat mengetahui bahwa instansi atasan yang diminta
memerintahkan oleh Ketua Pengadilan, tentunya hal itu hanya dapat disimpulkan
dari lewatnya waktu yang layak setelah surat pemberitahuann Ketua Pengadilan
itu dikirimkan kepadanya. Saya rasa setelah lewat waktu 3 bulan ternyata masih
ada berita bahwa kewajiban itu belum dilaksanakan oleh tergugat barulah ,Ketua
Pengadilan dapat menyampaikan hal itu kepada Presiden. Kemungkinan juga bisa
terjadi yang tetap mau mengindahkan adalah tergugat sendiri.
Dari prosedur pelaksanaan tersebut sekali lagi tampak,
bahwa pada akhirnya tuntas tidaknya atau
efektif tidaknya pelaksanaan tugas Pengadilan ini pada dasarnya masih
digantungkan kepada kesadaran, kesukarelaan, tanggung jawab, sikap dan perilaku
dari seluruh jajaran Pemerintah
sendiri.
B. Upaya Pelaksanaan Putusan
Sebagaimana dikemukakan di atas
bahwa pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat dipaksakan,
karena tidak mempunyai alat pemaksa. Sehingga banyak putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara hanya menjadi putusan di atas kertas tanpa dapat diwujudkan dalam
kenyataan. Hal ini tentunya mengusik rasa keadilan masyarakat, karena buat apa
bersusah-susah beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara jika pada akhirnya
tidak bias dilaksanakan. Untuk mencari bagaimana jalan terbaik untuk
menyelesaikan persoalan ini, sebaiknya kita perbandingkan dulu dengan eksekusi
pada Hukum Acara Perdata.
Eksekusi putusan perkara perdata
ialah pelaksanaan putusan Pengadilan yang dalam amar putusannya bersifat
menghukum (condemnatoir) dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde). Eksekusi putusan tersebut memerlukan bantuan dari
pihak yang dikalahkan, artinya pihak yang bersangkutan harus dengan suka rela
melaksanakan putusan itu. Melaksanakan putusan berarti memenuhi kewajiban untuk
berprestasi seperti yang dibebankan oleh Pengadilan lewat putusannya.
Apabila ternyata pihak yang
dikalahkan lalai atau tidak mau dengan suka rela melaksanakan putusan
Pengadilan itu, maka dengan alat-alat yang diperbolehkan undang-undang pihak
yang dimenangkan berhak memaksa pihak lawannya guna melaksanakan putusan
Pengadilan itu. Hal ini memang sudah selayaknya, karena kalau tidak
dimungkinkan untuk memaksa pihak yang dikalahkan, maka peradilan tidak ada
gunanya. Dalam hal ini pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya agar melakukan eksekusi.
Jadi yang berhak mengajukan
permohonan eksekusi putusan perkara perdata ialah pihak yang dimenangkan.
Permohonan eksekusi itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa
dan mengadili perkaranya, baik secara lisan maupun secara tertulis. Untuk itu
Ketua Pengadilan Negeri menyuruh memanggil pihak dikalahkan agar datang
menghadap untuk diberi peringatan, supaya dalam tempo selambat-lambatnya
delapan hari melaksanakan putusan Pengadilan itu (aanmaning).
Dengan demikian, maka pada
hakekatnya eksekusi adalah suatu tindakan dari Pengadilan Negeri dalam
melaksanakan isi putusannya atas permohonan pihak yang dimenangkan, karena
tidak bersedianya pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan sendiri isi putusan
tersebut dengan sukarela.
Sebagai dasar hukum eksekusi putusan
Pengadilan dalam perkara perdata telah diatur ketentuannya dalam HIR untuk
daerah Jawa dan Madura dan oleh RBG untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa dan
Madura, atau lebih jelasnya terdapat dalam pasal-pasal 195 sampai dengan 208
HIR yang isinya sama dengan pasal-pasal 206 sampai dengan 241 RBG. Mengenai
pasal 209 sampai dengan 222 HIR/pasal 242 s/d 256 RBG sebenarnya termasuk Bab
tentang eksekusi ini juga, namun khusus tentang sandera (gijeling) telah
dibekukan oleh SEMA No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964 dan SEMA No. 04/1975
tanggal 1 Desember 1975. dibekukan berarti pasal-pasal dalam HIR dan RBG yang
mengatur tentang sandera tersebut tidak diberlakukan lagi dalam praktek
peradilan. Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa sandera itu
bertentangan dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam falsafah
negara Pancasila, dengan mengingat pasal-pasal 33 ayat 4 Undang-undang No.
14/1970 (tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menentukan: “Dalam
melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan
perikeadilan tetap terpelihara.[26]
Pasal
196 HIR menentukan :
“Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu
dengan damai, maka pihak menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun
dengan surat, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama
pasal 195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, suoaya ia memenuhi isi putusan itu didalam
tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.[27]
Sedangkan
pasal 207 RBG berbunyi :
1.
Jika
orang yang dikalahkan itu tidak mau atau lalai akan mencukupi dengan baik bunyi
Keputusan itu, maka haruslah yang dimenangkan itu memasukkan permintaan baik
dengan mulut, baik dengan surat, akan menjalankan keputusan itu, yaitu kepada
voorzitter Lndraad yang dimaksud dalam ayat pertama pasal diatas.
2.
voorzitter
atau magistraat yang dikuasakan menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu
serta memberi nasihat kepadanya, akan mencukupi keputusan itu didalam tempo
yang akan ditentukan oleh voorzitter atau magistraat itu, yang selama-lamanya
delapan hari.[28]
Eksekusi putusan Pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan/permohonan
pihak yang dimenangkan baik secara lisan maupun tertulis kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Permintaan itu diajukan oleh pihak yang
dimenangkan oleh karena pihak lawannya lalai atau tidak mau untuk memenuhi isi
putusan tersebut secara sukarela.
Tidak semua putusan Pengadilan dalam
perkara perdata itu memerlukan permintaan dari pihak yang dimenangkan untuk
dieksekusi. Putusan Pengadilan dalam perkara perdata yang dapat dan perlu
dimintakan eksekusinya oleh eksekutan, adalah putusan yang mengandung perintah
kepada pihak yang dikalahkan untuk melakukan suatu perbuatan hukum (bersifat
condemnatoir). Misalnya antara lain :
1.
menyerahkan
suatu barang,
2.
mengosongkan
sebidang tanah,
3.
melakukan
suatu perbuatan tertentu,
4.
menghentikan
suatu perbuatan/keadaan,
5.
membayar
sejumlah uang.[29]
Jadi hukum eksekusi itu mengatur
tentang tata cara dan persyaratan yang dipergunakan oleh alat-alat Negara untuk
membantu pihak yang berkepentingan guna memaks pihak yang dikalahkan agar
menjalankan putusan Pengadilan. Hal ini dilakukan apabila pihak yang dikalahkan
lalai atau tidak bersedia secara suka rela untuk memenuhi isi putusan Pengadilan
itu dalam waktu yang telah ditentukan. Dan sebagai dasar hukum eksekusi
terdapat didalam HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan dalam RBG untuk
daerah-daerah diluar pulau Jawa dan Madura.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa
eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu dimulai dari permohonan
eksekutan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negerim baik secara lisan
maupun tertulis. Atas dasar permohonan ini maka Ketua Pengadilan Negeri lalu
membuat Surat Penetapan untuk memanggil pihak yang dikalahkan untuk diberi
peringatan atau teguran (aanmamaning) agar dalam tempo selambat-lambatnya
delapan hari memenuhi isi putusan Pengadilan itu secara sukarela (pasal 196
HIR/pasal 207 RBG). Apabila pihak yang dikalahkan tetap lalai atau tidak mau
melaksanakan putusan itu secara sukarela, maka barulah eksekusi putusan
Pengadilan dalam perkara perdata sesungguhnya dimulai.
