Selasa, 04 Maret 2014

IDE NEGARA HUKUM DALAM KONSTITUSI TERTULIS REPUBLIK INDONESIA



IDE NEGARA HUKUM DALAM KONSTITUSI TERTULIS
REPUBLIK INDONESIA

Indah Ramadhany[1]

ABSTRAK
Untuk mengetahui apakah suatu negara merupakan negara hukum atau bukan, instrumen yang paling tepat dipakai sebagai tolak ukurnya adalah  konstitusi negara yang bersangkutan, artinya apakah konstitusi memuat ketentuan tentang negara hukum. Instrumen lain yang juga dapat dipakai sebagai indikator adalah kesepakatan ilmiah di kalangan para sarjana yang berupa pandangan-pandangan tentang ciri ataupun unsur negara hukum.

A.      Pendahuluan
K. C. Wheare memberikan suatu pandangan bahwa isi minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum. Pandangan ini dikemukakannya berdasarkan sebuah pertanyaan yang dibuatnya untuk memulai suatu penalaran dialogis tentang suatu negara hukum, adapun pertanyaan Wheare adalah :What should a constitution contain? pertanyaan tersebut dijawabnya dengan ringkas  “The very minimum, and that minimum to be “Rule of Law.[2] Berkenaan dengan isi minimum konstitusi adalah negara hukum.
Kajian normatif dilakukan oleh Meuwissen dalam pengamatannya terhadap isi konstitusi Belanda menemukan bahwa konstitusi Belanda menurut dia mengandung ciri atau unsur-unsur negara hukum klasik berupa klassieke vrijheidrechten (de artikelen 1 tot en met 17 de klassieke vrijheidrechten) dan yang beraspek negara hukum modern (de artikelen 18 tot en met 23 de sociale grondrechten).[3]
Menurut H van Maarsveen dan G. van der Tang dari hasil penelitiannya terhadap sejumlah konstitusi di dunia sampai pada suatu kesimpulan bahwa isi pokok konstitusi adalah negara hukum (Rule of Law) di samping isi lainnya yang terkait dengan negara hukum. Isi konstitusi seperti itu menurut kedua sarjana itu juga terdapat pada konstitusi yang tergolong tua (………”ehich is that of the old constitution; the Rule of Law, the freedoms, the representation principle, and a number of other convictions”………)[4]
Dalam konteks Negara Hukum Indonesia, dan memperhatikan pada pandangan-pandangan para sarjana-sarjana diatas, maka konstitusi yang relevan ditelaah (untuk menjawab pertanyaan apakah Indonesia sebuah negara hukum), adalah UUD 1945. Karena UUD 1945 yang telah menjadi pilihan dari bangsa Indonesia melalui para pemimpin bangsa pada waktu lalu (berdasarkan perjalanan sejarah konstitusional bangsa Indonesia) dan berlaku di Indonesia hingga saat ini sebagai hukum positif.
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 terdiri dari pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Dalam Pembukaan UUD 1945 ketentuan yang mengisyaratkan negara hukum oleh M. Yamin ditunjuk bagian alenia keempat. Tentang hal ini M. Yamin mengatakan :[5]
…………..”tentang pengertian yang sedemikian didapat pada pembukaan UUD 1945 (kalimat 4). Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia; jadi RI ialah suatu negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan”.
Memang, kalau diperhatikan dengan seksama kalimat “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar” segera tampak bahwa pembentukan UUD 1945 menempatkan UUD sebagai sumber pengaturan segala kegiatan bernegara dalam suasana Indonesia Merdeka. Pengaturan segala sesuatu urusan kenegaraan melalui sebuah aturan dasar tertulis (hukum tertinggi) menunjukan adanya respek pembentukan negara terhadap negara hukum, karena bukankah salah satu unsur negara hukum adalah “supremmacy of the law” menurut Dicey atau “Grondrechten” menurut SW Couwenberg.
Dalam batang tubuh UUD 1945, citra negara hukum dapat dilihat dalam pasal-pasal yang mengandung pengutamaan terhadap hukum (supremmacy of the law). Dikatakan pengutamaan terhadap hukum karena pasal-pasal itu mengatur kekuasaan negara yang didstribusikan kepada lembaga-lembaga negara yang lebih jauh diatur dengan undang-undang. Dalam hal demikian, konstitusi dapat dianggap sebagai sumber kekuasaan (the nucleus of a country’s public law, the formal grant of power).[6]
Konstitusi sebagai sumber kekuasaan K. C. Wheare menggambarkannya sebagai aturan hukum yang mengatur pemerintah (………a selection of the legal rule which govern the government………),[7] Marc Iver menyebut konstitusi sebagai sumber kekuasaan dengan istilah “the law which governs the state” (hukum yang memerintah negara) yang dibedakannya dengan “the law of which the state govern” (negara yang digunakan oleh negara untuk memerintah).[8]
Dalam UUD 1945 Hasil Amandemen perubahan pertama sampai dengan keempat, pasal-pasal yang menghendaki adanya undang-undang yang mengatur lebih jauh kekuasaan negara sebagai pencerminan citra negara hukum adalah : Pasal 2 (1) tentang susunan anggota MPR; Pasal 6 (2) tentang syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 6A (5) tentang tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 11 (3) tentang persetujuan perjanjian internasional; Pasal 15 tentang pemberian tanda jasa dan gelar; Pasal 16 tentang pembentukan dewan pertimbangan presiden; Pasal 17 (4) tentang kementerian negara; Pasal 18 tentang pembagian wilayah Indonesia dan ayat (7) tentang susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; Pasal 18A  (2) tentang hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; Pasal 18B (1) tentang pengakuan dan penghormatan kepada pemerintah daerah; Pasal 18B (2) tentang pengakuan atas kesatuan masyarakat hukum adat; Pasal 19 (2) tentang susunan anggota DPR; Pasal 20A (4) tentang hak DPR dan anggota DPR; Pasal 22A tentang tatacara pembentukan undang-undang; Pasal 22B tentang pemberhentian anggota DPR; Pasal 22C (4) tentang susunan dan kedudukan DPD; Pasal 22D (4) tentang pemberhentian anggota DPD; Pasal 22E (6) tentang pemilihan umum; Pasal 23 (1) tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, mata uang, keuangan negara; Pasal 23A tentang Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa; Pasal 23B tentang macam dan harga mata uang; Pasal 23C tentang hal lain mengenai keuangan negara; Pasal 23D tentang Bank Sentral; Pasal 23G (2) tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Pasal 24 (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman; Pasal 24A (1) tentang wewenang Mahkamah Agung; Pasal 24A (5) tentang Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya; Pasal 24B (4) tentang Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial; Pasal 24C (6) tentang hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi; Pasal 26 tentang warga negara dan penduduk; Pasal 30 (5) tentang keikutsertaan warga negara dalam pertahanan dan keamanan; Pasal 31 tentang peran pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional; Pasal 33 (5) tentang perekonomian dan kesejahteraan nasional; Pasal 34 (4) tentang fakir miskin dan anak terlantar serta jaminan kesejahteraan sosial; Pasal 36C tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. 
 Selain itu ada undang-undang tertentu yang dikehendaki oleh UUD 1945 untuk mengatur lebih jauh tentang Kekuasaan Presiden dalam menyatakan keadaan bahaya. Undang-undang itu dikehendaki oleh Pasal 12 yang menyatakan bahwa syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Berkaitan dengan pasal 11 yang menyatakan Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Ragam penilaian dengan tolak ukur yang dikemukakan berdasarkan argumen menjadikan persetujuan DPR berada pada posisi yang kabur “vage”.
Menurut Mas Subagio persetujuan DPR dalam Pasal 11 itu lebih tepat dalam bentuk keputusan DPR (beschikking) seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Subagio bahwa selain beschikking DPR yang berhubungan dengan pasal 11 itu, dalam praktek beschikking  itu dapat dilihat dalam pengangkatan Ketua dan Anggota BPK, serta pengangkatan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Agung MA.[9] Namun memperhatikan pada kalimat Pasal 11 tersebut ada kondisi yang berbeda antara “pernyataan perang” dan “membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk pernyataan perang kondisi pengambilan keputusan itu dalam keadaan situasi genting (state of emergency) menuai pertanyaan apakah masih ada pada saat seperti itu beschikking sedangkan situasi tidak normal sebagaimana kondisi normal dapat menerapkan Undang-Undang Dasar dan Peraturan Perundang-undangannya? Sedangkan untuk membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain kondisi itu masih belum dapat dikatakan masuk kedalam situasi darurat, bisa saja dalam keadaan normal dilangsungkan pilihan-pilihan politik luar negeri berkembang kontekstual. Untuk kondisi darurat perang pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 telah mengantisipasi dengan ketentuan Pasal 12 dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang belum berarti keadaan berbahaya, dan kondisi itu Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan.[10] Intisarinya ketentuan mengenai “keadaan bahaya” yang ditentukan dalam Pasal 12 adalah sifat bahaya yang mengancam, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak dalam konteks waktu yang terbatas. Dengan demikian ketentuan Pasal 11 adalah kontekstual dan tergantung kepada Perpu yang dikeluarkan Presiden apakah pihak legislatif dalamhal ini DPR dapat menerima atau tidak menerima, dan jika diterima artinya memang telah terjadi situasi keadaan yang bersifat genting berdasarkan penilaian objektif bersama-sama oleh DPR dengan pemerintah. Jadi selama belum ada suatu Perpu yang dikeluarkan Presiden boleh saja dikatakan sebagai suatu beschikking.
Di Amerika Serikat beschikking DPR  semacam itu disebut dengan istilah Act of Congress (keputusan DPR) yang berbeda dengan “statutes” (Undang-Undang).[11]  Di samping pasal-pasal tersebut yang mencerminkan citra negara hukum, terdapat satu pasal yang sebegitu jauh cukup jelas melukiskan betapa UUD dan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya mewakili supremasi (sesuai dengan prinsip “supremacy of the law”) adalah pasal 9 UUD 1945 yang mengatur lafal/ janji Presiden dan Wakil Presiden. Bagian yang mencerminkan supremasi hukum dari pasal 9 itu berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. (garis bawah oleh penulis).

