IDE NEGARA HUKUM DALAM KONSTITUSI TERTULIS
REPUBLIK INDONESIA
Indah Ramadhany[1]
ABSTRAK
Untuk
mengetahui apakah suatu negara merupakan negara hukum atau bukan, instrumen
yang paling tepat dipakai sebagai tolak ukurnya adalah konstitusi negara yang bersangkutan, artinya
apakah konstitusi memuat ketentuan tentang negara hukum. Instrumen lain yang
juga dapat dipakai sebagai indikator adalah kesepakatan ilmiah di kalangan para
sarjana yang berupa pandangan-pandangan tentang ciri ataupun unsur negara
hukum.
A.
Pendahuluan
K. C. Wheare memberikan suatu pandangan bahwa isi
minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum. Pandangan ini
dikemukakannya berdasarkan sebuah pertanyaan yang dibuatnya untuk memulai suatu
penalaran dialogis tentang suatu negara hukum, adapun pertanyaan Wheare adalah
:What should a constitution contain? pertanyaan tersebut dijawabnya
dengan ringkas “The very minimum, and
that minimum to be “Rule of Law”.[2]
Berkenaan dengan isi minimum konstitusi adalah negara hukum.
Kajian normatif dilakukan oleh Meuwissen dalam
pengamatannya terhadap isi konstitusi Belanda menemukan bahwa konstitusi
Belanda menurut dia mengandung ciri atau unsur-unsur negara hukum klasik berupa
klassieke vrijheidrechten (de artikelen 1 tot en met 17 de klassieke
vrijheidrechten) dan yang beraspek negara hukum modern (de artikelen 18
tot en met 23 de sociale grondrechten).[3]
Menurut H van Maarsveen dan G. van der Tang dari hasil
penelitiannya terhadap sejumlah konstitusi di dunia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa isi pokok konstitusi adalah negara hukum (Rule of Law) di
samping isi lainnya yang terkait dengan negara hukum. Isi konstitusi seperti
itu menurut kedua sarjana itu juga terdapat pada konstitusi yang tergolong tua
(………”ehich is that of the old constitution; the Rule of Law, the freedoms,
the representation principle, and a number of other convictions”………)[4]
Dalam konteks Negara Hukum Indonesia, dan memperhatikan
pada pandangan-pandangan para sarjana-sarjana diatas, maka konstitusi yang
relevan ditelaah (untuk menjawab pertanyaan apakah Indonesia sebuah negara
hukum), adalah UUD 1945. Karena UUD 1945 yang telah menjadi pilihan dari bangsa
Indonesia melalui para pemimpin bangsa pada waktu lalu (berdasarkan perjalanan
sejarah konstitusional bangsa Indonesia) dan berlaku di Indonesia hingga saat
ini sebagai hukum positif.
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 terdiri dari pembukaan,
Batang Tubuh dan Penjelasan. Dalam Pembukaan UUD 1945 ketentuan yang
mengisyaratkan negara hukum oleh M. Yamin ditunjuk bagian alenia keempat. Tentang
hal ini M. Yamin mengatakan :[5]
…………..”tentang pengertian yang sedemikian didapat pada pembukaan UUD
1945 (kalimat 4). Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia; jadi RI ialah suatu
negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan”.
Memang, kalau diperhatikan dengan seksama kalimat “Maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar” segera tampak bahwa pembentukan UUD 1945 menempatkan UUD sebagai sumber
pengaturan segala kegiatan bernegara dalam suasana Indonesia Merdeka.
Pengaturan segala sesuatu urusan kenegaraan melalui sebuah aturan dasar
tertulis (hukum tertinggi) menunjukan adanya respek pembentukan negara terhadap
negara hukum, karena bukankah salah satu unsur negara hukum adalah “supremmacy
of the law” menurut Dicey atau “Grondrechten” menurut SW Couwenberg.
Dalam batang tubuh UUD 1945, citra negara hukum dapat
dilihat dalam pasal-pasal yang mengandung pengutamaan terhadap hukum (supremmacy
of the law). Dikatakan pengutamaan terhadap hukum karena pasal-pasal itu
mengatur kekuasaan negara yang didstribusikan kepada lembaga-lembaga negara
yang lebih jauh diatur dengan undang-undang. Dalam hal demikian, konstitusi
dapat dianggap sebagai sumber kekuasaan (the nucleus of a country’s public
law, the formal grant of power).[6]
Konstitusi sebagai sumber kekuasaan K. C. Wheare
menggambarkannya sebagai aturan hukum yang mengatur pemerintah (………a
selection of the legal rule which govern the government………),[7]
Marc Iver menyebut konstitusi sebagai sumber kekuasaan dengan istilah “the
law which governs the state” (hukum yang memerintah negara) yang
dibedakannya dengan “the law of which the state govern” (negara yang
digunakan oleh negara untuk memerintah).[8]
Dalam UUD 1945 Hasil Amandemen perubahan pertama sampai
dengan keempat, pasal-pasal yang menghendaki adanya undang-undang yang mengatur
lebih jauh kekuasaan negara sebagai pencerminan citra negara hukum adalah :
Pasal 2 (1) tentang susunan anggota MPR; Pasal 6 (2) tentang syarat-syarat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 6A (5) tentang tatacara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 11 (3) tentang persetujuan perjanjian
internasional; Pasal 15 tentang pemberian tanda jasa dan gelar; Pasal 16
tentang pembentukan dewan pertimbangan presiden; Pasal 17 (4) tentang
kementerian negara; Pasal 18 tentang pembagian wilayah Indonesia dan ayat (7)
tentang susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; Pasal 18A (2) tentang hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah; Pasal 18B (1) tentang pengakuan dan penghormatan kepada
pemerintah daerah; Pasal 18B (2) tentang pengakuan atas kesatuan masyarakat
hukum adat; Pasal 19 (2) tentang susunan anggota DPR; Pasal 20A (4) tentang hak
DPR dan anggota DPR; Pasal 22A tentang tatacara pembentukan undang-undang;
Pasal 22B tentang pemberhentian anggota DPR; Pasal 22C (4) tentang susunan dan
kedudukan DPD; Pasal 22D (4) tentang pemberhentian anggota DPD; Pasal 22E (6)
tentang pemilihan umum; Pasal 23 (1) tentang anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, mata uang, keuangan negara; Pasal 23A tentang Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa; Pasal 23B tentang macam dan harga mata uang; Pasal
23C tentang hal lain mengenai keuangan negara; Pasal 23D tentang Bank Sentral;
Pasal 23G (2) tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Pasal 24 (3) Badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman; Pasal 24A (1) tentang
wewenang Mahkamah Agung; Pasal 24A (5) tentang Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya; Pasal 24B (4)
tentang Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial; Pasal 24C (6)
tentang hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi; Pasal 26 tentang warga negara dan penduduk; Pasal 30 (5) tentang
keikutsertaan warga negara dalam pertahanan dan keamanan; Pasal 31 tentang
peran pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional;
Pasal 33 (5) tentang perekonomian dan kesejahteraan nasional; Pasal 34 (4)
tentang fakir miskin dan anak terlantar serta jaminan kesejahteraan sosial;
Pasal 36C tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Selain itu ada
undang-undang tertentu yang dikehendaki oleh UUD 1945 untuk mengatur lebih jauh
tentang Kekuasaan Presiden dalam menyatakan keadaan bahaya. Undang-undang itu
dikehendaki oleh Pasal 12 yang menyatakan bahwa syarat-syarat dan akibat
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Berkaitan dengan pasal 11 yang menyatakan Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Ragam penilaian dengan tolak ukur yang
dikemukakan berdasarkan argumen menjadikan persetujuan DPR berada pada posisi
yang kabur “vage”.