Perlu dikemukakan, bahwa putusan
Pengadilan dalam perkara perdata yang dapat dimintakan eksekusinya oleh eksekutan,
harus memenuhi syarat-syarat:
1.
putusan
(vonnis) yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van
gewijsde), termasuk pula didalamnya putusan perdamaian;
2.
putusan
(vonnis) yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi berisi
segera dilaksanakan walaupun pihak yang dikalahkan verzet, banding atau kasasi
(uitvoer baar bij voorrad) ;
3.
putusan
(vonnis) provisioneel, yaitu putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata
yang mengandung untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebelum pokok
perkaranya selesai diputus.
Disamping
itu, dalam melakukan eksekusi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
putusan
harus berisi pengabulan gugatan, baik sebagian ataupun seluruhnya;
2.
telah
diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan, bahwa ia tidak akan atau belum
memenuhi isi putusan yang diperintahkan kepadanya;
3.
telah
ada permohonan dari pihak yang dmenangkan agar Pengadilan menjalankan eksekusi
putusan tersebut;
4.
pengadilan
telah melaksanakan aanmaning terhadap pihak yang dikalahkan dimana Ketua
Pengadilan Negeri telah memperingatkannya agar memenuhi isi putusan secara
sukarela;
5.
waktu
yang disediakan oleh Pengadilan Negeri bagi pihak yang dikalahkan untuk
memenuhi isi putusan secara sukarela telah lewat dari delapan hari setelah
aanmaning atau setelah lewat batas waktu yang diberikan olrh Ketua Pengadilan
Negeri.
Dengan memperhatikan hal-hal yang
disebutkan diatas, maka tindakan eksekusi putusan dapat dilakukan oleh pihak
Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa dan mengadili perkara perdata yang
bersangkutan.
Setelah
dalam tempo delapan hari (seperti yang dimaksudkan oleh pasal 196 HIR/207 RBG)
putusan itu tidak juga dikalankan oleh pihak yang dikalahkan, atau setelah
dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap, maka Ketua Pengadilan
Negeri yang karena jabatannya (lihat pasal 195 ayat 1 HIR/206 ayat 1 RBG)
membuat Surat Penetapan Eksekusi (Beschiking). Oleh panitera atau juru sita
yang dibantu oleh dua orang saksi dibawa ketempat penyitaan atau lokasi dimana
eksekusi harus dilakukan. Disana panitera atau jurusita memperlihatkan Surat
Penetapan Eksekusi kepada pihak-pihak ataupun kepada penjabat setempat yang
bersangkutan. Berdasarkan Surat Penetapan itu petugas eksekusi bertindak
sebagai penjabat umum (openbare amtennar, publik officer) yang menurut
peraturan hukum diwajibkan melakukan suatu jabatan umum. Oleh karenanya barang
siapa yang menentangnya dengan kekerasan, ataupun mengancamnya dapat dihukum
menurut pasal 211-214 KUHP.[30]
Seharusnya menurut ketentuan dalam
pasal 195 HIR/206 RBG, pimpinan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara
perdata adalah Ketua Pengadilan Negeri atau voorzitter van den Landraad
setempat. Akan tetapi mengingat perkembangn Pengadilan Negeri, baik jumlah
maupun fungsinya maka kedudukan Ketua Pengadilan Negeri sebagai voorzitter van
den Landraad sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Hal ini dapat dikemukakan
jika ditinjau dari kedudukan Pengadilan Negeri dari sejarahnya, maka akan dapat
dipahami dimana kedudukan voorzitter van den Landraad sebagai satu-satunya
hakim yang ada ditiap Pengadilan Negeri. Tetapi dalam perkembangan Pengadilan
Negeri itu sendiri, baik dari fungsi maupun jumlahnya maupun hakim-hakimnya
disesuaikan dengan pasal 17 ayat 3 UU No. 4/2004 yang menentukan, bahwa diharuskan
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara sedikit-dikitnya oleh 3 (tiga)
orang Hakim (Majelis Hakim). Lebih-lebih jika diingat, bahwa disamping
kedudukannya sebagai Ketua Pengadilan, yang juga sebagai seorang Hakim yang
memeriksa dan mengadili suatu perkara, saat ini kedudukan hakim tidak lagi mempunyai
kedudukan sebagai Penasehat Hukum Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) seperti
yang ditentukan oleh pasal 25 UU No. 14/1970 karena telah digantikan ketentuan
tersebut sebagaimana Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2004 dialihkan total kepada
Mahkamah Agung.
Dengan demikian dalam hal keadaan
yang memaksa Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegeer wewenangnya suatu
pimpinan eksekusi kepada Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara perdata
tersebut, atau kepada salah seorang hakim yang dipandang mampu untuk mengemban
tugasnya itu. Hal ini juga berdasarkan kepada pertimbangan, bahwa keberhasilan
eksekusi akan lebih terjamin sepanjang Ketua Pengadilan itu sendiri tidak
menjadi Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara perdata itu.
Di
dalam ketentuan yang diatur oleh pasal 57 dan pasal 66 ayat 4 UU No. 13 Tahun 1965,
pasal 33 ayat 3 UU No. 14/1970, maupun oleh pasal 197 ayat 2 dan 6 HIR/pasal
209 ayat 1 serta pasal 210 ayat 1 RBG, bahwa yang melakukan eksekusi putusan
Pengadilan dalam perkara perdata adalah Panitera dan Jurusita dipimpin oleh
Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi. Sedangkan pasal
197 ayat 3 HIR/209 ayat 2 RBG menentukan bahwa apabila Panitera berhalangan,
maka ia dapat diganti oleh orang yang ditunjuk untuk itu.
Dari ketentuan-ketentuan diatas,
dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang melakukan eksekusi putusan Pengadilan
dalam perkara perdata adalah Panitera dan Jurusita dengan dibantu oleh 2 (dua)
orang saksi dan dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Didalam praktek, dalam hal penyitaan
Ketua Pengadilan Negeri melimpahkan wewenangnya kepada Panitera, apabila
Panitera berhalangan, tugas itu dapat dilakukan oleh Jurusita. Jadi tidak perlu
Panitera bersama-sama jurusita, melainkan Panitera itu sendiri yang dalam hal
ini juga sebagai jurusita, ataupun jurusita itu sendiri dengan dibantu oleh 2
(dua) orang saksi yang telah ditentukan.
Apabila barang-barang yang akan
disita itu berada diluar wilayah hukum Pengadulan Negeri yang bersangkutan,
maka eksekusinya dapat dilakukan dengan permintaan bantuan secara tertulis
kepada Pengadilan Negeri setempat dimana barang-barang tersebut berada. Dalam
praktek permintaan bantuan itu tanpa dilampirkan berkas perkaranya.
Mengenai
permintaan bantuan ini telah diatur ketentuannya dalam pasal 195 ayat 2 s/d 7
HIR atau pasal 206 ayatt 2 s/d 7 RBG dan pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970.
Pasal
195 ayat 5 HIR menentukan :
“Didalam
dua kali dua puluh empat jam, Ketua yang diminta pertolongan itu memberitahu
segala upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang kesudahannya kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.[31]
Dan
didalam pasal 206 ayat 5 RBG ditentukan :
“Orang
yang dimintakan pertolongannya itu, harus memberitahukan dengan
selekas-lekasnya kepada voorzitter Landraad, yang mula-mula memeriksa perkara
itu, segala daya upaya yang telah diperintahkan dan kemudian kesudahannya”.
Sedangkan
pasal 24 UU No. 14/1970 mengatur :
“Untuk
kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang
diminta”.
Jika kemudian terhadap sita eksekusi
itu dibantah, dan jika yang membantah itu orang lain dengan mengakui bahwa
barang yang disita itu adalah hak mliknya, maka untuk menyelesaikan masalah
ini, diatur oleh pasal 195 ayat 6 HIR/pasal 206 ayat 6 RBG dan seterusnya. Jadi
apabila timbul perlawanan terhadap eksekusi putusan Pengadilan, baik dari pihak
yang dikalahkan, maupun oleh pihak ketiga, maka perselisihan tersebut akan
diperiksa dan diadili secara lazimnya oleh Ketua Pengadilan Negeri yang didalam
wilayah hukumnya eksekusi itu dilakukan. Kemudian prosedur selanjutnya diatur
dalam pasal 206 ayat 7 RBG yang menentukan :
“Perselisihan
yang timbul dan keputusan tentang perselisihan itu harus tiap-tiap kali
selekas-lekasnya diberitahukan dengan surat oleh voorzitter Landraad itu kepada
voorzitter Landraad, yang mula-mula memeriksa perkara itu”.