Selanjutnya dalam penjelasan UUD 1945 pada Pasal 1 angka 3,  dengan tegas menyebut “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” (versi Reschtsstaat). Dalam UUD 1945 hasil amandemen dipertegas dengan menyatakan secara langsung bahwa Indonesia negara hukum, hal ini menunjukan bahwa secara konstitusional segala tindakan negara berdasarkan atas hukum dan setiap warganya harus tunduk dengan aturan-aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan tinjauan isi pembukaan, Batang tubuh dan Penjelasan UUD 1945 seperti tersebut di atas, akhirnya diperoleh gambaran bahwa menurut UUD 1945 negara Indonesia adalah negara hukum. Gambaran ini adalah gambaran yang berdimensi normatif, artinya sesuai apa yang tersurat dan tersirat dalam UUD 1945. Dimensi normatif itu dalam praktek kehidupan bernegara di Indonesia saat ini tampak belum memuaskan karena hal ini berkaitan erat dengan dimensi empiris. Dimensi empiris dari negara hukum Indonesia harus dipertimbangkan pada faktor-faktor non yuridis seperti historis, ideologi, politis, sosial, ekonomi dan budaya.
Meski dimensi normatif itu dalam aplikasinya terlihat belum memuaskan, namun keberadaan negara hukum Indonesia tetap sangat diperlukan untuk mengantisipasi tiga persoalan kenegaraan seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel S. Lev yakni : a) Keanekaragaman etnis dan budaya serta agama (athnic and religious pluralism); b) Struktur perubahan kelas (changing class structure); c) Persoalan legitimasi politik (the problem of political legitimacy). Dengan adanya negara hukum Indonesia, hak-hak minoritas seperti etnik Cina dijamin dan dilindungi oleh hukum, juga kebebasan kelas menengah untuk mengkeritik pemerintah dijamin  dan dilindungi oleh hukum, dan pergantian pemerintahan secara demokratis dilegitimasi oleh hukum.[12]
Sehubungan adanya perbedaan baik historis maupun ideologis antara Indonesia dengan Barat (asal konsepsi negara hukum) maka beberapa sumber telah mencoba memberikan gambaran tentang corak khas negara hukum Indonesia.
Di dalam pustaka hukum di Indonesia istilah negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap merupakan terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum sebab konsep-konsep itu tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Tetapi sebenarnya antara rechtsstaat dan the rule of law itu mempunyai latar belakang dan pelembagaan yang berbeda meskipun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law. Kedua sistem yang menjadi tumpuan kedua konsep tersebut mempunyai perbedaan titik berat pengoperasian, civil law menitikberatkan pada administrasi, sedangkan common law menitikberatkan pada judicial. Sementara itu rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda; konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before of law.[13]
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa hukum Indonesia memiliki dua dimensi yakni:[14] 1). Dalam negara hukum Indonesia, aturan hukumnya haruslah berasal dari Pancasila; 2) negara hukum Indonesia  haruslah diisi dengan doktrin-doktrin atau konsep yang telah diterima oleh bangsa Indonesia seperti : hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang bebas, asas legalitas formal maupun material.
Simposium tentang negara hukum Indonesia yang diadakan oleh Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 6 hingga 8 Mei 1966 dalam kesimpulannya menentukan ada empat ciri negara hukum Indonesia  yakni :
1)      Pancasila menjiwai setiap peraturan hukum dan pelaksanaannya. Asas kekeluargaan merupakan titik tolak negara hukum Indonesia .
2)      Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
3)      Peradilan bebas.
4)      Legalitas dalam arti hukum dan semua bentuknya.
Sementara itu, Philipus M Hadjon mengemukakan unsur-unsur negara hukum Indonesia berupa : a) Keserasian hubungan antara Pemerintah dan rakyat; b) Hubungan fungsional yang proporsional diantara kekuasaan-kekuasaan negara; c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sarana terakhir; d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.[15]
Meski ada banyak pandangan tentang corak khas negara hukum Indonesia, namun inti terdalam dari negara hukum itu kiranya dapat didefenisikan yakni tunduknya penguasa dan Indonesia terhadap hukum Indonesia yang dibuat secara demokratis dan berjiwakan Pancasila. Dalam keadaan demikian, menurut Padmo Wahjono hukum harus merupakan titik sentral dalam kehidupan perorangan, masyarakat, bangsa dan negara.[16]
Bila hukum dijadikan titik sentral, maka faktor penegakan hukum memiliki peranan penting kalau cita-cita hukum yakni “keadilan” betul-betul ingin diwujudkan. Berbicara faktor penegak hukum, maka dalam analisisterakhir kekuasaan kehakiman merupakan faktor kunci. Artinya meski substansi hukum telah memadai, alat penegak hukum lainnya (polisi, jaksa) telah bekerja maksimal, namun kalau hakimnya tidak memiliki integeritas, niscaya inti negara hukum yakni supremasi negara hukum (hukum sebagai titik sentral kehidupan) tidak bisa terwujud. Sebaliknya jika hakim memiliki integritas tinggi, meski aturan hukum kurang sempurna, penegak hukum lainnya kurang kredibilitas, dapat diyakini, supremasi hukum dan cita hukum (keadilan) pasti terwujud dimasyarakat. Dengan gambaran itu dapat dipahami bahwa dalam negara Indonesia kekuasaan kehakiman merupakan benteng terakhir bagi tegaknya negara hukum Indonesia. Sesungguhnya tergantung pada peranan hakimlah terwujud atau tidaknya negara hukum Indonesia.[17]
Menyadari posisi sentral kekuasaan kehakiman sebagai benteng terakhir negara hukum Indonesia, penulis percaya, semua orang akan setuju kalau kekuasaan itu tidak dijalankan secara sewenang-wenang cita negara hukum Indonesia tidak akan pernah terwujud. Dengan demikian tergambar bahwa betapa pentingnya eksistensi kekuasaan kehakiman dalam negara hukum Indonesia.