Menurut Mas Subagio persetujuan DPR dalam Pasal 11 itu lebih
tepat dalam bentuk keputusan DPR (beschikking) seperti apa yang pernah
dikemukakan oleh Subagio bahwa selain beschikking DPR yang berhubungan dengan
pasal 11 itu, dalam praktek beschikking
itu dapat dilihat dalam pengangkatan Ketua dan Anggota BPK, serta
pengangkatan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Agung MA.[9]
Namun memperhatikan pada kalimat Pasal 11 tersebut ada kondisi yang berbeda
antara “pernyataan perang” dan “membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain”. Untuk pernyataan perang kondisi pengambilan keputusan itu dalam keadaan
situasi genting (state of emergency) menuai pertanyaan apakah masih ada pada
saat seperti itu beschikking sedangkan situasi tidak normal sebagaimana
kondisi normal dapat menerapkan Undang-Undang Dasar dan Peraturan
Perundang-undangannya? Sedangkan untuk membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain kondisi itu masih belum dapat dikatakan masuk kedalam situasi
darurat, bisa saja dalam keadaan normal dilangsungkan pilihan-pilihan politik
luar negeri berkembang kontekstual. Untuk kondisi darurat perang pada dasarnya
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengantisipasi dengan ketentuan Pasal 12 dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang belum berarti keadaan berbahaya, dan
kondisi itu Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan.[10]
Intisarinya ketentuan mengenai “keadaan bahaya” yang ditentukan dalam Pasal 12
adalah sifat bahaya yang mengancam, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam
Pasal 22 menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak dalam
konteks waktu yang terbatas. Dengan demikian ketentuan Pasal 11 adalah
kontekstual dan tergantung kepada Perpu yang dikeluarkan Presiden apakah pihak
legislatif dalamhal ini DPR dapat menerima atau tidak menerima, dan jika
diterima artinya memang telah terjadi situasi keadaan yang bersifat genting
berdasarkan penilaian objektif bersama-sama oleh DPR dengan pemerintah. Jadi
selama belum ada suatu Perpu yang dikeluarkan Presiden boleh saja dikatakan
sebagai suatu beschikking.
Di Amerika Serikat beschikking DPR semacam itu disebut dengan istilah Act of
Congress (keputusan DPR) yang berbeda dengan “statutes”
(Undang-Undang).[11] Di samping pasal-pasal tersebut yang
mencerminkan citra negara hukum, terdapat satu pasal yang sebegitu jauh cukup
jelas melukiskan betapa UUD dan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya
mewakili supremasi (sesuai dengan prinsip “supremacy of the law”) adalah
pasal 9 UUD 1945 yang mengatur lafal/ janji Presiden dan Wakil Presiden. Bagian
yang mencerminkan supremasi hukum dari pasal 9 itu berbunyi sebagai berikut :
“Demi
Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
(Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. (garis
bawah oleh penulis).
Selanjutnya dalam penjelasan UUD 1945 pada
Pasal 1 angka 3, dengan tegas menyebut “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum” (versi Reschtsstaat). Dalam UUD 1945 hasil
amandemen dipertegas dengan menyatakan secara langsung bahwa Indonesia negara
hukum, hal ini menunjukan bahwa secara konstitusional segala tindakan negara
berdasarkan atas hukum dan setiap warganya harus tunduk dengan aturan-aturan
hukum yang berlaku.
Berdasarkan tinjauan isi pembukaan, Batang
tubuh dan Penjelasan UUD 1945 seperti tersebut di atas, akhirnya diperoleh
gambaran bahwa menurut UUD 1945 negara Indonesia adalah negara hukum. Gambaran
ini adalah gambaran yang berdimensi normatif, artinya sesuai apa yang tersurat
dan tersirat dalam UUD 1945. Dimensi normatif itu dalam praktek kehidupan
bernegara di Indonesia saat ini tampak belum memuaskan karena hal ini berkaitan
erat dengan dimensi empiris. Dimensi empiris dari negara hukum Indonesia harus
dipertimbangkan pada faktor-faktor non yuridis seperti historis, ideologi,
politis, sosial, ekonomi dan budaya.
Meski dimensi normatif itu dalam aplikasinya
terlihat belum memuaskan, namun keberadaan negara hukum Indonesia tetap sangat
diperlukan untuk mengantisipasi tiga persoalan kenegaraan seperti apa yang
dikemukakan oleh Daniel S. Lev yakni : a) Keanekaragaman etnis dan budaya serta
agama (athnic and religious pluralism); b) Struktur perubahan kelas (changing
class structure); c) Persoalan legitimasi politik (the problem of
political legitimacy). Dengan adanya negara hukum Indonesia, hak-hak
minoritas seperti etnik Cina dijamin dan dilindungi oleh hukum, juga kebebasan
kelas menengah untuk mengkeritik pemerintah dijamin dan dilindungi oleh hukum, dan pergantian
pemerintahan secara demokratis dilegitimasi oleh hukum.[12]
Sehubungan adanya perbedaan baik historis
maupun ideologis antara Indonesia dengan Barat (asal konsepsi negara hukum) maka
beberapa sumber telah mencoba memberikan gambaran tentang corak khas negara
hukum Indonesia.
Di dalam pustaka hukum di Indonesia istilah
negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap
merupakan terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the
rule of law. Konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan
hukum sebab konsep-konsep itu tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Tetapi sebenarnya antara rechtsstaat
dan the rule of law itu mempunyai latar belakang dan pelembagaan yang
berbeda meskipun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi hak
asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental
yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law
banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu
pada sistem common law. Kedua sistem yang menjadi tumpuan kedua konsep
tersebut mempunyai perbedaan titik berat pengoperasian, civil law menitikberatkan
pada administrasi, sedangkan common law menitikberatkan pada judicial.
Sementara itu rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya
masing-masing mengutamakan segi yang berbeda; konsep rechtsstaat
mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid,
sedangkan the rule of law mengutamakan equality before of law.[13]
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa hukum
Indonesia memiliki dua dimensi yakni:[14]
1). Dalam negara hukum Indonesia, aturan hukumnya haruslah berasal dari
Pancasila; 2) negara hukum Indonesia haruslah diisi dengan doktrin-doktrin atau
konsep yang telah diterima oleh bangsa Indonesia seperti : hak asasi manusia,
kekuasaan kehakiman yang bebas, asas legalitas formal maupun material.