Selanjutnya
pasal 208 RBG menentukan :
“Jika
sesudah lalu tempuh yang ditentukan itu belum juga dicukupi keputusn itu, atau
jika orang yang dikalahkan itu walaupun telah dipanggil dengan patut juga tidak
menghadap, maka voorzitter atau magistraat yang dikuasakan itu karena
jabatannya, memberi perintah dengan surat supaya dirampas sekian barang yang
tiada tetap dan jika tidak ada atau
nyata tiada cukup yang demikian itu, sekian barang yang tetap kepunyaan orang
yang dikalahkan itu, sehingga rupanya cukup akan pengganti banyaknya uang yang
tersebut dalam keputusan dan sekalian belanja pelakuan itu, dengan pengertian
bahwa didalam gewest Bengkulen, Pesisir barat pulau Sumatera dan Tapanuli
rampasan itu baru boleh dilakukan atas harta pusaka, jika terdapat tiada cukup
harta pencaharian baik yang tiada tetap, maupun yang tetap”.
Yang
dimaksud dengan barang-barang kepunyaan pihak yang dikalahkan disini, ialah
barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Jika setelah disita ternyata
barang-banrang yang bergerak itu tidak mencukupi, dapat ditambah dengan menyita
lagi barang-barang tidak bergerak kepunyaan pihak yang dikalahkan tadi sebagai
pengganti sejumlah uang seperti yang tercantum dalam isi putusan pengadilan,
ditambah semua ongos yang timbul pada waktu melakukan eksekusi putusan
tersebut.
Karena
untuk daerah Bengkulu, Pesisir Sumatera Barat dan Tapanuli, menurut ketentuan
pasal diatas, bahwa barang-barang harta pusaka hanya boleh disita jika harta
pencahariaan pihak yang dikalahkan tidak cukup untuk memenuhi sebagai
pengganti. Harta pusaka yang dapat disita hanya bagi :
1.
Utang
kawin kemanakan (utang untuk biaya perkawinan kemanakan perempuan);
2.
utang
angkat penghulu atau utang menurut adat, misalnya guna biaya-biaya mendirikan
balai, untuk perkuburan famili, dengan lain perkataan utang untuk keperluan
famili;
3.
Utang
untuk mengubur (biaya mengubur) anggota famili.[32]
Tentang
tata cara penyitaan barang bergerak, diatur didalam pasal 197 ayat 8 HIR/211
RBG yang berbunyi :
“Rampasan
barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, uang tunai dan suratyang
berharga uang termasuk bilangan itu juga, boleh juga dilakukan atas barang yang
tidak tetap yang bertubuh, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak
boleh dijalankan atas hewan dan perkakas yang sesungguhnya berguna bagi yang
terhukum untuk menjalankan pencahariaannya sendiri”.
Dan
pasal 197 ayat 9 HIR/212 RBG selanjutnya menentukan :
“Griffier
atau orang yang ditunjukkan sebagai gantinya harus menurut keadaan,
meninggalkan barang yang tidak tetap itu atau sebahagiannya pada orang yang
dirampas barangnya itu, supaya disimpannya atau menyuruh membawa barang itu
atau sebahagiannya kesuatu tempat simpanan yang patut. Dalam hal yang pertama,
maka hal itu harus diberitahukan kepada Polisi Bumiputera ditempat itu, dan
polisi itu harus menjaga supaya jangan ada barang yang dilarikan orang. Opstal (buatan
yang tiada lekat pada tanah) Bumiputera tidak boleh membawa”.
Sedangkan
tata cara penyitaan barang-barang tetap (tidak terangkat), diatur pada pasal
198 ayat 1 dan 2 HIR/213 ayat 1 dan 2 RBG, yaitu dengan mengumumkan berita
acara penyitaan. Adapun caranya 2 (dua ) macam, yaitu :
1.
Kalau
barang yang disita itu telah didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 37, dengan
menyalin ini berita acara itu kedalam daftar yang dimaksud dalam pasal 50
Staatsblad 1842 no. 10.
2.
Kalau
barang yang disita itu belum atau tidak terdaftar berdasarkan Staatsblad 1834
No. 27 dengan menyain berita acara itu kedalam daftar yang untuk dimaksud itu
tersedia di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.
Dalam
daftar a dan b tersebut diatas harus disebutkan jam, hari, tanggal, bulan dan
tahun pengumuman penyitaan itu.
Semenjak
jam, hari, tanggal, bukan dan tahun tersebut diatas, maka pihak yang disita
barangnya itu tidak dapat lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau
menyewakan barang-barang tetap yang disita itu. Apabila pihak yang disitu
barangnya itu berbuat demikian, maka berdasarkan apsal 199 ayat 1 HIR/214 RBG
diancam pidana dalam pasal 281 KUHP.
Didalam
HIR maupun RBG dikenal 3 (tiga) macam penyitaan yaitu :
1.
sita
Konservator (consenvatoir beslag) diatur dalam pasal 277 HIR/261 RBG ;
2.
sita
Revindikator (Revindicatoir beslag) diatur dalam pasal 226 HIR/260 RBG ;
3.
sita
Eksekusi (Executorial beslag) diatur dalam pasal 196 HIR/207 RBG.
Selanjutnya bilamana barang yang
telah disita itu akan diwjudkan dalam suatu jumlah uang sesuai dengan isi
putusan Pengadilan, barang-barang tersebut dijual dimuka umum (lelang eksekusi)
yang ketentuannya diatur oleh pasal 200 HIR atau pasal 215 RBG.
Yang
harus diperhatikan benar-benar dalam tugas penyitaan ialah :
1.
apakah
penyitaan itu sudah sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku ;
2.
tidak
ada kekeliruan, artinya apakah barang yang disita it betul hak milik orang yag
kalah perkara, terutama barang yang tetap, dengan meneliti bukti miliknya,
memerksa kenyataan dari perbatasan yang telah ditentukan.
Kesalahan maupun kekeliruan dalam
melakukan penyitaan yang diteruskan dengan lelang eksekusi akan menimbulkan
masalah baru. Masalah baru ini akan menyulitkan petugas itu sendiri. Hal ini
bisa terjadi, karena pihak yang dikalahkan tidak mau dengan sukarela membantu
pihak petugas, karena penyitaan itu sendiri merupakan eksekusi putusan
Pengadilan secara paksa.
Akhirnya, apabila putusan pengadilan
dalam perkara perdata itu, hamya menyangkut suatu hak yang berupa penyerahan
barang kepada yang dimenangkan, maka setelah sita eksekusi itu dilakukan,
barang yang disita itu lalu diserahkan kepada yang berhak. Penyerahan ini
dilakukan dengan tanda terima dari petugas eksekusi kepada orang yang berhak
itu. Dalam eksekusi ini jika terdapat hambatan yang dikarenakan pihak yang
dikalahkan tidak mau menyerahkan barang tersebut, maka bila diperlukan harus
dengan bantuan polisi setempat.
Dengan memperhatikan dalam eksekusi
acara Perdata sekarang kita focuskan pada upaya pelaksanaan putusan hakim PTUN
selain menjadi kewenangan pihak
PTUN itu sendiri, maka Pemerintahpun terus berusaha meningkatkan kesadaran
Badan/ Pejabat TUN yang terlibat dalam sengketa TUN untuk mematuhi putusan
hakim. Sebelum menguraikan dan menganalisa prosedur yang dilakukan pihak PTUN
berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun
1986, akan diuraikan terlebih dahulu upaya yang dilakukan Pemerintah.