B.       Pengertian Negara Hukum
Pengertian tentang negara hukum masih terus berkembang sampai sekarang, untuk pertama kali cita negara hukum ini dikemukakan dalam abad ke-17 di Inggris dan merupakan latar belakang Revolusi 1688. Hal ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu bangsa. Sejarah dan perkembangan masyarakat setiap negara tidaklah sama, maka pengertian dan unsur-unsur negara hukumnya pun berbeda pula.[18]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa isi dan unsur-unsur negara hukum suatu negara di dunia ini berbeda satu sama lainnya, karena volkgeistnya yang berbeda. Konsep negara hukum, yang pernah ada dan dilaksanakan oleh setiap negara, di dunia dikenal tiga konsep. Dari ketiga konsep negara hukum itu, di dalamnya terdapat juga unsur-unsurnya. Unsur-unsur tadi akan terdapat perbedaan dan persamaannya. Demikian pula dengan Indonesia yang menyatakan negaranya sebagai negara hukum, apakah juga mempunyai prinsip-prinsip atau unsur-unsur yang khas dalam konsep negara hukumnya dibandingkan dengan ketiga konsep negara hukum yang dikenal di dunia.
Kata negara hukum merupakan pengertian dari suatu kata majemuk, yaitu negara dan hukum. Dalam memberikan pengertiannya, setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan, baik terhadap kata hukum maupun terhadap kata negara. Demikian juga halnya dengan bobot nilai dari masing-masing unsur negara hukum.[19]
Dalam konteks Indonesia adalah negara hukum, pengertian-pengertian yang memiliki dimensi ke Indonesiaan banyak dijumpai dalam kepustakaan hukum Indonesia. Wiryono Prodjodikoro memberi pengertian negara hukum adalah negara dimana para penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.[20]
            M. Yamin  mengartikan negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan pemerintahan tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, malainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah, sesuai dengan asas “the laws and not men shall govern”.[21]
            Sementara itu Joeniarto memberi pengertian negara hukum adalah negara dimana tindakan penguasanya harus dibatasi oleh hukum yang berlaku.[22]
Sudargo Gautama[23] yang menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran kedaulatan hukum memberi pengertian ; negara hukum adalah negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum.[24]
Di sisi lain Soediman Kartohadiprojo menyatakan bahwa negara hukum adalah negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang di dalamnya dijamin sebaik-baiknya oleh hukum.[25]
            Jika dicari inti dari pengertian negara hukum yang dikemukakan oleh para sarjana Indonesia yang cukup terkemuka itu, nampaknya mereka semua menekankan tentang tunduknya penguasa terhadap hukum sebagai esensi negara hukum. Esensi negara hukum yang demikian itu sangat relevan dengan tema sentral disertasi ini yang menitik beratkan pada tunduknya kekuasaan kahakiman pada hukum.
            Untuk lebih memantapkan dukungan ilmiah terhadap kebenaran Proposisi “kekuasaan kehakiman tunduk pada hukum” perlu dilakukan pembahasan yang lebih luas tentang keanekaragaman  konsep negara hukum sebagai batu loncatan untuk sampai pada uraian Indonesia adalah negara hukumseperti telah disinggung didepan. Dalam pengkajian Indonesia adalah negara hukum akan ditekankan pada pemikiran bahwa kekuasaan kehakiman Indonesia juga tunduk pada hukum. Pemikiran demikian sangat penting untuk mengantarkan persepsi bahwa tunduknya kekuasaan kehakiman pada hukum menyebabkan munculnya pemahaman akan adanya batas-batas kebebasan kekuasaan kehakiman.
Sebelum Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi hal itu dapat diketemukan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pada Kunci Pertama Sistem Pemerintahan Negara, yang menyatakan “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Dari sini berarti, rechtsstaat diartikan sama dengan negara berdasar atas hukum atau negara hukum.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 negara hukum Indonesia tidak dirumuskan secara tegas, tidaklah demikian halnya dengan Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar 1950. Kedua aturan dasar terakhir ini secara tegas menyatakan bahwa Republik Indonesia (Serikat) adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS menyebutkan “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Begitu pula Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara1950 menyebutkan “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Baru pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan secara tegas bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah. Dengan demikian berdasarkan ketiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, semua menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum atau negara berdasar hukum, dengan tanpa menjelaskan lebih lanjut pengertian, isi dan unsur-unsur  yang terkandung di dalamnya.
Apabila diperhatikan, terbentuknya dari suatu negara Republik Indonesia yang berdasarkan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, sebagai akibat turut sertanya pihak luar negeri atau pihak sekutu (Belanda, Inggeris dan USA). Kemudian kedua konstitusi tersebut, dimasuki unsur-unsur barat (individualistis), yang bertentangan dengan paham Pancasila, yang mengandung unsur-unsur komunalistis. Oleh karena itu, kedua konstitusi tersebut tidak dapat bertahan lama, seperti Undang-Undang Dasar 1945, karena kurang berkenan dihati rakyat Indonesia, yaitu adanya unsur komunalistis yang kental.
Walaupun ketiga konstitusi tersebut, terdapat perbedaan materi yang dikandungkan, akan tetapi akan selalu terdapat kesamaan juga dalam berlakunya di Negara Republik Indonesia. Sebab pada dasarnya seluruh Konstitusi di dunia terutama yang berdokumen atau tertulis, selalu terdapat tiga isi pokok penting, yang harus disikapi oleh suatu negara.
Adapun ketiga pokok penting tadi, dapat disebutkan, yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan yang ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[26]
Di samping ketiga isi pokok penting suatu konstitusi bagi rakyatnya, pemerintahannya atau negaranya beserta wilayahnya, juga tidak kalah pentingnya, juga bahwa di dalam konstitusi itu, digantungkan kepada panjang-pendeknya pasal-pasal yang mengatur ketiga isi pokok penting tersebut. Lebih tentunya sejauhmana terperincinya masalah hukum, sistem hukum, perencanaan, pembentukan, penerapan, penegakan, penyuluhan, pendidikan serta penelitian hukum. Begitupun juga, pelaksanaan dan pengertian negara hukum di tiap-tiap negara di dunia, satu sama lain berbeda. Sangat mustahil apabila, pengertian dan pelaksanaan hukum atau negara hukum, murni atau sama dengan pada waktu pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor suatu negara, yaitu kultur, politik, struktur dan sistem. Juga adanya “volkgeist” atau jiwa bangsa tiap negara, merupakan ciri-ciri perbedaan suatu negara.[27]