Simposium tentang negara hukum Indonesia yang diadakan oleh Universitas Indonesia di
Jakarta tanggal 6 hingga 8 Mei 1966 dalam kesimpulannya menentukan ada empat
ciri negara hukum Indonesia yakni :
1)
Pancasila menjiwai setiap
peraturan hukum dan pelaksanaannya. Asas kekeluargaan merupakan titik tolak
negara hukum Indonesia .
2)
Pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia.
3)
Peradilan bebas.
4)
Legalitas dalam arti hukum dan
semua bentuknya.
Sementara itu, Philipus M Hadjon mengemukakan
unsur-unsur negara hukum Indonesia berupa : a) Keserasian hubungan antara
Pemerintah dan rakyat; b) Hubungan fungsional yang proporsional diantara
kekuasaan-kekuasaan negara; c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan
peradilan sarana terakhir; d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.[15]
Meski ada banyak pandangan tentang corak khas negara
hukum Indonesia, namun inti terdalam dari negara hukum itu kiranya dapat
didefenisikan yakni tunduknya penguasa dan Indonesia terhadap hukum Indonesia
yang dibuat secara demokratis dan berjiwakan Pancasila. Dalam keadaan demikian,
menurut Padmo Wahjono hukum harus merupakan titik sentral dalam kehidupan
perorangan, masyarakat, bangsa dan negara.[16]
Bila hukum dijadikan titik sentral, maka faktor
penegakan hukum memiliki peranan penting kalau cita-cita hukum yakni “keadilan”
betul-betul ingin diwujudkan. Berbicara faktor penegak hukum, maka dalam
analisisterakhir kekuasaan kehakiman merupakan faktor kunci. Artinya meski
substansi hukum telah memadai, alat penegak hukum lainnya (polisi, jaksa) telah
bekerja maksimal, namun kalau hakimnya tidak memiliki integeritas, niscaya inti
negara hukum yakni supremasi negara hukum (hukum sebagai titik sentral
kehidupan) tidak bisa terwujud. Sebaliknya jika hakim memiliki integritas
tinggi, meski aturan hukum kurang sempurna, penegak hukum lainnya kurang
kredibilitas, dapat diyakini, supremasi hukum dan cita hukum (keadilan) pasti
terwujud dimasyarakat. Dengan gambaran itu dapat dipahami bahwa dalam negara
Indonesia kekuasaan kehakiman merupakan benteng terakhir bagi tegaknya negara
hukum Indonesia. Sesungguhnya tergantung pada peranan hakimlah terwujud atau
tidaknya negara hukum Indonesia.[17]
Menyadari posisi sentral kekuasaan kehakiman sebagai
benteng terakhir negara hukum Indonesia, penulis percaya, semua orang akan
setuju kalau kekuasaan itu tidak dijalankan secara sewenang-wenang cita negara
hukum Indonesia tidak akan pernah terwujud. Dengan demikian tergambar bahwa
betapa pentingnya eksistensi kekuasaan kehakiman dalam negara hukum Indonesia.
B. Pengertian Negara Hukum
Pengertian tentang negara
hukum masih terus berkembang sampai sekarang, untuk pertama kali cita negara
hukum ini dikemukakan dalam abad ke-17 di Inggris dan merupakan latar belakang
Revolusi 1688. Hal ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa
lampau. Oleh karena itu unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan erat dengan
sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu bangsa. Sejarah dan perkembangan
masyarakat setiap negara tidaklah sama, maka pengertian dan unsur-unsur negara
hukumnya pun berbeda pula.[18]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa isi dan unsur-unsur negara hukum suatu negara di dunia ini
berbeda satu sama lainnya, karena volkgeistnya yang berbeda. Konsep negara
hukum, yang pernah ada dan dilaksanakan oleh setiap negara, di dunia dikenal
tiga konsep. Dari ketiga konsep negara hukum itu, di dalamnya terdapat juga
unsur-unsurnya. Unsur-unsur tadi akan terdapat perbedaan dan persamaannya.
Demikian pula dengan Indonesia yang menyatakan negaranya sebagai negara hukum,
apakah juga mempunyai prinsip-prinsip atau unsur-unsur yang khas dalam konsep
negara hukumnya dibandingkan dengan ketiga konsep negara hukum yang dikenal di
dunia.
Kata negara hukum merupakan
pengertian dari suatu kata majemuk, yaitu negara dan hukum. Dalam memberikan
pengertiannya, setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan,
baik terhadap kata hukum maupun terhadap kata negara. Demikian juga halnya
dengan bobot nilai dari masing-masing unsur negara hukum.[19]
Dalam konteks Indonesia adalah negara hukum, pengertian-pengertian yang
memiliki dimensi ke Indonesiaan banyak dijumpai dalam kepustakaan hukum
Indonesia. Wiryono Prodjodikoro memberi pengertian negara hukum adalah negara
dimana para penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat dengan
peraturan-peraturan hukum yang berlaku.[20]
M. Yamin mengartikan negara hukum sebagai suatu negara
yang menjalankan pemerintahan tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang
kekuasaan, malainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan
perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah, sesuai dengan asas “the laws
and not men shall govern”.[21]
Sementara itu Joeniarto memberi
pengertian negara hukum adalah negara dimana tindakan penguasanya harus
dibatasi oleh hukum yang berlaku.[22]
Sudargo
Gautama[23]
yang menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran kedaulatan hukum
memberi pengertian ; negara hukum adalah negara dimana alat-alat negaranya
tunduk pada aturan hukum.[24]
Di
sisi lain Soediman Kartohadiprojo menyatakan bahwa negara hukum adalah negara
dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang di dalamnya dijamin sebaik-baiknya
oleh hukum.[25]
Jika dicari inti dari pengertian
negara hukum yang dikemukakan oleh para sarjana Indonesia yang cukup terkemuka
itu, nampaknya mereka semua menekankan tentang tunduknya penguasa terhadap
hukum sebagai esensi negara hukum. Esensi negara hukum yang demikian itu sangat
relevan dengan tema sentral disertasi ini yang menitik beratkan pada tunduknya
kekuasaan kahakiman pada hukum.
Untuk lebih memantapkan dukungan
ilmiah terhadap kebenaran Proposisi “kekuasaan kehakiman tunduk pada hukum”
perlu dilakukan pembahasan yang lebih luas tentang keanekaragaman konsep negara hukum sebagai batu loncatan
untuk sampai pada uraian Indonesia adalah negara hukumseperti telah disinggung
didepan. Dalam pengkajian Indonesia adalah negara hukum akan ditekankan pada
pemikiran bahwa kekuasaan kehakiman Indonesia juga tunduk pada hukum. Pemikiran
demikian sangat penting untuk mengantarkan persepsi bahwa tunduknya kekuasaan
kehakiman pada hukum menyebabkan munculnya pemahaman akan adanya batas-batas
kebebasan kekuasaan kehakiman.
Sebelum Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum, akan tetapi hal itu dapat diketemukan dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 pada Kunci Pertama Sistem Pemerintahan Negara, yang menyatakan
“Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (Machtsstaat).” Dari sini berarti, rechtsstaat diartikan
sama dengan negara berdasar atas hukum atau negara hukum.