Surat Edaran Menpan Nomor:
B-471/I/1991 tentang pelaksanaan putusan PTUN yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Pembangunan V,
Jaksa Agung, Guberbur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi /
Tinggi Negara, para Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen dan Para
Gubernur Kepala Daerah. Surat Edaran tersebut antara lain menyebutkan :
Dalam kenyataan putusan Peradilan tata Usaha Negara tidak terlaksana
sesuai putusan. Hal ini mengundang berbagai opini dikalangan masyarakat yang
menimbulkan kesan bahwa Aparatur Negara tidak mengindahkan dan melaksanakan
putusan Pengadilan, bertindak sewenang-wenang sehingga kehadiran Peradilan Tata
Usaha Negara dirasakan tidak bermanfaat. Keadaan demikian tidak menguntungkan
bagi upaya penegakan hukum dan upaya menciptakan Aparatur Negara yang bersih
dan berwibawa.
Berhubungan dengan itu kami mohon
kiranya saudara dapat mengingatkan kepada para Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungannya
masing-masing untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Peradilan Tata Usahan
Negara dalam melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen nasional.
Untuk itu hendaknya Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat membantu kelancaran proses penyelesaian perkara
gugatan dan melaksanakan putusan atau penetapan Pengadilan dengan
sebaik-baiknya. Selanjutnya apabila Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
tidak mengindahkan putusan / penetapan Pengadilan, hendaknya atasan atau
Pejabat yang bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk
pelaksanaannya.
Keluarnya surat edaran semacam itu
diharapkan dapat membantu kelancaran pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara sehingga mewujudkan Aparatur Negara yang bersih dan berwibawa secara
tetap menjaga dan menjunjung tinggi kewibawaan hukum. Surat edaran tersebut
kiranya merupakan suatu tindak lanjut mengatasi keluhan para penggugat yang
merasa dirugikan dengan tindakan tidak mematuhinya putusan oleh Pejabat yang
dikalahkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa upaya Pemerintah dalam bentuk
penerbitan Surat Edaran itu untuk memenuhi tuntutan kepentingan dan hak rakyat
pencari keadilan, sehingga Badan/Pejabat TUN menjauhi tindakan yang dapat
menimbulkan kerugian.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban untuk membayar ganti rugi dan
pemberian rehabilitasi, kepada tergugat diberi jangka waktu sampai tiga bulan
untuk melaksanakannya. Apabila dalam jangka waktu tersebut sebagaimana telah
ditentukan tergugat belum juga melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat
Pengadilan akan memerintahkan kepada tergugat untuk melaksanakan putusan
tersebut. Jika perintah tersebut juga belum dilaksanakan, Ketua Pengadilan akan
mengajukan hal tersebut kepada Instansi atasan tergugat menurut jenjang
Jabatan.
Selambat-lambatnya dalam jangka
waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan, Instansi
atasan tersebut harus sudah memerintahkan kepada tergugat agar melaksanakan
putusan PTUN. Apabila Instansi atasan juga tidak memperhatikan pemberitahuan
tentang pelaksanaan putusan, maka pihak Pengadilan TUN secara berjenjang
mengirimkan peringatan pelaksanaan putusan sampai tingkat paling tinggi yaitu
Presiden, sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan tertinggi untuk memaksakan
ditaatinya Peradilan TUN itu.
Namun demikian, pada masa-masa mendatang
kiranya perlu tetap dilakukan upaya antisipasi dalam menjaga kemungkinan pihak
tergugat tetap bersikeras untuk tidak mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian apabila hal ini terjadi maka sudah tidak ada upaya lain
yang dapat digunakan untuk memaksakan pihak tergugat. Padahal cara
pemberitahuan pelaksanaan putusan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) secara berjenjang sampai tingkat paling atas
yaitu Presiden, secara ideal cukup memadai tetapi aplikasinya sangat tergantung
pada kesadaran hukum para tergugat yang kalah dalam sengketa TUN.
Ikut sertanya Presiden untuk
memaksakan ditaatinya putusan hakim PTUN merupakan suatu keistimewaan dalam
penegakan hukum administrasi di Indonesia. Keistimewaan itu karena Presiden diberi
kesempatan ikut campur dalam memaksakan pelaksanaan putusan Pengadilan. Kiranya
perlu diingat pula bahwa campur tangan semacam ini sangat diperlukan mengingat
pelaksanaan putusan PTUN tidak semudah
pelaksanaan putusan perkara pidana dan
perdata, oleh karena itu, pihak penggugat harus tetap diberikan kesempatan
untuk menempuh upaya hukum yang lain yaitu menuntut dilaksanakannya putusan
PTUN melalui Peradilan Umum.
C. Perlakuan Terhadap Putusan
Agar putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dijalankan, Ketua Pengadilan Lembaga keadilan yang satu ini diberikan
kewenangan untuk terus mengawasi pelaksanaan putusan hakim. Dengan berpatokan
pada keharusan-keharusan yang dibebankan kepada pihak tergugat berdasarkan
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal ini menunjukan bahwa
pengaturannya sudah jelas dan tegas.
Dengan kata lain, bahwa
pengaturan tentang keharusan
Badan/Pejabat tata usaha negara yang menjadi tergugat dalam suatu PTUN sudah
demikian jelas. Dengan demikian secara hukum sebetulnya menyangkut pelaksanaan
putusan PTUN oleh pihak tergugat sudah tidak ada masalah mengingat semua
kewajiban telah diatur secara formal.
Patut dicatat bahwa secara yuridis
formal pengaturan masalah pelaksanaan putusan oleh tergugat sudah memadai. Akan
tetapi seandainya putusan tersebut tetap
tidak dijalankan meski berbagai upaya sudah dilakukan maka hal ini
mengakibatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu mengambang. Sekiranya
terjadi keadaan demikian, maka upaya lain yang bisa ditempuh pihak
penggugat/pembanding yaitu menempuh cara menggugat kembali Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan itu
di pengadilan negeri. Cara ini merupakan sarana hukum yang terakhir bagi
penggugat guna memaksakan dijalankannya putusan hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian maka perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak menjalankan putusan kemungkinan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Terkendalanya pelaksanaan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dilakukan dengan cara paksa,
sehingga timbul pendapat untuk melakukan dengan paksa dengan cara mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri. Sebelum mengarahkan ke Pengadilan Negeri,
sebaiknya juga diketahui kendala yang terjadi di Pengadilan Negeri. Meskipun
tata cara eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata telah diatur
sedemikian rupa didalam peraturan perundang-undangan, namun didalam praktek
serimg ditemui berbagai hambatan yang
menyebabkan eksekusi putusan ditangguhkan, bahkan kadang-kadang sering terjadi
eksekusi tidak bisa dilakukan sama
sekali.
Terdapat berbagai faktor yang
menjadi penghambat didalam eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata itu,
antara lain :
1. Karena kekeliruan/kesalahan yang dilakukan
pihak praktisi sendiri.
Hal ini memang banyak
ditemui dalam praktek, karena ita sama menyadari bahwa para Hakim itu
sendiripun adalah manusia biasa, sudah barang tentu tidak akan terlepas dari
pada kehilapan maupun kekeliruan. Diantara kesalahan yang dilakukan pihak
praktisi itu, pada umumnya sering terdapatnya suatu cacat putusan, yang
merupakan akibat dari kekeliruan dan kesalahan mereka sendiri. Sebagai contoh
disini dapat dikemukakan yaitu kasus-kasus yang pernah terjadi pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin, dimana suatu putusan yang
sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisde) tidak bisa
dieksekusi, disebabkan adanya kesalahan seperti tersebut diatas.
Dalam eksekusi
putusan Pengadilan dalam perkara perdata tersebut diatas, pada kenyataannya
tidak dapat dilakukan karena ternyata pada keadaan yang sebenarnya bahwa,
batas-batas tanah sengketa tersebut tidak sesuai dengan batas-batas tanah dalam
surat gugatan.
2. Karena kurangnya
kesadaran hukum dari masyarakat yang sering melakukan tindakan-tindakan diluar
hukum.
Faktor penghambat ini
disebabkan :
- Kurangnya pengertian hukum yang dimilliki masyarakat ;
- Adanya hasutan-hasutan dari mereka-mereka yang didalam masyarakat lingkungannya dianggap orang berpengaruh dan mengerti betul tentang hukum ;
- Karena mereka merasa bahwa putusan Pengadilan itu kurang adil, dimana dalam hal ini mereka sangat merasa dirugikanbaik hak maupun kepentingannya ;
- Atau juga dapat disebabkan karena semata-mata mereka buta hukum sehingga bertindak nekat.