C.      Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Konstitusi dalam istilah bahasa Prancis diambil dari Constituir yang  berarti “membentuk” dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Grondwet dan dalam bahasa jerman disebut dengan Grundgesetz  yang diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. [28]
Dalam konteks ketatanegaraan dapat diterjemahkan dengan pembentukan suatu negara atau menyusun dan  menyatakan suatu negara. Dapat pula berarti peraturan dasar mengenai pembentukan suatu negara. Menurut Sri Soemantri Konstitusi adalah  suatu naskah yang memuat suatu bangunan negara dan sendi sistem pemerintahan negara. [29]
Secara terminologi Konstitusi merupakan sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk dapat menjadi jelas, ada baiknya dipilah antara makna Konstitusi dengan UUD, bahwa sebenarnya Konstitusi lebih luas daripada UUD dengan dasar pertimbangan bahwa Konstitusi bersifat Yuridis, Sosiologis serta Politis sedangkan UUD hanyalah sebagian dari pengertian Konstitusi, yakni Konstitusi Tertulis. Secara sosiologis dan politis Konstitusi memiliki kekuatan yang nyata dalam masyarakat dan menggambarkan hubungan antara kekuasaan yang terdapat secara nyata dalam suatu negara dan secara Yuridis mengemukakan suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Unsur-unsur konstitusi merupakan perwujudan dan perjanjian masyarakat, dengan demikian merupakan konklusi dari kesepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengaturnya, selain itu termuat pula piagam yang menjamin hak asasi manusia dan warga nerga sekaligus didalamnya termuat penentuan batas-batas hak dan kewajiban warga negara dan alat-alat pemerintahannya. Dengan demikian tujuan konstitusi adalah memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik dan melepaskan konstol kekuasaan dari penguasa dengan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Sejauhmana pentingnya konstitusi dalam suatu negara, dapat dikemukakan bahwa dalam negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, kedudukan Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah dengan tujuan agar penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan hak-hak warga negara terlindungi. Hakikatnya konstitusi tersebut perwujudan paham tentang pemerintah dan jaminan terhadap hak warga negara maupun setiap penduduk.  Selain itu Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dan dokumen formal berisi hasil perjuangan politik bangsa di masa lalu sebagai tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan yang dihasilkan dari pandangan tokoh bangsa dan diwujudkan sekarang dan masa datang, dengan bahasa lugas bahwa adanya suatu keinginan memimpin perkembangan kehidupan ketatanegaraan
Konstitusi yang mengadung prinsip-prinsip demokrasi, merupakan media untuk menciptakan demokrasi bagi warga negara. Dalam negara demokrasi konstitusi merupakan aturan yang  dapat menjamin terwujudnya demokrasi, sehingga melahirkan pemerintahan yang demokratis. Dapat pula dikatakan bahwa konstitusi merupakan prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara.


D.      Konsep Negara Hukum

Konsep Rechtsstaat

Istilah Rechtsstaat pertama kali dipergunakan oleh Rudolf Von Gneist, guru besar Universitas Berlin dalam sebuah karangannya yang berjudul “Das Englische Verwaltungscrecht”, 1857. dalam karangannya itu digunakan istilah Rechtsstaat untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris. Berkenaan dengan hal ini Wilem Van Der Vlugt, guru besar di Leiden dalam disertasinya yang berjudul “De Rechtsstaat Volgens de Leer Van Rudolf Von Gneist” menyatakan; kepada Gneist-lah diberi kehormatan yang tadinya dengan kurang tepat diberikan kepada Montesquieu, sebagai seorang yang mewedarkan tata negara Inggris sebagai satu kesatuan yang hidup.[30]
Ditinjau dari segi perkembangannya, konsep Rechtsstaat telah berkembang dari konsep klasik ke arah konsep modern. Konsep klasik disebut “Klassiek Liberale en Democratische Rechtsstaat” disingkat “Democratische Rechtsstaat”. Konsep modern di Belanda disebut “Sociale Rechtsstaat” atau juga disebut “Sociale -  democratische Rechtsstaat”.[31]
Ciri-ciri Rechtsstaat yang klasik[32] (formal rechtsstaat) menurut Friederich Julius Stahl adalah :[33]
1.      Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia.
2.      Adanya pembagian kekuasaan.
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur).
4.      Adanya peradilan tata usaha.