Di dalam Undang-Undang Dasar
1945 negara hukum Indonesia tidak dirumuskan secara tegas, tidaklah demikian
halnya dengan Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar 1950. Kedua aturan dasar
terakhir ini secara tegas menyatakan bahwa Republik Indonesia (Serikat) adalah
negara hukum. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS menyebutkan “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokrasi dan berbentuk federasi”. Begitu pula Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Sementara1950 menyebutkan “Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan”. Baru pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
secara tegas bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah.
Dengan demikian berdasarkan ketiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,
semua menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum atau negara
berdasar hukum, dengan tanpa menjelaskan lebih lanjut pengertian, isi dan
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Apabila diperhatikan,
terbentuknya dari suatu negara Republik Indonesia yang berdasarkan Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950, sebagai akibat turut sertanya pihak luar negeri atau
pihak sekutu (Belanda, Inggeris dan USA). Kemudian kedua konstitusi tersebut,
dimasuki unsur-unsur barat (individualistis), yang bertentangan dengan paham
Pancasila, yang mengandung unsur-unsur komunalistis. Oleh karena itu, kedua
konstitusi tersebut tidak dapat bertahan lama, seperti Undang-Undang Dasar
1945, karena kurang berkenan dihati rakyat Indonesia, yaitu adanya unsur
komunalistis yang kental.
Walaupun ketiga konstitusi
tersebut, terdapat perbedaan materi yang dikandungkan, akan tetapi akan selalu
terdapat kesamaan juga dalam berlakunya di Negara Republik Indonesia. Sebab
pada dasarnya seluruh Konstitusi di dunia terutama yang berdokumen atau
tertulis, selalu terdapat tiga isi pokok penting, yang harus disikapi oleh
suatu negara.
Adapun ketiga pokok penting
tadi, dapat disebutkan, yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
negara yang bersifat fundamental, dan yang ketiga, adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[26]
Di samping ketiga isi pokok
penting suatu konstitusi bagi rakyatnya, pemerintahannya atau negaranya beserta
wilayahnya, juga tidak kalah pentingnya, juga bahwa di dalam konstitusi itu,
digantungkan kepada panjang-pendeknya pasal-pasal yang mengatur ketiga isi
pokok penting tersebut. Lebih tentunya sejauhmana terperincinya masalah hukum,
sistem hukum, perencanaan, pembentukan, penerapan, penegakan, penyuluhan,
pendidikan serta penelitian hukum. Begitupun juga, pelaksanaan dan pengertian
negara hukum di tiap-tiap negara di dunia, satu sama lain berbeda. Sangat
mustahil apabila, pengertian dan pelaksanaan hukum atau negara hukum, murni
atau sama dengan pada waktu pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan oleh berbagai
faktor suatu negara, yaitu kultur, politik, struktur dan sistem. Juga adanya
“volkgeist” atau jiwa bangsa tiap negara, merupakan ciri-ciri perbedaan suatu
negara.[27]
C. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Konstitusi dalam istilah bahasa
Prancis diambil dari Constituir yang
berarti “membentuk” dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Grondwet
dan dalam bahasa jerman disebut dengan Grundgesetz yang diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. [28]
Dalam konteks ketatanegaraan
dapat diterjemahkan dengan pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dapat pula berarti peraturan
dasar mengenai pembentukan suatu negara. Menurut Sri Soemantri Konstitusi
adalah suatu naskah yang memuat suatu bangunan
negara dan sendi sistem pemerintahan negara. [29]
Secara terminologi Konstitusi
merupakan sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk
mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerjasama
antara negara dan masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk dapat menjadi jelas, ada baiknya
dipilah antara makna Konstitusi dengan UUD, bahwa sebenarnya Konstitusi lebih luas
daripada UUD dengan dasar pertimbangan bahwa Konstitusi bersifat Yuridis,
Sosiologis serta Politis sedangkan UUD hanyalah sebagian dari pengertian
Konstitusi, yakni Konstitusi Tertulis. Secara sosiologis dan politis Konstitusi
memiliki kekuatan yang nyata dalam masyarakat dan menggambarkan hubungan antara
kekuasaan yang terdapat secara nyata dalam suatu negara dan secara Yuridis
mengemukakan suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan.
Unsur-unsur konstitusi merupakan perwujudan
dan perjanjian masyarakat, dengan demikian merupakan konklusi dari kesepakatan
masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengaturnya, selain
itu termuat pula piagam yang menjamin hak asasi manusia dan warga nerga
sekaligus didalamnya termuat penentuan batas-batas hak dan kewajiban warga
negara dan alat-alat pemerintahannya. Dengan demikian tujuan konstitusi adalah
memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik dan
melepaskan konstol kekuasaan dari penguasa dengan memberikan batasan-batasan
ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Sejauhmana pentingnya konstitusi dalam
suatu negara, dapat dikemukakan bahwa dalam negara yang mendasarkan dirinya
atas demokrasi konstitusional, kedudukan Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi
yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah dengan tujuan agar
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan hak-hak warga
negara terlindungi. Hakikatnya konstitusi tersebut perwujudan paham tentang
pemerintah dan jaminan terhadap hak warga negara maupun setiap penduduk. Selain itu Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis dan dokumen formal berisi hasil perjuangan politik bangsa
di masa lalu sebagai tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan yang dihasilkan
dari pandangan tokoh bangsa dan diwujudkan sekarang dan masa datang, dengan
bahasa lugas bahwa adanya suatu keinginan memimpin perkembangan kehidupan
ketatanegaraan
Konstitusi yang mengadung prinsip-prinsip
demokrasi, merupakan media untuk menciptakan demokrasi bagi warga negara. Dalam
negara demokrasi konstitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi,
sehingga melahirkan pemerintahan yang demokratis. Dapat pula dikatakan bahwa
konstitusi merupakan prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara.
D. Konsep Negara Hukum
Konsep Rechtsstaat
Istilah Rechtsstaat pertama kali dipergunakan oleh Rudolf Von Gneist,
guru besar Universitas Berlin dalam sebuah karangannya yang berjudul “Das
Englische Verwaltungscrecht”, 1857. dalam karangannya itu digunakan istilah
Rechtsstaat untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris. Berkenaan
dengan hal ini Wilem Van Der Vlugt, guru besar di Leiden dalam disertasinya
yang berjudul “De Rechtsstaat Volgens de Leer Van Rudolf Von Gneist” menyatakan;
kepada Gneist-lah diberi kehormatan yang tadinya dengan kurang tepat diberikan
kepada Montesquieu, sebagai seorang yang mewedarkan tata negara Inggris sebagai
satu kesatuan yang hidup.[30]
Ditinjau dari segi perkembangannya, konsep Rechtsstaat telah berkembang
dari konsep klasik ke arah konsep modern. Konsep klasik disebut “Klassiek
Liberale en Democratische Rechtsstaat” disingkat “Democratische
Rechtsstaat”. Konsep modern di Belanda disebut “Sociale Rechtsstaat”
atau juga disebut “Sociale -
democratische Rechtsstaat”.[31]
Ciri-ciri Rechtsstaat yang klasik[32]
(formal rechtsstaat) menurut Friederich Julius Stahl adalah :[33]
1.
Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia.
2.
Adanya pembagian kekuasaan.
3.
Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van
bestuur).
4.
Adanya peradilan tata usaha.
Di sisi lain S. W. Couwenberg seperti dikutip Philipus M. Hadjon,
mengemukakan prinsip-prinsip liberal dan prinsip-prinsip demokratis dari konsep
Rechtsstaat yang klasik. Prinsip-prinsip liberal meliputi :[34]
1) Pemisahan
antara negara dan masyarakat sipil (dengan scheiding tussen staat en
burgerlijke maatschappij), pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan; pemisahan
antara hukum publik dan hukum privat.
2) Pemisahan
antara negara dan gereja.
3) Adanya
jaminan atas hak-hak kebebasan sipil (burgerlijke vrijheidsrechten).
4) Persamaan
terhadap Undang-undang (gelijkheid voor de wet).
5) Adanya
konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dasar sistem hukum.
6) Pemisahan
kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem “checks and balances”.
7) Asas
legalitas (heerschappij van de wet).
8) Ide
tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan
netral.
9) Prinsip
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang bebas dan
tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip-prinsip tersebut diletakan prinsip
tanggung gugat negara secara yuridis.
10) Prinsip
pembagian kekuasaan[35]
baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem federasi maupun
desentralisasi).
Bersamaan dengan prinsip-prinsip liberal di atas, asas-asas
demokratis yang melandasi Rechtsstaat adalah :
1)
Asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke
grondrechten).
2)
Asas mayoritas.
3)
Asas perwakilan.
4)
Asas pertanggungjawaban.
5)
Asas publik (openbaarheids beginsel).
Berdasarkan pada prinsip liberal dan prinsip demokratis tersebut maka
Rechtsstaat memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut :[36]
a)
Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
b)
Adanya pembagian kekuasaan negara yang meliputi :
kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman
yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu dan rakyat
tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan
tindakannya pada Undang-Undang.
c)
Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Vrijheidsrechten
van de burger).
Sehubungan
dengan ciri-ciri Rechtsstaat, Sudargo Gautama menyebutkan adanya 5 ciri
Rechtsstaat yakni :[37]
a)
Terdapat pembatasan kekuasaan negara kepada perorangan.
Pembatasan itu dilakukan oleh hukum.
b)
Pelanggaran atas hak-hak individu hanya boleh atas
dasar aturan hukum (asas legalitas).
c)
Adanya perlindungan hak asasi manusia (hak-hak kodrat)
d) Adanya
pemisahan kekuasaan.
e)
Badan peradilan yang tak memihak.
Frans
Magnis Suseno mengemukakan adanya 4 ciri Rechtsstaat yakni : a) asas legalitas;
b) kebebasan / kemandirian kekuasaan kehakiman; c) perlindungan hak asasi
manusia; d) sistem konstitusi / hukum dasar.[38]
Sementara
itu, perkembangan konsep Rechtsstaat klasik ke arah
modern[39] disebabkan
oleh adanya krisisi ekonomi yang melanda dunia setelah berakhirnya perang dunia
II. Konsep modern yang berupa Sociale Rechtsstaat dengan fungsi negara telah memunculkan konsep
baru yakni konsep “Welvaartsstaat” yang kemudian lebih dikenal dengan
nama “Verzorgingsstaat” yang hakikatnya merupakan konsep-konsep
sosiologi dan politikologi. S. W. Couwenberg menganggap bahwa Sociale
Rechtsstaat merupakan variant dari
“Leberaale-Democratische Rechtsstaat”. Sebagai variant ia memunculkan interupsi
baru terhadap hak-hak klasik dan bersamaan dengan itu munculah hak-hak sosial;
interpretasi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungan dengan kekuasaan
ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari “Wet”
dan “Wetgeving”.[40]
Perkembangan
terakhir menunjukan bahwa dalam negara “Welvaartsstaat” (Sociale
Rechtsstaat) kegiatan ekonomi dilakukan oleh negara dan oleh privat (mixed
economy). Dalam keadaan demikian negara memiliki 4 fungsi yakni: a) State as provider (penyelenggara kesejahteraan);
b) State as regulator (pengatur); c) State as enterpreneur (pengusaha); d)
State as empire (wasit).[41]
Konsep Rule of Law
Konsep Rule of Law yang semula dianut Inggris, menurut A V Dicey
mengandung tiga unsur pokok yakni : 1) supremasi absolut atau predominasi dari
“regular law” untuk menentang pengaruh dari “arbitary power” dan
meniadakan kesewenang-wenangan prerogatif atau “discretionary authority”
yang luas dari pemerintah; 2) persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang
sama dari semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang
dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada
di atas hukum, baik perseorangan maupun pejabat negara[42]
berkewajiban untuk mentaati hukum tidak ada peradilan administrasi; 3)
konstitusi adalah hasil dari “the ordinary law of the land”, bahwa
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak individu yang
dirumuskan dan ditegakan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa diperluas sehingga membatasi
posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. Di sisi lain, ECS Wade & G. Philips
mengetengahkan tiga unsur pokok Rule of law yakni : 1) Rule of law merupakan
konsep filosofis yang dalam tradisi barat berkaitan dengan demokrasi, menentang
otokrasi; 2) Rule of law merupakan doktrin hukum bahwa pemerintahan harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum; 3) Rule of law merupakan kerangka pikir
politik yang harus dirinci lebih jauh dalam peraturan-peraturan hukum baik
hukum substantif maupun hukum acara. Pandangan Wade & Philip ini ternyata
telah mendapat pengaruh dari sistem hukum Eropa di luar Inggris, sedangkan
pandangan A. V. Dicey merupakana pandangan murni berdasarkan sistem hukum
Common Law Inggris.[43]
Konsep Rule of law klasik selain dikecam oleh Wade & Philip
ternyata juga mendapat kecaman baik dari kelompok kiri maupun dari kelompok
kanan. Kelompok kiri memandang model klasik itu telah gagal dalam mencapai
tujuannya. Kegagalan itu disebabkan karena ia didasarkan pada suatu konsep yang
sempit tentang pemerintahan yang semata-mata mengkaitkan pemerintah dengan
faktor hukum saja. Berkenaan dengan hal ini, B. A. Hepple mengatakan :[44]
………”They say that the
weaknessof the classical model is not that is es poused the ideals of
universality, openness, equality, and accountability; but rather that in
moderns conditions it fails to achieve these ideals. It fails becauseit is
based on unduly narrow concept of government according to law”…….
(garis bawah dari penulis).