Kurangnya kesadaran
hukum dari masyarakat, hal ini dapat dilihat dari adanya kesiap siagaan dari
para penghuni tanah yang akan dikosongkan dalam menghadapi para petugas eksekusi
(jurusita) dengan ancaman senjata tajam dan senjata api. Akibatnya pengosongan
areal tanah terperkara menjadi tidak bisa dilaksanakan.
3. Karena adanya campur tangan dari Instansi
Pemerintah ataupun Badan Peradilan yang lebih tinggi.
Hal ini menjadi
faktor penghambat dalam eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata yang
disebabkan oleh campur tangan Instansi-instansi atau Badan Peradilan yang lebih
tinggi yang mengakibatkan eksekusi tertangguh atau tidak dapat dijalankan.
Eksekusi
putusan Pengadilan dalam perkara perdata pada kenyataannya tidak bisa
dijalankan oleh pihak Pengadilan Negeri. Hal ini biasanya disebabkan karena :
1.
Perintah
penangguhan dari Mahkamah Agung terhadap eksekusi yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri.
2.
Perintah
penangguhan dari Pengadilan Tinggi terhadap eksekusi yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri.
3.
Permintaan
dari pihak lain via telepon kepada Ketua Pengadilan Negeri agar eksekusi
putusan Pengadilan dalam perkara perdata ditangguhkan.
Bahwa
dalam menjalankan eksekusi putusan Pengadilan dalam perkara perdata, tidak
selamanya berjalan dengan lancar. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor
penghambat baik dari pihak praktisi sendiri, atau dari pihak masyarakat, maupun
disebabkan adanya campur tangan Badan Peradilan yang lebih tinggi dan Instansi
Pemerintah lainnya diluar kekuasaan Kehakiman dalam urusan peradilan.
Dengan
adanya faktor-faktor penghambat tersebut diatas maka terjadi
penangguhan/penundaan, bahkan tidak jarang terjadi eksekusi putusan Pengadilan
dalam perkara perdata itu tidak dapat dijalankan. Ditangguhkan/ditundanya
eksekusi putusan Pengadilan dalam suatu perkara perdata yang telah inkracht,
dapat dinilai sebagai suatu keadaan tidak adanya suatu kepastian Hukum di
Negara kita ini. Tentang hal ini dapat dikemukakan, oleh karena dengan
penangguhan eksekusi tersebut, maka perkara perdata yang bersangkutan tidak
dapat terselesaikan secara tuntas. Sedangkan maksud dan tujuan dari pihak-pihak
yang berperkara ialah adanya suatu penyelesaian secara tuntas menurut hukum
terhadap persengketaan mereka. Selanjutnya jika hal ini dibiarkan
berkepanjangan, maka sangat dikuatirkan akan mempengaruhi citra dan wibawa
Pengadilan yang bersangkutan dimata masyrakat, kususnya para justisiabel yang
menghajatkan pengayoman hukum atas kepentingan dan hak-hak mereka.
Dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum dan atau perubahannya juga dapat dipakai sebagai
dasar hukum yang ada relevansinya dengan pelaksanaan putusan oleh tergugat,
meskipun hal itu sifatnya implisit. Memang patut dicatat bahwa, ternyata tidak
satupun Pasal yang menentukan bahwa Peradilan Umum diberikan wewenang untuk
menangani gugatan yang muncul sehubungan dengan tidak ditaatinya putusan hakim
PTUN oleh pihak tergugat.
Penyelesaian kasus seperti ini oleh
Peradilan Umum tetap diantisipasi mealui Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara yang dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan: sengketa
Tata Usaha Negara yang lain tidak menjadi kompetensi PTUN diserahkan kepada
Peradilan Umum. Dengan berpatokan pada rumusan sengketa lain kiranya dapat
diinterpretasikan bahwa pengertian sengketa yang lain itu mencakup pula
tindakan Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan PTUN.
Dengan demikian secara implisit
Peradilan Umum berwenang pula memaksakan tergugat menjalankan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara melalui proses persidangan yang ditangani.
Selain itu atas dasar Undang-undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 10 ayat (2) mengatur
tentang Peradilan Umum dan kewenangannya. Dengan demikian Pasal tersebut
diajadikan sebagai dasar hukum bagi Peradilan Umum menyelasaikan gugatan
Perdata sehubungan dengan tidak dilaksanakannya putusan PTUN oleh pihak
tergugat.
Pada sisi lain meskipun dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tak satupun Pasal yang menyebutkan secara
jelas perbuatan pelanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Akan tetapi dengan menggunakan penafsiran dan penelusuran melalui yurisprudensi
kiranya perbuatan melanggar hukum menurut ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata
dapat diperluas artinya sehingga mencakup pula Onrechtmatige Overheidsdaad
(OOD). Dengan dasar itu, perbuatan Pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan
Hakim PTUN kemungkinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum
oleh penguasa.
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak menjalankan putusan Hakim dalam hubungan ini memungkinkan untuk
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa menurut Oemar Seno Adji:
Merupakan
suatu penemuan dalam ilmu hukum (rechtsvinding) dengan menggunakan
metode-metode interpretasi. Penggunaan metode interpretasi ini dikarenakan
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak satupun Pasal menunjukkan jelas
masalah Onrechtmatige Overheidsdaad. [33]
Hal ini berarti bahwa, perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa (ODD) merupakan suatu penemuan hukum dengan cara
menafsirkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak satupun Pasal yang mengatur
tentang perbuatan melanggar hukum oleeh penguasa. Kecuali itu Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata hanya mengatur perbuatan melanggar hukum.
Dengan demikian, kiranya di
Indonesia perbuatan melanggar hukum oleh penguasa mencakup pula tindakan tidak
mematuhi putusan Pengadilan oleh Badan/Pejabat TUN dalam suatu sengketa TUN.
Oleh karena itu, dengan menggunakan penafsiran hukum maka perbuatan melanggar
hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPer tadi dapat diperluas
artinya sehingga mencakup pula perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Pasal
1365 KUHPerdata menentukan bahwa :
Tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada oranglain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang karena
perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain diharuskan menurut hukum untuk
mengganti kerugian itu. Dengan berpatokan pada interpretasi tadi, maka
perbuatan Badan / Pejabat Tata Usaha Negara dapat digolongkan sebagai perbuatan
melanggar hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat.
Djasadin Saragih dalam hubungan dengan rumusan perbuatan
melanggar hukum mengatakan :
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum jika perbuatan itu memenuhi unsur-unsur
:
1.
Perbuatan
itu sifatnya melanggar hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
melanggar hak orang lain, perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan
kesusilaan dan kecermatan.
2.
Tanpa
perbuatan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian.
3.
Perbuatan
hukum itu disebabkan karena kesalahan pelakunya sendiri, artinya, orangnya
tidak berhati-hati untuk menghindari perbuatan tersebut.
4.
Gugatan
kerugian yang diminta berupa ganti kerugian pernyataan, dan perintah atau
larangan hakim.[34]
Dengan bertitik tolak pada syarat pertama
bahwa suatu perbuatan dianggap melanggar hukum apabila bertentangan dengan
kewajiban hukum pelaku, maka perbuatan pihak tergugat tidak mematuhi dan
menjalankan kewajibannya sesuai putusan hakim PTUN kiranya memenuhi syarat
tersebut. Dengan demikian perbuatan tersebut dapat digolongkan kedalam
perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Dalam menelaah putusan Mahkamah Agung
yang menyangkut kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa ditemukan dua
putusan yakni; putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kasum (Putusan Nomor 66K /
SIP / 1952) dan putusan berikutnya adalah putusan dalam perkara Josopadojo
(Putusan Nomor 838K / SIP / 1972). Disamping itu terdapat dua langkah usaha
Mahkamah Agung untuk menegaskan rumusan kriteria perbuatan melanggar hukum oleh
penguasa yang pertama melalui surat edaran MA. Dengan resgister : MA/Pemb/0159/77
tanggal 25 Februari 1977 dan yang kedua adalah melalui kegiatan lokakarya
tentang pembangunan hukum melalui Peradilan yang diselenggarakan di Lembang –
Bandung tanggal 30 Mei – 1 Juni tahun 1977.