Di sisi lain S. W. Couwenberg seperti dikutip Philipus M. Hadjon, mengemukakan prinsip-prinsip liberal dan prinsip-prinsip demokratis dari konsep Rechtsstaat yang klasik. Prinsip-prinsip liberal meliputi :[34]
1)     Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil (dengan scheiding tussen staat en burgerlijke maatschappij), pemisahan antara kepentingan umum  dan kepentingan khusus perorangan; pemisahan antara hukum publik dan hukum privat.
2)     Pemisahan antara negara dan gereja.
3)     Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil (burgerlijke vrijheidsrechten).
4)     Persamaan terhadap Undang-undang (gelijkheid voor de wet).
5)     Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dasar sistem hukum.
6)     Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem “checks and balances”.
7)     Asas legalitas (heerschappij van de wet).
8)     Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan netral.
9)     Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip-prinsip tersebut diletakan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.
10) Prinsip pembagian kekuasaan[35] baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem federasi maupun desentralisasi).

Bersamaan dengan prinsip-prinsip liberal di atas, asas-asas demokratis yang melandasi Rechtsstaat adalah :
1)      Asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten).
2)      Asas mayoritas.
3)      Asas perwakilan.
4)      Asas pertanggungjawaban.
5)      Asas publik (openbaarheids beginsel).

Berdasarkan pada prinsip liberal dan prinsip demokratis tersebut maka Rechtsstaat memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut :[36]
a)      Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
b)      Adanya pembagian kekuasaan negara yang meliputi : kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu dan rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya pada Undang-Undang.
c)      Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Vrijheidsrechten van de burger).

Sehubungan dengan ciri-ciri Rechtsstaat, Sudargo Gautama menyebutkan adanya 5 ciri Rechtsstaat yakni :[37]
a)      Terdapat pembatasan kekuasaan negara kepada perorangan. Pembatasan itu dilakukan oleh hukum.
b)      Pelanggaran atas hak-hak individu hanya boleh atas dasar aturan hukum (asas legalitas).
c)      Adanya perlindungan hak asasi manusia (hak-hak kodrat)
d)     Adanya pemisahan kekuasaan.
e)      Badan peradilan yang tak memihak.

Frans Magnis Suseno mengemukakan adanya 4 ciri Rechtsstaat yakni : a) asas legalitas; b) kebebasan / kemandirian kekuasaan kehakiman; c) perlindungan hak asasi manusia; d) sistem konstitusi / hukum dasar.[38]
Sementara itu, perkembangan konsep Rechtsstaat  klasik ke arah  modern[39] disebabkan oleh adanya krisisi ekonomi yang melanda dunia setelah berakhirnya perang dunia II. Konsep modern yang berupa Sociale Rechtsstaat  dengan fungsi negara telah memunculkan konsep baru yakni konsep “Welvaartsstaat” yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Verzorgingsstaat” yang hakikatnya merupakan konsep-konsep sosiologi dan politikologi. S. W. Couwenberg menganggap bahwa Sociale Rechtsstaat  merupakan variant dari “Leberaale-Democratische Rechtsstaat”. Sebagai variant ia memunculkan interupsi baru terhadap hak-hak klasik dan bersamaan dengan itu munculah hak-hak sosial; interpretasi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari “Wet” dan “Wetgeving”.[40]
Perkembangan terakhir menunjukan bahwa dalam negara “Welvaartsstaat” (Sociale Rechtsstaat) kegiatan ekonomi dilakukan oleh negara dan oleh privat (mixed economy). Dalam keadaan demikian negara memiliki 4 fungsi yakni:  a) State as provider (penyelenggara kesejahteraan); b) State as regulator (pengatur); c) State as enterpreneur (pengusaha); d) State as empire (wasit).[41]
Konsep Rule of Law
Konsep Rule of Law yang semula dianut Inggris, menurut A V Dicey mengandung tiga unsur pokok yakni : 1) supremasi absolut atau predominasi dari “regular law” untuk menentang pengaruh dari “arbitary power” dan meniadakan kesewenang-wenangan prerogatif atau “discretionary authority” yang luas dari pemerintah; 2) persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik perseorangan maupun pejabat negara[42] berkewajiban untuk mentaati hukum tidak ada peradilan administrasi; 3) konstitusi adalah hasil dari “the ordinary law of the land”, bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak individu yang dirumuskan dan ditegakan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. Di sisi lain, ECS Wade & G. Philips mengetengahkan tiga unsur pokok Rule of law yakni : 1) Rule of law merupakan konsep filosofis yang dalam tradisi barat berkaitan dengan demokrasi, menentang otokrasi; 2) Rule of law merupakan doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; 3) Rule of law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh dalam peraturan-peraturan hukum baik hukum substantif maupun hukum acara. Pandangan Wade & Philip ini ternyata telah mendapat pengaruh dari sistem hukum Eropa di luar Inggris, sedangkan pandangan A. V. Dicey merupakana pandangan murni berdasarkan sistem hukum Common Law Inggris.[43]
Konsep Rule of law  klasik selain dikecam oleh Wade & Philip ternyata juga mendapat kecaman baik dari kelompok kiri maupun dari kelompok kanan. Kelompok kiri memandang model klasik itu telah gagal dalam mencapai tujuannya. Kegagalan itu disebabkan karena ia didasarkan pada suatu konsep yang sempit tentang pemerintahan yang semata-mata mengkaitkan pemerintah dengan faktor hukum saja. Berkenaan dengan hal ini, B. A. Hepple mengatakan :[44]
………”They say that the weaknessof the classical model is not that is es poused the ideals of universality, openness, equality, and accountability; but rather that in moderns conditions it fails to achieve these ideals. It fails becauseit is based on unduly narrow concept of government according to law”……. (garis bawah dari penulis).