Salah satu contoh tidak tercapainya tujuan negara hukum klasik menurut
Jowel (seorang kelompok kiri) bisa dilihat bahwa salah satu tujuan negara hukum
klasik adalah untuk memberikan pengawasan terhadap kekuasaan administratif;
justru menurut dia pengawasan semacam itu lebih mantap dewasa ini dibandingkan
pada jamannya Dicey (………”in many respect the underlying need for the control
of administrative is more pressing to day than in Dicey’s time”)[45]
Sementara kelompok kanan mengecam bahwa Rule of law versi
Dicey lebih banyak menekankan pada perlindungan individu, misalnya
undang-undang perburuhan yang sangat mencolok melindungi buruh secara
individual. Keberatan datang dari para majikan yang menilai Undang-undang itu
menghalangi mereka bertindak cepat, fleksibel dan tidak bisa mengefektifkan
biaya-biaya untuk mengantisipasi tuntutan pasar. Tentang ini Hepple mengatakan
:
“For example, employers claimed
that labor laws preventing them from reacting quickly, flexible and
cost-effectively to changing market requiretmenst”.[46]
Dengan
adanya kecaman-kecaman itu, Rule of law modern menurut Hepple harus diwarnai oleh
adanya peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
pemerintah. Dengan demikian ciri-ciri Rule of law modern menurut dia adalah : a) Universality
(universalitas); b) Openness (keterbukaan); c) Equality (persamaan); d)
Acountability (pertanggungjawaban); e) Clarity (Kejelasan); dan f) Rationality.
(Lebih jauh dalam Rule of law modern fungsi negara menurut Hepple adalah………”Instead
of giving priority to state policies such as the protection of tenants or of
individual employees, the overall objective of the state has been redefined as
being the revitalization of the profit based market economy” bahwa
disamping membuat kebijakan untuk memberikan perlindungan kepada individu juga
perlu dirumuskan kembali peranan negara untuk merevitalisasi landasan perolehan
keuntungan pada ekonomi pasar.[47]
Meskipun
terdapat berbagai versi tentang konsep Rule of law , namun menurut Sunaryati Hartono, inti dari
konsep Rule of law tetap sama yakni harus menjamin apa yang oleh
masyarakat dipandang sebagai “keadilan” khususunya keadilan sosial.[48]
Bila
konsep Rechtsstaat diperbandingkan dengan konsep Rule of law maka akan tampak adanya perbedaan dan
persamaan. Perbedaannya yakni kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang
berbeda, dan karakteristik konsep Rechtsstaat adalah
administratif (adanya peradilan administratif) dan karakteristik konsep Rule of
law adalah judicial, pembatasan kekuasaan melalui
dokumen konstitusi seperti misalnya Herbeas Corpus, antara lain mengatur
tentang peradilan yang adil dan penekanan tidak sewenang-wenang.
Persamaannya
adalah bahwa kedua konsep itu sama-sama menekankan pada perlindungan hak asasi
manusia. Secara lebih spesifik, persamaan kedua model itu berupa adanya hak
bagi anggota masyarakat untuk menggugat setiap keputusan pejabat yang
merugikan.[49]
Konsep Socialist Legality
Konsep Socialist Legality (negara hukum sosialis) dianut
oleh negara-negara sosialis (komunis) seperti eks Uni Soviet dan beberapa negara
komunis lainnya yang hingga kini tetap eksis.
Pemikiran tentang Socialist Legality sempat dibahas
dalam diskusi Warsawa Colloquium, dan dalam kesempatan itu Tchikvadze
menyatakan :[50]
“Socialist Legality safe guard the political right and liberties of
citizen, it protec their rights to work and to a home, as well as other
interest and right affecting the person and good citizens, their life, their
health and their human dignity. The protection of rights and civic liberties
is one of the essential constituents of socialist legality ” (Garis
bawah dari penulis).
Senada dengan Tchikvadze,
Romashkin menyatakan :[51]
“It
(Socialist Legality) stand and guard of the citizens, political right and
freedom, it protects their labor, housing and other personal and corporal
rights and interest and their life, health, dignity and reputation”.
Berdasarkan pada pandangan sarjana-sarjana itu dan juga berdasarkan pada
teori dan praktek sistem hukum sosialis
Umar Seno Adji mencoba untuk mengidentifikasi beberapa ciri konsep Socialist
Legality sebagai berikut :[52]
a)
Adanya perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan
warga negara. Perlindungan ini terutama diberikan kepada kaum buruh (labor).
b)
Berkaitan dengan kebebasan (freedom) dan
tanggungjawab (responsibility) Socialist Legality lebih mendahulukan “Resposibility”
ketimbang “freedom”.
c)
Adanya pemisahan secara tajam antara negara dan gereja
berdasarkan prinsip “Trennung Von Staat und Kirche”.
d) Adanya
kebebasan kekuasaan kehakiman yang diatur secara tegas dalam konstitusi.
e)
Larangan terhadap berlakunya hukum pidana secara
retroaktif atau retrospektif.
f)
Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan untuk
mengkritik kaum kapitalis maupun kaum borjuis.
g)
Hukum dimaknai sebagai alat untuk mencapai sosialisme.
Posisi hukum adalah subordinasi terhadap sosialisme.
Meski secara konstitusional kekuasaan kehakiman adalah bebas namun demi
kepentingan sosialisme dalam prakteknya hakim-hakim di Uni Soviet misalnya
tunduk pada kebijakan rahasia dari penguasa dan tunduk pada perintah-perintah
pejabat partai komunis Uni Soviet. Hal ini dituturkan oleh Solzheinitsyn
seperti dikutip Antony Allot sebagai berikut :[53]
“The USSR………has no predictable
system of law; it has an arbitrary system of sanctions meted out bay courts which
act according to the secret discretions and instructions of party officials,
from which there is no appeal, and whom there is no possibility of effective
argument……The law in our country in its might and its flexibility is unlike
anything called ‘law’ else where on earth”. (garis bawah dari penulis).
E. Ide Negara Hukum
Mencermati
pada latar belakang dan perkembangan baik konsep rechtsstaat pada satu
sisi maupun the rule of law pada sisi lain maka pada dasarnya kedua
konsep tersebut berhubungan erat dengan dua hal. Pertama sebagai reaksi terhadap
absolutisme yang menjadi ciri khas pemerintahan pada masa lalu. Kedua sebagai
refleksi dari perlindungan terhadap hak-hak sipil sebagai instrumen dasar dari
konsep negara hukum maupun negara bedasar atas hukum. Hak-hak sipil yang
melekat pada warga negara sebagai unsur penting dari eksistensi negara
memperoleh proteksi yang sifatnya esensial dan menjadi esensi dari keberadaan
negara.
Tentu
bukan hanya soal kosa kata, ketika Negara Hukum dan negara berdasar atas hukum
dijadikan sebagai dasar konseptual untuk memahami negara hukum Indonesia.
Pengertian tentang kedua konsep di atas tidak sekadar penambahan kosa kata
“berdasar atas”. Secara konseptual ada
perbedaan yang membawa implikasi kepada implementasi sistem ketatanegaraan.
Konkretnya memang ada yang membedakan pemahaman antara “Negara Hukum”
pada satu sisi dan “Negara Berdasarkan Atas Hukum” pada sisi lain.