Dalam perkara Kasum, MA berpendirian bahwa suatu
perbuatan dikatakan melanggar hukum apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari
Pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada anasir kepentingan umum. Rumusan
tersebut dari segi sistematika/gramatika kata atau dimaksudkan hanya untuk satu
kriteria yaitu kewenang-wenangan dan kedua kriteria tiada cukup anasir
kepentingan umum.
Menurut Mahkamah Agung ternyata unsur kepentingan umum
dalam tindakan Pemerintah bukanlah tindakan melanggar hukum. Dengan pengertian
yang demikian, kesewenang-wenangan tidak sama maknanya dengan “Willekeur” (abus
de pouvoir, arbitraness) dan kepentingan umum tidak termasuk dalam
(Rechtmatigheidscontrole” seperti yang dikemukakan oleh Hoge Raad di Belanda
melalui putusan-putusannya (Term “Willekeur pertama kali mulai ramai melalui
arrest Hoge Raad Tanggal 25 Februari 1949, NJ 1949 No. 559, perumusannya yang
lebih luas dalam arrest HR tanggal 9 Desember 1961, NJ 1962 Nomor 56 dan
“Detournement de Pouvoir” sebagai suatu bentuk doelmatigheidscontrole pertama
kali muncul dalam putusan HR Tanggal 14 Januari 1949 NJ 1949 Nomor 5571.
Dalam putusan yang kemudian (baik Mahkamah Agung maupun
Pengadilan Tinggi) kriteria “Rechtmatigheid” daripada tindakan penguasa seperti
yang dirumuskan dalam perkara Kasum tidak dianut. Dan selama itu juga tidak
jelas kriteria apa yang digunakan Pengadilan dalam menilai / mengukur Rechtmatigheid
dari pada tindakan penguasa. Baru pada Tahun 1972 dalam perkara Josopandojo
(Putusan No. 838 / SIP / 1972) Mahkamah Agung merumuskan kriteria
Rechtmatigheid dari tindakan penguasa adalah:
Undang-undang dan peraturan formal yang berlaku dan kepatutan dalam
masyarakat yang harus dipatuhi penguasa. Disamping itu ditegaskan bahwa
perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk
menilainya. Mahkamah Agung kemudian menegaskan pendirian tersebut untuk diikuti
oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi se Indonesia melalui surat edaran
tanggal 25 Februari 1977 Nomor MA / Pemb / 0159 / 77 dan mengulanginya kembali
dalam rumusan akhir lokakarya pembangunan hukum melalui Peradilan tanggal 30
Mei – 1 Juni 1977 di Lembang.
Dalam rumusan tersebut menyangkut perbuatan-perbuatan
kebijaksanaan penguasa ditegaskan tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk
menilainya kecuali ada unsur “Willekeur” dan detournement de pouvoir. Berdasar
Putusan Mahkamah Agung itu dengan Putusan Nomor 338K / SIP / 1977 dapat
dirumuskan tiga hal yang berhubungan dengan Perbuatan Melanggar Hukum oleh
Penguasa sebagai berikut :
1.
Perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa harus diukur dengan Undang-undang dan peraturan
formil yang berlaku.
2.
Harus
diukur dengan kepatuhan dalam masyarakat dan karenanya harus dipatuhi oleh
penguasa.
3.
Penilaian
tentang faktor sosial ekonomi (dari penyewa dan pemilik) adalah wewenang Kepala Daerah sebagai penguasa
yang tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau
wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar Undang-undang dan peraturan formal
atau melewati batas kepatuhan dalam masyarakat yang harus diperhatikan oleh
penguasa.
Dengan bertitik tolak pada
kriteria-kriteria yang disebutkan ternyata hanya dua kriteria yang kiranya
dapat dipakai sebagai ukuran-ukuran perbuatan melanggar hukum oleh pengusa
sebagai berikut :
1.
Unsur
perbuatan melanggar hukum yang harus diukur dengan Undang-undang dan peraturan
formil. Peraturan formal yang dimaksud disini yaitu Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya berada dibawah Undang-undang.
2.
Unsur
kepatuhan yang harus diperhatikan oleh penguasa.
Lebih
lanjut dua kriteria ini dapat dianalis sebagai berikut :
1.
Kriteria
perbuatan melanggar Undang-undang
Kriteria pertama
Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah Rechtmatigheid
dari tindakaan penguasa yang seauai dengan Undang-undang. Ini berarti bahwa
perbuatan penguasa (Badan/Pejabat TUN) dianggap sebagai perbuatan
onrechtmatigheid manakala tindakan tersebut bertentangan atau diluar
Undang-undang.
Dengan demikian
perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mematuhi dan menjalankan
putusan hakim PTUN kiranya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang. Hali itu bisa dimengerti karena, dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya telah mengatur secara jelas
tentang keharusan yang perlu diajalankan Badan/Penguasa sebagai pihak tergugat
dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara. Oleh karena itu jelas bahwa, perbuatan
tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan
yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Pelanggaran hukum oleh pihak tergugat dengan menjalankan kewajiban menurut PP.
No. 43 Tahun 1991 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2.
Kepatuhan
harus dipatuhi penguasa
Kriteria kedua adalah
kepatuhan yang harus diperhatikan oleh penguasa. Dalam surat edaran Mahkamah
Agung RI tertanggal 25 februari 1977 Nomor MA/Pemb/ 0159/77 antara lain
diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi se
Indonesia yang isinya antara lain :
Dalam mengadili
perkara disana Pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum
hendaknya mengadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap perseorangan
individual dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa.
Hal tersebut
mengandung arti bahwa, Badan/Pejabat Tata Uaha Negara dalam melaksanakan suatu
kebijaksanaan harus memperhatikan syarat patut atau tidak patut. Unsur
kepatutan seperti ini juga harus menjadi perimbangan dalam menjalankan putusan
PTUN yang memuat kewajiban-kewajiban. Atas dasar itu, bagi Badan/Pejabat TUN
yang tidak menjalankan putusan PTUN menurut unsur kepatutan itu tentu dengan
sendirinya tergolong sebagai perbuatan melanggar hukum (ODD).
IV. PENUTUP
Sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan kehakiman Pasal 10 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Sebagaimana telah diketahui badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang paling muda usianya adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan
Tata Usaha Negara dapat juga disebut dengan Peradilan Administrasi Negara.
Menurut Syahran Basah Peradilan Administrasi adalah peradilan yang memiliki
unsur-unsur:
a.
Adanya
hukum, terutama lingkungan Hukum Administrasi negara yang dapat diterapkan pada
suatu persoalan.
b.
Adanya
sengketa hukum yang konkrit, yang pada dasarnya disebabkan oleh ketetapan
tertulis Administrasi Negara.
c.
Minimal
dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihaknya harus Administrasi Negara.
d.
Adanya
bahan peradilan yang berwenang memutus sengketa.
e.
Adanya
hukum formal dalam rangka menerapkan hukum, menentukan hukum inconcreto untuk
mempertahankan ditaatinya hukum materiil.1
Badan
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yudikatif mempunyai tugas dan
wewenang untuk memeriksa, memutuskan menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha
Negara (Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004).
Sedangkan
mengenai sengketa Tata Usaha Negara, di dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 disebabkan sebagai berikut:
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya
mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (objek sengketa) di dalam pasal 1 angka 9
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan sebagai berikut:
Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hokum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Dari
uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tugas Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah melayani masyarakat pencari keadilan dalam bidang sengketa Tata Usaha
Negara, khususnya terhadap keputusan pemerintah yang melanggar hukum dan yang
merugikan anggota masyarakat.