Salah satu contoh tidak tercapainya tujuan negara hukum klasik menurut Jowel (seorang kelompok kiri) bisa dilihat bahwa salah satu tujuan negara hukum klasik adalah untuk memberikan pengawasan terhadap kekuasaan administratif; justru menurut dia pengawasan semacam itu lebih mantap dewasa ini dibandingkan pada jamannya Dicey (………”in many respect the underlying need for the control of administrative is more pressing to day than in Dicey’s time”)[45]
Sementara kelompok kanan mengecam bahwa Rule of law  versi Dicey lebih banyak menekankan pada perlindungan individu, misalnya undang-undang perburuhan yang sangat mencolok melindungi buruh secara individual. Keberatan datang dari para majikan yang menilai Undang-undang itu menghalangi mereka bertindak cepat, fleksibel dan tidak bisa mengefektifkan biaya-biaya untuk mengantisipasi tuntutan pasar. Tentang ini Hepple mengatakan :
For example, employers claimed that labor laws preventing them from reacting quickly, flexible and cost-effectively to changing market requiretmenst”.[46]

Dengan adanya kecaman-kecaman itu, Rule of law  modern menurut Hepple harus diwarnai oleh adanya peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pemerintah. Dengan demikian ciri-ciri Rule of law  modern menurut dia adalah : a) Universality (universalitas); b) Openness (keterbukaan); c) Equality (persamaan); d) Acountability (pertanggungjawaban); e) Clarity (Kejelasan); dan f) Rationality. (Lebih jauh dalam Rule of law  modern fungsi negara menurut Hepple adalah………”Instead of giving priority to state policies such as the protection of tenants or of individual employees, the overall objective of the state has been redefined as being the revitalization of the profit based market economy” bahwa disamping membuat kebijakan untuk memberikan perlindungan kepada individu juga perlu dirumuskan kembali peranan negara untuk merevitalisasi landasan perolehan keuntungan pada ekonomi pasar.[47]
Meskipun terdapat berbagai versi tentang konsep Rule of law , namun menurut Sunaryati Hartono, inti dari konsep Rule of law  tetap sama yakni harus menjamin apa yang oleh masyarakat dipandang sebagai “keadilan” khususunya keadilan sosial.[48]
Bila konsep Rechtsstaat  diperbandingkan dengan konsep Rule of law maka akan tampak adanya perbedaan dan persamaan. Perbedaannya yakni kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda, dan karakteristik konsep Rechtsstaat adalah administratif (adanya peradilan administratif) dan karakteristik konsep Rule of law  adalah judicial, pembatasan kekuasaan melalui dokumen konstitusi seperti misalnya Herbeas Corpus, antara lain mengatur tentang peradilan yang adil dan penekanan tidak sewenang-wenang.
Persamaannya adalah bahwa kedua konsep itu sama-sama menekankan pada perlindungan hak asasi manusia. Secara lebih spesifik, persamaan kedua model itu berupa adanya hak bagi anggota masyarakat untuk menggugat setiap keputusan pejabat yang merugikan.[49]

Konsep Socialist Legality

Konsep Socialist Legality (negara hukum sosialis) dianut oleh negara-negara sosialis (komunis) seperti eks Uni Soviet dan beberapa negara komunis lainnya yang hingga kini tetap eksis.
Pemikiran tentang Socialist Legality sempat dibahas dalam diskusi Warsawa Colloquium, dan dalam kesempatan itu Tchikvadze menyatakan :[50]
Socialist Legality safe guard the political right and liberties of citizen, it protec their rights to work and to a home, as well as other interest and right affecting the person and good citizens, their life, their health and their human dignity. The protection of rights and civic liberties is one of the essential constituents of socialist legality ” (Garis bawah dari penulis).

Senada dengan Tchikvadze, Romashkin menyatakan :[51]

It (Socialist Legality) stand and guard of the citizens, political right and freedom, it protects their labor, housing and other personal and corporal rights and interest and their life, health, dignity and reputation”.
Berdasarkan pada pandangan sarjana-sarjana itu dan juga berdasarkan pada teori dan praktek  sistem hukum sosialis Umar Seno Adji mencoba untuk mengidentifikasi beberapa ciri konsep Socialist Legality sebagai berikut :[52]
a)      Adanya perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan warga negara. Perlindungan ini terutama diberikan kepada kaum buruh (labor).
b)      Berkaitan dengan kebebasan (freedom) dan tanggungjawab (responsibility) Socialist Legality lebih mendahulukan “Resposibility” ketimbang “freedom”.
c)      Adanya pemisahan secara tajam antara negara dan gereja berdasarkan prinsip “Trennung Von Staat und Kirche”.
d)     Adanya kebebasan kekuasaan kehakiman yang diatur secara tegas dalam konstitusi.
e)      Larangan terhadap berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospektif.
f)       Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan untuk mengkritik kaum kapitalis maupun kaum borjuis.
g)      Hukum dimaknai sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Posisi hukum adalah subordinasi terhadap sosialisme.

Meski secara konstitusional kekuasaan kehakiman adalah bebas namun demi kepentingan sosialisme dalam prakteknya hakim-hakim di Uni Soviet misalnya tunduk pada kebijakan rahasia dari penguasa dan tunduk pada perintah-perintah pejabat partai komunis Uni Soviet. Hal ini dituturkan oleh Solzheinitsyn seperti dikutip Antony Allot sebagai berikut :[53]
            The USSR………has no predictable system of law; it has an arbitrary system of sanctions meted out bay courts which act according to the secret discretions and instructions of party officials, from which there is no appeal, and whom there is no possibility of effective argument……The law in our country in its might and its flexibility is unlike anything called ‘law’ else where on earth”. (garis bawah dari penulis).