Pemahaman
pertama (negara hukum) memberi penekanan pada makna positifistik dalam arti
bahwa segala sesuatu yang berjalan di atas negara semuanya didasarkan atas
aturan-aturan hukum yang sudah dipositifkan. Secara ekstrem tidak ada toleransi
(bahkan sedikitpun) untuk melampaui, atau membijaksanai berlaku dan kinerjanya
hukum. Hukum dalam kaitan ini dipahamkan sebagai aturan tertulis yang harus diaatai
oleh semua pihak. Di luar itu tidak ada hukum dan berbagai peristiwa yang
timbul harus didasarkan pada ketentuan positif yang sudah ada. Apa pun
perkaranya sudah harus ada hukumnya. Hukum dimaknai sebagai institusi normatif
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pemahaman
terhadap “Negara Berdasarkan Atas Hukum”, merujuk pada pengertian hukum sebagai
instrumen yang menjadi semacam wasit dalam tatanan sosial. Sebagai wasit dalam
tatanan sosial, rujukan hukum tidak pada dimensinya yang bersifat positifistik
(seperti negara hukum) tetapi lebih menekankan pada realitas sosial. Hukum
dalam hubungan ini lebih ditekankan pada manfaatnya (dengan tidak mengabaikan
aspek lain semisal keadilan dan kepastian), yang karenanya bisa
dielastisitaskan sedemikian rupa sehingga pemaknannya tidak semata pada
ketersediaan aturan. Lebih mendasar dari itu, kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dapat berjalan dengan baik di atas koridor hukum yang dimaknai secara
sosiologis. Aturan hukum tidak diinterpretasikan secara normatif (dogmatis) tetapi juga dimaknai secara
sosiologis, bahkan individualis disesuaikan dengan perkembangan waktu dan
keadaan dan subyeknya.
Makna
negara hukum dalam pemahaman pertama, menunjukkan karakter sistem hukum Eropa
Continental pada umumnya yang berangkat dari pola positifistik dari kinerja
hukum. Hukum dimaknai sebagai pedoman yang mesti dijalankan di atas prinsip,
kendatipun esok langit runtuh, hari ini hukum harus tetap dijalankan. Awal dari pemahaman sistem hukum Eropa Continental
ini berasal dari konsep rechtsstaat (Jerman) yang populer semenjak abad
XIX. Sebagaimana diketahui konsep tentang rechtsstaat lahir dari
perjuangan panjang menentang absolutisme yang sudah sedemikian kuat mengakar di
masyarakat kala itu. Perjuangan menentang absolutisme itu mendasar dan boleh
dikatakan bersifat revolusioner. Absolutisme sebagai sistem pemerintahan yang
sudah lama berkesempatan mengukir sejarah dunia, digeser dan diganti dengan
sistem yang bersifat terbuka, akomodatif dan aspiratif terhadap kebutuhan serta
kehendak seluruh komponen negara.
Sementara makna negara berdasarkan atas hukum
berangkat dari pola hukum Anglo Amerika yang lebih dikenal dengan the rule
of law. Konsep hukum dalam sistem ini lebih banyak memahami kontekstualitas
hukum dalam kedudukannya sebagai instrumen perekayasa sosial (social
engineering) dan pedoman bermasyarakat serta bernegara. Prinsipnya bahwa
hukum adalah aturan yang dibuat untuk menata kehidupan sosial. Sepanjang
keberadaannya tidak bertentangan dengan norma sosial, kinerja hukum harus
dipahami sebagai upaya menuju integrasi sosial dan integrasi seluruh potensi
dalam kehidupan komunal tersebut. Dalam konsep awalnya, the rule of law
berkembang secara evolusioner, hal itu dapat dicermati dari karakteristiknya
yang bersifat common atau umum, yang memaknai konsep ini sebagai bentuk
akomodasi terhadap kepentingan umum sebagai orientasi dasar keberadaan negara sehingga
konsep the rule of law juga lebih dikenal pula dengan sistem common law.
F. Penutup
Pemahaman
yang diwarisi oleh sistem Eropa Continental yang menjadi basis sistem
hukum Belanda itulah yang kiranya menjadi isi dari kalimat pada Penjelasan
Undang Undang Dasar 1945 yaitu Indonesia adalah Negara Berdasar atas Hukum (Rechtsstaat)
bukan negara yang didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Legalitas mengenai hal ini dapat dipahami karena Indonesia dijajah oleh Belanda
yang menerapkan sistem hukum Eropa
Continental di dalam kinerja hukumnya. Apa lagi penerapan di Indonesia berlaku
untuk jangka waktu yang sangat lama sehingga sistem itu mengakar kuat dalam
berbagai elemen dari kinerja hukum.
Jadi
ide dasar negara berdasarkan atas hukum itu bukan the rule of law melainkan rechtsstaat.
Dimensi historis dari konsep rechtsstaat masuk ke Indonesia dapat dicermati
berdasarkan ketentuan dalam Regeringsreglement (RR) atau lengkapnya reglement
op het beleid der regeering van Nederland Indie sebagaimana dimuat dalam Wet 2
September 1854 yang diubah dengan Wet 23 Juni 1925 dan mulai berlaku pada 1
Januari 1926. dan sejak itu lebih dikenal dengan Indische Staatsregeling.
Produk hukum ini adalah semacam
peraturan perundangan tertinggi yang berlaku untuk daerah jajahan, khususnya di
Hindia Belanda dan menjadi payung dari bebagai produk hukum lain yang secara
hirarkhis berada di bawahnya.
BAHAN RUJUKAN
Asshiddiqie, Jimly. Hukum
Tata Negara Darurat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis
Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1995
Allot, Antony. The
Limits of Law, London: Butterworth & Co, 1980
Friedman, W. The State and The Rule of
Law In Mixed Economy, (London: Steven & Sons. 1971
Gunther, Gerald. Cases And Materials on
Constitution Law, New York: The Foundation Press, Inc., Mineola, 1980
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang
negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973
Hepple, B A. Deregulation And The Rule
of Law An English View, dalam “Rechtsstaat en Sturing”, Editor, MAP Bovens (et al), Zwolle: WEJ Tjeenk
Wilink, 1987
Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule of
Law Itu, Bandung: Alumni, 1969
Iver, Mac. The Modern State, Oxford:
University Press, 1970
Joeniarto, Negara Hukum, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1968
Kartohadiprojo, Soediman. Negara RI
Negara Hukum, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar UI, 17 Januari 1953,
Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1953
--------------------------------. Prasaran,
dalam “Indonesia Negara Hukum”, Simposium UI, 6 – 8 Mei, Jakarta, 1966
Meuwissen, DHM. Grondrechten, AULA:
Vitgeverij Het Spectrum, Utrecht/Antwerpen, 1984
Magnis Suseno, Frans. Etika Politik,
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1991
Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi.
(Yogyakarta: Gama Media. 1999
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Negara dan
Politik, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1971
Soemantri, Sri. 1979. Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Alumni
SDW, Dodo. 2002. “Asas Negara Hukum
Menurut Paham Pancasila”. Artikel dalam Jurnal Keadilan Volume 2 Nomor 1.
Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan
Subagio, Mas. Ensiklopedia
Perundang-undangan Republik Indonesia, Bandung: Alumni, 1976
Seno Adji, Oemar. Prasaran, Dalam
“Indonesia Negara Hukum”, Simposium UI,
6 – 8 Mei , Jakarta, 1966
Thaib, Dahlan. et.al. Teori dan Hukum
Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet. Ketiga, 2003
Van Maarseveen, Henc. & Ger van Der Tang, Writen
Constitution, New York, Sijthoff & Nordhoff, Alphenaan de Rijn,
Netherland : Oceana Publication , Inc, Dobbs Ferry, 1978
Wheare, K. C. Modern Constitution, London, New York,
Dst,: Oxford University Press, 1975
Wahyono, Padmo. Negara Republik
Indonesia, Jakarta: Raja Grafika Persada, 1995
Yamin, Muhamad. Proklamasi
dan Konstitusi, Jakarta : Djambatan, 1952
[2] K. C. Wheare, Modern Constitution, (London, New York,
Dst,: Oxford University Press, 1975), hlm. 33 – 34.
[3] DHM Meuwissen, Grondrechten, (AULA: Vitgeverij Het
Spectrum, Utrecht/Antwerpen, 1984), hlm. 147.
[4] Henc van Maarseveen & Ger van Der Tang, Writen
Constitution, (New York, Sijthoff & Nordhoff, Alphenaan de Rijn,
Netherland : Oceana Publication , Inc, Dobbs Ferry, 1978), hlm. 291.
[5] Muhamad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta : Djambatan,
1952), hlm. 68.
[6] Henc van Maarseveen &
Ger van Der Tang, Op. Cit., hlm. 292.
[7] K C Wheare, op. cit.,
hlm. 2.
[8] Lihat dalam: Mac Iver, The
Modern State, (Oxford: University Press, 1970), hlm 250. dalam halaman 252
dtegaskan bahwa “ordinary law” sebutan lain dari “the law of which state
govern” adalah merupakan hukum positif yang mengatur tingkah laku warga negara.
[9] Mas Subagio, Ensiklopedia Perundang-undangan Republik
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 141.
[10] Lihat : Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata
Negara Darurat. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 207.
[11] Gerald Gunther, Cases And Materials on Constitution Law, (New
York: The Foundation Press, Inc., Mineola, 1980), hlm. 404.
[12] Dalam kaitan relevansi
negara hukum untuk memberikan legitimasi politik, Daniel S Lev secara panjang
lebar menguraikan perihal bagaimana getolnya Soeharto melakukan
retorika-retorika politik dengan menyatakan bahwa pemerintah yang ia pimpin
(Orde Baru) berdasarkan atas hukum melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
[13] Moh. Mahfud MD. Hukum
dan Pilar-pilar Demokrasi. (Yogyakarta: Gama Media. 1999), hlm. 126-127.
[14] Oemar Seno Adji. Prasaran,
Dalam “Indonesia Negara Hukum”,
Simposium UI, 6 – 8 Mei , Jakarta, 1966, hlm. 38
[15] Philipus M. Hadjon, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 85.
[16] Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafika Persada, 1995), hlm. 14.
[17] Sunaryati Hartono, Apakah
The Rule of Law Itu, (Bandung: Alumni, 1969), hlm. 12.
[18] Azhary. Negara
Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya,
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 1.
[20] Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Negara dan Politik, (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1971), hlm.
10.
[21] Muhamad Yamin,op. cit., hlm. 74.
[22] Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah
Mada, 1968), hlm. 8.
[23] Sarjana ini berbeda
pandangan dengan H. Kelsen mengenai negara identik dengan hukum atau tertib
negara (staatorde) adalah juga tertib hukum (normen ordering). Menurut S.
Gautama Negara dan Hukum tidak dapat disamakan satu sama lain.
[24] Sudargo Gautama, Pengertian
Tentang negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 34, 37.
[25] Soediman Kartohadiprojo, Negara
RI Negara Hukum, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar UI, 17 Januari 1953,
Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1953, hlm. 13.
[26] M. Sri Soemantri. Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. (Bandung: Alumni, 1979), hlm.
45.
[27] Dodo SDW. Asas
Negara Hukum Menurut Paham Pancasila. Artikel dalam Jurnal Keadilan Volume
2 Nomor 1. Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan. hlm. 35.
[28] Lihat dalam : Dahlan Thaib, et.al. Teori
dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. Ketiga, 2003), hlm. 8.
[30] Soediman Kartohadiprodjo, Prasaran, dalam “Indonesia Negara
Hukum”, Simposium UI, 6 – 8 Mei, Jakarta, 1966, hlm. 91.
[31] Philipus M. Hadjon, op. cit., hlm. 74.
[32] Bandingkan pandangan F. J.
Stahl dengan Immanuel Kant yang menganggap Rechtsstaat yang klasik berfungsi sebagai Nachtwachterstaat (Zuivere
Liberale Rechtsstaat).
[33] Oemar Seno Adji, Prasaran, ….op. cit., hlm. 24.
[34] Philipus M. Hadjon, op. cit., hlm. 75 – 76.
[35] Nampaknya pembagian kekuasaan yang dimaksud adalah pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah atau antara pemerintah federal dengan
pemerintah negara bagian.
[36] Philipus M. Hadjon (I), Op.
Cit., hlm. 76.
[37] Sudargo Gautama, Op. Cit.,
hlm. 8 – 10.
[38] Frans Magnis Suseno, Etika
Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia,
1991), hlm. 298 – 301.
[39] Meski konsep modern dari Rechtsstaat ini mengakui peranan negara cukup
dominan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (sesuai konsep
Welvaartsstaat) tidaklah berarti asas-asas Rechtsstaat yang klasik otomatis
dikesampingkan. Asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan individu tetap
relevan justru karena konsep modern itu lebih membuka peluang bagi penguasas
bertindak sewenang-wenang di bidang sosial / ekonomi. Hal itu diuraikan secara
lebih luas oleh Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul “Pengertian Tentang Negara Hukum”,
1973, halaman 17 hingga halaman 22.
[40] Philipus M. Hadjon (I), Op.
Cit., hlm. 77 – 78.
[41] W. Friedman. The State
and The Rule of Law In Mixed Economy, (London: Steven & Sons. 1971), hlm.
3.
[42] Unsur yang kedua dari Rule of Law yang dikemukakan oleh Dicey
merupakan dimensi pokok dari pendekatan konseptual dalam penulisan disertasi
ini karena analog dengan itu, pejabat peradilan (hakim dan hakim agung) sebagai
bagian dari pejabat negara juga harus mentaati hukum terutama hukum konstitusi,
hukum acara dan hukum yang mengatur kekuasaan kehakiman itu sendiri.
[43] Philipus M. Hadjon (I), Op. Cit., hlm. 80 – 82.
[44] B A Hepple. Deregulation And The Rule of Law An English View,
dalam “Rechtsstaat en Sturing”, Editor, MAP Bovens (et al), (Zwolle: WEJ Tjeenk Wilink, 1987), hlm. 164.
[45] B A Hepple, Ibid.
[46] Ibid. hlm. 165.
[47] Ibid., hlm. 165 – 170.
[48] Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 19.
[49] Ibid., hlm 124.
[50] Oemar Seno Adji, Op. Cit., hlm. 24
[51] Ibid. hlm. 27
[52] Oemar Seno Adji (I), Op.
Cit., hal. 27 – 35.
[53] Antony Allot, The Limits
of Law, (London: Butterworth & Co, 1980), hlm. 237.