Tugas
peradilan tidak hanya memeriksa dan memutus, tetapi juga sampai pada tahap
menyelesaikan suatu sengketa. Tujuan akhir dalam suatu proses penyelesaian
sengketa di pengadilan adalah memperoleh putusan hakim yang tidak dapat diubah
(berkekuatan hukum tetap). Menyelesaikan suatu sengketa adalah dalam rangka
pelaksanaan putusan/eksekusi, sehingga penyelesaian sengketa hukum yang timbul
di masyarakat memenuhi apa yang menjadi tujuan hukum yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan serta keadilan. Seperti dikatakan Ismail Saleh merasa menjabat
sebagai Menteri Kehakiman bahwa ”pengadilan merupakan benteng terakhir dari
upaya penegakan hukum dan keadilan sehingga siapapun wajib menegakkan dan
menghormati benteng tersebut”.2 Oleh karena itu apapun
alasannya hendaknya semua pihak dapat menghormati dan mentaati putusan
peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde),
bahkan dapat dikatakan bahwa tidak mau mentaati putusan pengadilan sudah
termasuk merupakan content of court (tindakan/sikap yang merendahkan
terhadap martabat peradilan).
Mentaati
dan melaksanakan putusan peradilan merupakan bagian dari penegakan hukum.
Berpedoman pada pendapat Soerjono Soekanto, penegakan hukum melalui pengadilan
dipengaruhi oleh:
1.
Faktor
hukumnya sendiri.
2.
Faktor
penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk atau menegakkan hukum.
3.
Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor
masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.
Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.3
Kelima
faktor tersebut di atas saling berkait dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum, serta merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.4
Berkaitan
dengan pelaksanaan putusan sebagai bagian dari penegakan hukum, dikenal ada
beberapa jenis pelaksanaan putusan dalam Hukum Acara Perdata, yaitu:
1.
Eksekusi
putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.
Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur
dalam pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg.
2.
Eksekusi
putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur
dalam Pasal 225 HIR (Pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk
memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan
dapat diminta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai
dengan uang.
Eksekusi
riil. Tidak diatur dalam HIR. Eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan yang menuju
kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak
yang bersangkutan.
Ada
pendapat yang membatasi pengertian eksekusi riil pada merealisasi prestasi yang
tidak terdiri dari pembayaran sejumlah uang.5 Di dalam hukum acara
Peradilan Tata Usaha Negara, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Pelaksanaan putusan serta merta (uit
voorbaar bij vooraad) seperti yang diatur dalam Pasal 108 HIR tidak dikenal
dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Suatu
putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkract
van gewijsde), mempunyai konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:
1.
Dengan
adanya putusan yang bersangkutan berarti bahwa sengketa tersebut telah berakhir
dan tidak ada lagi upaya-upaya hukum biasa yang lain yang dapat ditempuh oleh
para pihak yang bersangkutan.
2.
Putusan
tersebut mempunyai daya mengikat bagi
setiap orang (bersifat erga omnes), tidak hanya mengikat kedua belah
pihak yang berperkara (seperti halnya dalam perkara perdata).
3.
Putusan
tersebut merupakan akta otentik yang mempunyai daya kekuatan pembuktian yang
sempurna.
4.
Putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yang berarti bahwa isi putusan
tersebut dapat dilaksanakan, bahkan perlu dengan upaya paksa jika pihak yang
dikalahkan tidak mau melaksanakan dengan suka rela isi putusan.6
Sehubungan
dengan butir keempat tersebut, yakni masalah eksekusi, pengertian eksekusi
dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai eksekusi riil seperti pada putusan
perkara perdata yang dapat dipaksakan dengan bantuan pihak luar dari para pihak
sendiri. Sebab eksekusi secara riil terhadap pemerintah itu merupakan hal yang
mustahil dapat terjadi. Sebab eksekusi secara riil terhadap pemerintah itu merupakan
hal yang mustahil dapat terjadi.7 Jika eksekusi riil ini
diterapkan, berarti yang dieksekusi adalah pejabat Tata Usaha Negara. Asas-asas
Hukum Administrasi dapat menjadi penghambat eksekusi riil, yaitu:
1.
Asas
bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan.
2.
Asas
“rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini adalah
asas kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan keputusan Tata
Usaha Negara yang seharusnya menjadi wewenang pejabat tertentu di bawahnya. Dengan
demikian andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat di bawahnya untuk
menerbitkan sebuah keputusan Tata Usaha Negara dan ternyata tidak dilakukan,
pejabat atasan tidak dapat menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
3.
Asas
bahwa kebebasan pejabat pemerintah tidak bisa dirampas. Kemungkinan dari asas
ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat dikenal tahanan rumah karena tidak
melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
4.
Asas
bahwa Negara cq. Pemerintah selalu harus dianggap ”solvable” (mampu
membayar).8
Selanjutnya
di dalam eksekusi di kenal adanya beberapa prinsip eksekusi, yaitu:
a.
Melaksanakan
putusan pengadilan/hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht
van gewijsde), kecuali pelaksanaan putusan lebih dulu (uitvoorbaar bij
vooraad), putusan provisi, eksekusi grosse akte dan akte perdamaian.
b.
Putusan
tidak dijalankan secara suka rela, kecuali pihak yang kalah melaksanakan secara
suka rela maka upaya paksa ditiadakan.
c.
Putusan
yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsur “penghukum” untuk melaksanakan suatu kewajiban.
d.
Eksekusi
atas perintah dan di bawah pengawasan ketua pengadilan.9
Pelaksanaan
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan secara administrasi dan yang
wajib mengawasi pelaksanaan tersebut adalah Ketua Pengadilan.10
Tujuan
eksekusi tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu
prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan
paksa untuk merealisasi putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang
dibebani kewajiban merupakan eksekusi.12
Pada
asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah:
1.
Putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.
Karena
dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara.
3.
Disebabkan
hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, hubungan
hukum tersebut mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum.
4.
Cara
mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah:
a.
dapat
dilaksanakan secara suka rela oleh pihak Tergugat.
b.
bila
enggan melaksanakan putusan secara suka rela, hubungan hukum yang ditetapkan
dalam putusan harus dilaksanakan ”dengan paksa” dengan jalan bantuan kekuatan
umum.13
Ditinjau
dari sifatnya, putusan pengadilan dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Putusan
Deklaratoir
Yaitu putusan yang
berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum
semata.
2. Putusan Constitutief
Yaitu putusan yang
memastikan suatu keadaan, baik yang
bersifat meniadakan suatu keadaan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
3. Putusan Condemnatoir
Yaitu putusan yang
memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara.14
Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang memerlukan eksekusi hanya terhadap putusan
yang bersifat condemnatoir yaitu putusan yang memuat amar menghukum
salah satu pihak yang berperkara sedangkan terhadap putusan yang bersifat
deklaratoir yaitu amar putusan yang berisi pernyataan (menyatakan batal atau
tidak sah keputusan Tata Usaha Negara yang digugat) tidak memerlukan tindakan
apapun secara otomatis keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek gugatan
yang dinyatakan batal atau tidak sah sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Tetapi
adakalanya suatu putusan mengandung unsur-unsur yaitu deklaratoir dan
condemnatoir. Karena putusan yang bersifat condemnatoir merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari amar deklaratoir, karena amar tersebut tidak
dapat berdiri sendiri tanpa didahului amar deklaratoir. Sebaliknya amar yang
bersifat deklaratoir dapat berdiri sendiri tanpa amar putusan condemnatoir.
Amar putusan condemnatoir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dengan amar deklaratoir sehingga deklaratoir merupakan
condition sine quanon atau merupakan syarat mutlak untuk menjatuhkan
putusan condemnatoir dan penempatan amar deklaratoir dalam
putusan yang bersangkutan mesti ditempatkan mendahului amar condemnatoir.15
Dalam
konteks Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat condemnatoir adalah berupa:
1.
Kewajiban
mencabut keputusan Tata Usaha Negara
yang dinyatakan batal/tidak sah.
2.
Kewajiban
menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara baru.
3.
Kewajiban
mencabut dan menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara.
4.
Kewajiban
membayar ganti rugi.
5.
Kewajiban
melaksanakan rehabilitas dalam sengketa kepegawaian.
Terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban-kewajiban seperti
tersebut di atas, apabila Tergugat tidak mau melaksanakannya, maka dapat
dikenakan upaya paksa sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 116 Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 yaitu berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif dan jika masih tetap tidak mau melaksanakan, diumumkan pada media
masa cetak setempat.