E.       Ide Negara Hukum
Mencermati pada latar belakang dan perkembangan baik konsep rechtsstaat pada satu sisi maupun the rule of law pada sisi lain maka pada dasarnya kedua konsep tersebut berhubungan erat dengan dua hal. Pertama sebagai reaksi terhadap absolutisme yang menjadi ciri khas pemerintahan pada masa lalu. Kedua sebagai refleksi dari perlindungan terhadap hak-hak sipil sebagai instrumen dasar dari konsep negara hukum maupun negara bedasar atas hukum. Hak-hak sipil yang melekat pada warga negara sebagai unsur penting dari eksistensi negara memperoleh proteksi yang sifatnya esensial dan menjadi esensi dari keberadaan negara. 
Tentu bukan hanya soal kosa kata, ketika Negara Hukum dan negara berdasar atas hukum dijadikan sebagai dasar konseptual untuk memahami negara hukum Indonesia. Pengertian tentang kedua konsep di atas tidak sekadar penambahan kosa kata “berdasar atas”. Secara  konseptual ada perbedaan yang membawa implikasi kepada implementasi sistem ketatanegaraan. Konkretnya memang ada yang membedakan pemahaman antara “Negara Hukum” pada satu sisi dan “Negara Berdasarkan Atas Hukum” pada sisi lain.
Pemahaman pertama (negara hukum) memberi penekanan pada makna positifistik dalam arti bahwa segala sesuatu yang berjalan di atas negara semuanya didasarkan atas aturan-aturan hukum yang sudah dipositifkan. Secara ekstrem tidak ada toleransi (bahkan sedikitpun) untuk melampaui, atau membijaksanai berlaku dan kinerjanya hukum. Hukum dalam kaitan ini dipahamkan sebagai aturan tertulis yang harus diaatai oleh semua pihak. Di luar itu tidak ada hukum dan berbagai peristiwa yang timbul harus didasarkan pada ketentuan positif yang sudah ada. Apa pun perkaranya sudah harus ada hukumnya. Hukum dimaknai sebagai institusi normatif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pemahaman terhadap “Negara Berdasarkan Atas Hukum”, merujuk pada pengertian hukum sebagai instrumen yang menjadi semacam wasit dalam tatanan sosial. Sebagai wasit dalam tatanan sosial, rujukan hukum tidak pada dimensinya yang bersifat positifistik (seperti negara hukum) tetapi lebih menekankan pada realitas sosial. Hukum dalam hubungan ini lebih ditekankan pada manfaatnya (dengan tidak mengabaikan aspek lain semisal keadilan dan kepastian), yang karenanya bisa dielastisitaskan sedemikian rupa sehingga pemaknannya tidak semata pada ketersediaan aturan. Lebih mendasar dari itu, kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan dengan baik di atas koridor hukum yang dimaknai secara sosiologis. Aturan hukum tidak diinterpretasikan secara normatif  (dogmatis) tetapi juga dimaknai secara sosiologis, bahkan individualis disesuaikan dengan perkembangan waktu dan keadaan dan subyeknya.
Makna negara hukum dalam pemahaman pertama, menunjukkan karakter sistem hukum Eropa Continental pada umumnya yang berangkat dari pola positifistik dari kinerja hukum. Hukum dimaknai sebagai pedoman yang mesti dijalankan di atas prinsip, kendatipun esok langit runtuh, hari ini hukum harus tetap dijalankan. Awal  dari pemahaman sistem hukum Eropa Continental ini berasal dari konsep rechtsstaat (Jerman) yang populer semenjak abad XIX. Sebagaimana diketahui konsep tentang rechtsstaat lahir dari perjuangan panjang menentang absolutisme yang sudah sedemikian kuat mengakar di masyarakat kala itu. Perjuangan menentang absolutisme itu mendasar dan boleh dikatakan bersifat revolusioner. Absolutisme sebagai sistem pemerintahan yang sudah lama berkesempatan mengukir sejarah dunia, digeser dan diganti dengan sistem yang bersifat terbuka, akomodatif dan aspiratif terhadap kebutuhan serta kehendak seluruh komponen negara.
  Sementara makna negara berdasarkan atas hukum berangkat dari pola hukum Anglo Amerika yang lebih dikenal dengan the rule of law. Konsep hukum dalam sistem ini lebih banyak memahami kontekstualitas hukum dalam kedudukannya sebagai instrumen perekayasa sosial (social engineering) dan pedoman bermasyarakat serta bernegara. Prinsipnya bahwa hukum adalah aturan yang dibuat untuk menata kehidupan sosial. Sepanjang keberadaannya tidak bertentangan dengan norma sosial, kinerja hukum harus dipahami sebagai upaya menuju integrasi sosial dan integrasi seluruh potensi dalam kehidupan komunal tersebut. Dalam konsep awalnya, the rule of law berkembang secara evolusioner, hal itu dapat dicermati dari karakteristiknya yang bersifat common atau umum, yang memaknai konsep ini sebagai bentuk akomodasi terhadap kepentingan umum sebagai orientasi dasar keberadaan negara sehingga konsep the rule of law juga lebih dikenal pula dengan sistem common law.

F.       Penutup
Pemahaman yang diwarisi oleh sistem Eropa Continental yang menjadi basis sistem hukum Belanda itulah yang kiranya menjadi isi dari kalimat pada Penjelasan Undang Undang Dasar 1945 yaitu Indonesia adalah Negara Berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) bukan negara yang didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Legalitas mengenai hal ini dapat dipahami karena Indonesia dijajah oleh Belanda yang   menerapkan sistem hukum Eropa Continental di dalam kinerja hukumnya. Apa lagi penerapan di Indonesia berlaku untuk jangka waktu yang sangat lama sehingga sistem itu mengakar kuat dalam berbagai elemen dari kinerja hukum.
Jadi ide dasar negara berdasarkan atas hukum itu bukan the rule of law melainkan rechtsstaat. Dimensi historis dari konsep rechtsstaat masuk ke Indonesia dapat dicermati berdasarkan ketentuan dalam Regeringsreglement (RR) atau lengkapnya reglement op het beleid der regeering van Nederland Indie sebagaimana dimuat dalam Wet 2 September 1854 yang diubah dengan Wet 23 Juni 1925 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1926. dan sejak itu lebih dikenal dengan Indische Staatsregeling. Produk hukum  ini adalah semacam peraturan perundangan tertinggi yang berlaku untuk daerah jajahan, khususnya di Hindia Belanda dan menjadi payung dari bebagai produk hukum lain yang secara hirarkhis berada di bawahnya.


BAHAN RUJUKAN

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995
Allot, Antony. The Limits of Law, London: Butterworth & Co, 1980
Friedman, W. The State and The Rule of Law In Mixed Economy, (London: Steven & Sons. 1971
Gunther, Gerald. Cases And Materials on Constitution Law, New York: The Foundation Press, Inc., Mineola, 1980
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973
Hepple, B A. Deregulation And The Rule of Law An English View, dalam “Rechtsstaat en Sturing”, Editor, MAP Bovens (et al), Zwolle: WEJ Tjeenk Wilink,  1987
Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule of Law Itu, Bandung: Alumni, 1969
Iver, Mac. The Modern State, Oxford: University Press, 1970
Joeniarto, Negara Hukum,  Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada,  1968
Kartohadiprojo, Soediman. Negara RI Negara Hukum, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar UI, 17 Januari 1953, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1953
--------------------------------. Prasaran, dalam “Indonesia Negara Hukum”, Simposium UI, 6 – 8 Mei, Jakarta, 1966
Meuwissen, DHM. Grondrechten, AULA: Vitgeverij Het Spectrum, Utrecht/Antwerpen, 1984
Magnis Suseno, Frans. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1991
Mahfud MD, Moh.  Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. (Yogyakarta: Gama Media. 1999
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Negara dan Politik, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1971
Soemantri, Sri. 1979. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar  1945. Bandung: Alumni 
SDW, Dodo. 2002. “Asas Negara Hukum Menurut Paham Pancasila”. Artikel dalam Jurnal Keadilan Volume 2 Nomor 1. Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan
Subagio, Mas. Ensiklopedia Perundang-undangan Republik Indonesia, Bandung: Alumni, 1976
Seno Adji, Oemar. Prasaran, Dalam “Indonesia Negara Hukum”,  Simposium UI, 6 – 8 Mei , Jakarta, 1966
Thaib, Dahlan. et.al. Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet. Ketiga, 2003
Van Maarseveen, Henc. & Ger van Der Tang, Writen Constitution, New York, Sijthoff & Nordhoff, Alphenaan de Rijn, Netherland : Oceana Publication , Inc, Dobbs Ferry, 1978
Wheare, K. C.  Modern Constitution, London, New York, Dst,: Oxford University Press, 1975
Wahyono, Padmo. Negara Republik Indonesia, Jakarta: Raja Grafika Persada, 1995
Yamin, Muhamad. Proklamasi dan Konstitusi, Jakarta : Djambatan, 1952


[1]       Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
[2]       K. C. Wheare, Modern Constitution, (London, New York, Dst,: Oxford University Press, 1975), hlm. 33 – 34.    
[3]       DHM Meuwissen, Grondrechten, (AULA: Vitgeverij Het Spectrum, Utrecht/Antwerpen, 1984), hlm. 147.
[4]       Henc van Maarseveen & Ger van Der Tang, Writen Constitution, (New York, Sijthoff & Nordhoff, Alphenaan de Rijn, Netherland : Oceana Publication , Inc, Dobbs Ferry, 1978), hlm. 291.
[5]       Muhamad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta : Djambatan, 1952), hlm. 68.
[6]   Henc van Maarseveen & Ger van Der Tang, Op. Cit., hlm. 292.
[7]   K C Wheare, op. cit., hlm. 2.
[8]  Lihat dalam: Mac Iver, The Modern State, (Oxford: University Press, 1970), hlm 250. dalam halaman 252 dtegaskan bahwa “ordinary law” sebutan lain dari “the law of which state govern” adalah merupakan hukum positif yang mengatur tingkah laku warga negara.
[9]       Mas Subagio, Ensiklopedia Perundang-undangan Republik Indonesia, (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 141.
[10]     Lihat : Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 207.
[11]     Gerald Gunther, Cases And Materials on Constitution Law, (New York: The Foundation Press, Inc., Mineola, 1980), hlm. 404.
[12]   Dalam kaitan relevansi negara hukum untuk memberikan legitimasi politik, Daniel S Lev secara panjang lebar menguraikan perihal bagaimana getolnya Soeharto melakukan retorika-retorika politik dengan menyatakan bahwa pemerintah yang ia pimpin (Orde Baru) berdasarkan atas hukum melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
[13]     Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. (Yogyakarta: Gama Media. 1999),  hlm. 126-127.
[14]   Oemar Seno Adji. Prasaran, Dalam “Indonesia Negara Hukum”,  Simposium UI, 6 – 8 Mei , Jakarta, 1966, hlm. 38
[15]   Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 85.
[16]     Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 1995), hlm. 14.
[17]      Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu, (Bandung: Alumni, 1969), hlm. 12.
[18]     Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 1.
[19]     Ibid.
[20]  Wirjono Prodjodikoro, Hukum Negara dan Politik, (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1971), hlm. 10.
[21]    Muhamad Yamin,op. cit., hlm. 74.
[22]    Joeniarto, Negara Hukum,  (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada,  1968),  hlm. 8.
[23]   Sarjana ini berbeda pandangan dengan H. Kelsen mengenai negara identik dengan hukum atau tertib negara (staatorde) adalah juga tertib hukum (normen ordering). Menurut S. Gautama Negara dan Hukum tidak dapat disamakan satu sama lain.
[24]    Sudargo Gautama, Pengertian Tentang negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 34, 37.
[25]    Soediman Kartohadiprojo, Negara RI Negara Hukum, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar UI, 17 Januari 1953, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1953, hlm. 13.
[26]     M. Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar  1945. (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 45. 
[27]     Dodo SDW. Asas Negara Hukum Menurut Paham Pancasila. Artikel dalam Jurnal Keadilan Volume 2 Nomor 1. Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan. hlm. 35.
[28]     Lihat dalam : Dahlan Thaib, et.al. Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  cet. Ketiga, 2003), hlm. 8.
[29]     Sri Soemantri,  op.cit. hlm. 1-2.
[30]     Soediman Kartohadiprodjo, Prasaran, dalam “Indonesia Negara Hukum”, Simposium UI, 6 – 8 Mei, Jakarta, 1966, hlm. 91.
[31]     Philipus M. Hadjon, op. cit., hlm. 74.
[32]    Bandingkan pandangan F. J. Stahl dengan Immanuel Kant yang menganggap Rechtsstaat yang klasik berfungsi sebagai Nachtwachterstaat (Zuivere Liberale Rechtsstaat).
[33]     Oemar Seno Adji, Prasaran, ….op. cit., hlm. 24.
[34]     Philipus M. Hadjon, op. cit., hlm. 75 – 76.
[35] Nampaknya pembagian kekuasaan yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah atau antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.
[36]   Philipus M. Hadjon (I), Op. Cit., hlm. 76.
[37]   Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm. 8 – 10.
[38]     Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 298 – 301.
[39]  Meski konsep modern dari Rechtsstaat ini mengakui peranan negara cukup dominan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (sesuai konsep Welvaartsstaat) tidaklah berarti asas-asas Rechtsstaat yang klasik otomatis dikesampingkan. Asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan individu tetap relevan justru karena konsep modern itu lebih membuka peluang bagi penguasas bertindak sewenang-wenang di bidang sosial / ekonomi. Hal itu diuraikan secara lebih luas oleh Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul  Pengertian Tentang Negara Hukum”, 1973, halaman 17 hingga halaman 22.
[40]   Philipus M. Hadjon (I), Op. Cit., hlm. 77 – 78.
[41]  W. Friedman. The State and The Rule of Law In Mixed Economy, (London: Steven & Sons. 1971), hlm. 3.
[42]     Unsur yang kedua dari Rule of Law yang dikemukakan oleh Dicey merupakan dimensi pokok dari pendekatan konseptual dalam penulisan disertasi ini karena analog dengan itu, pejabat peradilan (hakim dan hakim agung) sebagai bagian dari pejabat negara juga harus mentaati hukum terutama hukum konstitusi, hukum acara dan hukum yang mengatur kekuasaan kehakiman itu sendiri.
[43]     Philipus M. Hadjon (I), Op. Cit., hlm. 80 – 82.
[44]     B A Hepple. Deregulation And The Rule of Law An English View, dalam “Rechtsstaat en Sturing”, Editor, MAP Bovens (et al), (Zwolle: WEJ Tjeenk Wilink,  1987), hlm. 164.
[45]     B A Hepple, Ibid.
[46]     Ibid. hlm. 165.
[47]     Ibid., hlm. 165 – 170.
[48]     Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 19.
[49]     Ibid., hlm 124.
[50]     Oemar Seno Adji, Op. Cit., hlm. 24
[51]     Ibid.  hlm. 27
[52]   Oemar Seno Adji (I), Op. Cit., hal. 27 – 35.
[53]   Antony Allot, The Limits of Law, (London: Butterworth & Co, 1980), hlm. 237.