Tidak
dilaksanakannya kewajiban-kewajiban tersebut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dapat karena alasan yang sah atau tanpa alasan yang sah. Pelaksanaan
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Pelaksanaan
putusan pengadilan/eksekusi sukarela
Melaksanakan putusan
secara sukarela yaitu pihak yang kalah
(Tergugat) telah memenuhi sendiri dengan sempurna putusan yang berisi kewajiban
hukum dan beban hukum yang tercantum dalam amar putusan. Oleh karena pihak
Tergugat telah melaksanakan isi putusan dengan sukarela, maka tidak diperlukan
lagi tindakan upaya paksa. Dengan adanya pelaksanaan putusan secara sukarela
akan melindungi kepentingan pihak Tergugat dari tindakan-tindakan hukum
selanjutnya, di samping menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang tinggi.
2.
Pelaksanaan
putusan pengadilan/eksekusi sukarela
Menurut Pasal 116
ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menegaskan bahwa setelah empat bulan
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak
tetapi Tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan Keputusan Tata
Usaha Negara yang telah dinyatakan batal atau tidak sah dalam amar putusan,
maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
Menurut pendapat
Phillipus M. Hadjon, dalam seminar peringatan sepuluh tahun berdirinya
Peradilan Tata Usaha Negara pada bulan Januari 2001 di Jakarta bahwa setelah
empat bulan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah,
menurut asas dan teori hukum yang dianut secara umum dengan sendirinya tidak
mempunyai kekuatan mengikat, dengan demikian tidak perlu dieksekusi, kecuali
eksekusi yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan.
Dari pengertian
tersebut, dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, ada putusan
pengadilan yang tidak perlu dilaksanakan. Pelaksanaan putusan pengadilan yang semacam ini disebut pelaksanaan
putusan/eksekusi otomatis.16
3.
Pelaksanaan
putusan pengadilan/eksekusi tidak sempurna
Apabila Tergugat
tidak dapat dengan sempurna, yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam
sengketa kepegawaian tidak dapat dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah
terisi, maka pihak Tergugat dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi
lainnya.
Prosedur pelaksanaan
putusan yang tidak sempurna diatur dalam Pasal 117 ayat (1) sampai dengan (6)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, seandainya Tergugat diwajibkan untuk
merehabilitasi jabatan Penggugat sesuai dengan salah satu kewajiban yang
dibebankan berdasarkan putusan pengadilan tetapi Tergugat tidak dapat
melaksanakan dengan sempurna karena berubahnya keadaan setelah putusan pengadilan, Tergugat wajib
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan. Setelah 30 hari sejak Penggugat
menerima pemberitahuan tersebut, Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya.
Setelah menerima
permohonan tersebut Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara memanggil kedua belah
pihak untuk mengusahakan tercapainya tentang jumlah uang atau kompensasi
lainnya. Apabila tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau
kompensasi tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan disertai pertimbangan
yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud. Penetapan
Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dapat diajukan keberatan baik oleh
Penggugat maupun Tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali, dan
putusan Mahkamah Agung tersebut wajib ditaati kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Adji,
Oemar Senoe. 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta.
Achyar,
Fatimah. 1990, Selintas tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bimbingan
Teknis PTUN di Kalimantan Selatan.
Basah,
Sjachran. 1987, Beberapa Hal tentang Hukum Acara Administrasi, Penataran
Peradilan Administrasi Kerjasama Indonesia-Bandung.
Boestami,
T. 1994, Hukum Perdata dan Hukum Tata
Usaha Negara dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.
Bachar,
Djazuli. 1994. Eksekusi Putusan Perkara Perdata. Akademika Pressindo. Jakarta.
Harahap,
M. Yahya. 1989, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Gramedia, Jakarta.
-----------------------------.
1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
-----------------------------.
2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
-----------------------------.
1985, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
-----------------------------. (Et.al), 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
------------------------------------. Beberapa Catatan Terntang
Hukm Administrasi, Makalah disampaikan
pada Acara Temu Ilmiah Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
se Jawa Timur, Surabaya, 10 Juli 1993
Indroharto.
1993, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, Sinar Harapan, Jakarta
---------------.
1999. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
II Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Koesoemahatmadja,
Djenal Hoesen. (tt) Djenal Hoesen Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,
Citra Aditya bakti, Bandung.
Kaligis,
O.C. 1999, Praktek-praktek Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia, Buku Kedua, Alumni, Bandung.
Lotulung,
Paulus Effendie. 2004. Penerapan Sanksi Adminsitrasi dan Pembayaran Uang
Paksa Terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang Tidak Melaksanakan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Makalah disampaikan dalam Lakokarya
Nasional Sosialisasi Implementasi
Perubahan Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LPPP-HAN, Jakarta.
Mertokusumo,
Sudikno. 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------------.1998.
Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty: Yogyakarta.
Marbun,
S.F. 1997. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
Muhammad,
Abdul Kadir. 1978, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung
Rechtreglement
Voor de Buiten Gewesten. Diperbanyak oleh Pengadilan Tinggi Aceh, 1970.
Subekti. 1977, Hukum
Acara Perdata, Binacipta, Bandung.
Sutantio,
Retno Wulan. 1979, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni,
Bandung
Supomo,
R. 1972. Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Saragih,
Djasadin. 1989, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Diktat, Tanpa Penerbit,
Surabaya.
Soesilo,
R. 1979, RIB/HIR dengan Penjelasannya, Penerbit
Politea, Bogor.
Sumindhia,
Y.M. dan Ninik Widiyanti. 1990. Administrasi
Negara dan Peradilan Administrasi. Rineka Cipta. Jakarta.
Soekanto,
Sorjono. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum. PT. Radja Grafindo Persada,
Jakarta.
Soemaryono
dan Anna Erliyana. 1999. Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha
Negara. Jakarta: Primamedia Pustaka, Jakarta..
Tresna,
R. 1972. Komentar atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka
Pengadilan Negeri Atau HIR, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Yustisia,
Dian. 1980, Penerbit Pengadilan Tinggi
Bandung, Bandung.
[1]Sudikno Mertokusumo, 1979, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 165.
[2]Lihat: putusan Mahkamah Agung pada
tanggal 25-10-1969 No. 391 K/Sip/1969 dalam perkara Madsai dkk lawan Saud dkk.
[3] Subekti, 1977, Hukum
Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hal. 122.
[8]M.
Yahya Harahap,1989, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Gramedia, Jakarta, hal. 5
[11]Sjachran Basah,1987, Beberapa Hal
tentang Hukum Acara Administrasi, Penataran Peradilan Administrasi
Kerjasama Indonesia-Bandung, hal.76
[34] Djasadin Saragih, 1989, Pokok-pokok
Hukum Perikatan, Diktat, Tanpa Penerbit, Surabaya. hal. 118
1Y.M. Sumindhia dan
Ninik Widiyanti. 1990. Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi.
Jakarta: Rineka Cipta, hal. 140-141.
2T. Boetami. 1994. Hukum Perdata dan
Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni,
hal. 107.
3Soerjono Soekanto. 2005. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Radja Grafindo
Persada, hal. 8.
5Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, hal. 210.
6Paulus Effendie Lotulung. 2004. Penerapan
Sanksi Adminsitrasi dan Pembayaran Uang Paksa Terhadap Pejabat Tata Usaha
Negara yang Tidak Melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Makalah
disampaikan dalam Lakokarya Nasional
Sosialisasi Implementasi Perubahan Undang-undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Jakarta: LPPP-HAN, hal. 1.
7Indroharto. 1999. Usaha Memahami
Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Peradilan
Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 244.
8 Phillipus M. Hadjon (et.al).
1997. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, hal. 374
9 M. Yahya Harahap. 1991. Ruang
Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal.
4
10 Soemaryono dan Anna
Erliyana. 1999. Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Primamedia Pustaka, hal. 129.
13 M. Yahya Harahap. Loc.cit.
14M. Yahya Harahap. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 877.
15Ibid.
16Soemaryono dan Anna
Erliyana. Op.cit, hal. 4.